Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20

Hari ini, yang semestinya menjadi hari Atha kembali ke rumah, tetapi tak ada jejaknya, tak ada tanda-tanda kehadiran sang Ayah. Naura merasa kesal. Dia telah menunggu sejak pagi, namun Atha belum juga muncul, bahkan sekadar menampakkan hidungnya. Namun, realitas telah memberinya kebenaran yang pahit. Walaupun dia menunggu berjam-jam, Atha tak akan pernah kembali, terlebih dalam kondisi saat ini yang tak kunjung membaik. Dan dalam hati Naura, dia tahu benar bahwa tak seorang pun bisa memberikan alasan yang memuaskan atas kepergiannya yang tak terduga.

"Naura! Mari, mari masuk sebentar lagi waktu buka!" seru Nasya dari dalam rumah.

Naura mengangkat pandangannya dari kursi jati tempat dia duduk. Kursi itu dihiasi meja biru persegi panjang, yang menjadi salah satu pemandangan khas halaman rumah Naura.

"Bunda, Ayah belum pulang! Katanya hari ini. Sudah hampir malam, tapi masih belum juga," keluh Naura, suaranya penuh kekesalan. Sejak siang, Naura telah menanti kepulangan Ayahnya dengan penuh antusias. Namun, seperti biasa, tak pernah sekalipun Atha kembali dengan keadaan baik.

Nasya benar-benar lupa, terlalu terfokus pada pemahaman bahwa Atha takkan kembali. Namun, alasan Nasya adalah alasan yang memaksanya menyingkirkan semua penyesalan. Nasya sebenarnya sadar bahwa Naura sudah sejak siang menunjukkan kegembiraannya atas rencana bertemu Ayahnya. Namun, kini dia baru menyadari, alasan di balik lamanya kepulangan Atha.

"Ayahmu... Ayahmu ternyata tak bisa pulang sekarang, Sayang. Dia menyatakan urusannya belum selesai," ucap Nasya dengan cemas, dengan harapan kebohongannya bisa membuang rasa rindu yang tengah meluap.

"Lah, kok begitu?" gerutu Naura dengan wajah kesal. "Kenapa Bunda tak bilang dari tadi siang? Aku tunggu-tunggu dari pagi sampe sekarang, eh ternyata Ayah gak bakal dateng juga. Buang-buang waktu aja!"

Nasya berusaha meredakan kemarahannya dengan tangisan yang hampir pecah. "Naura, Maafkan Bunda, Sayang. Bunda lupa memberitahumu. Jangan salahkan Ayahmu. Dia memiliki urusan yang mendesak."

Naura merasa bingung. Dia menaruh pandangannya di bawah, tak bisa menatap mata ibunya. "Bunda kan tahu, tadi aku benar-benar bersemangat ingin ketemu Ayah. Tapi ternyata dia..."

"Allahu Akbar, Allahu Akbar."

"Yuk, mari buka puasa dulu, sudah ada panggilan adzan," kata Nasya dengan suara teredam.

"Baiklah," ucap Naura dengan sedikit amarah dalam hati, lalu bersama-sama mereka merentangkan tangan untuk membuka puasa dalam seruan doa, "Bismillahirrahmanirrahim."

****

Hening malam semakin meresap, terhanyut dalam suasana di dalam rumah Naura. Dua jiwa yang berdekatan, ibu dan anak, kini sedang menghadapi momen makan berbuka. Meskipun dikelilingi oleh senyap, suasana tak selalu seperti ini. Terkadang, keheningan membawa suara-suara kehidupan yang tak terduga.

Setelah mereka mengucapkan doa dan membuka puasa dengan sendok pertama masing-masing, suasana terasa lebih hangat. Mereka saling menatap, masih terasa campur aduk emosi di wajah Naura. Namun, Nasya bisa membaca bahwa Naura mulai meredakan amarahnya.

"Bunda, maafkan aku kalau tadi marah," akhirnya Naura berkata dengan suara lembut, wajahnya terpantul dalam cahaya lembut lampu teras.

Nasya tersenyum, melihat putrinya menunjukkan kedewasaan dalam pengakuan ini. "Tidak apa-apa, Sayang. Bunda juga yang seharusnya lebih memperhatikan perasaanmu. Bunda tahu, Ayahmu sering membuatmu rindu."

Naura mengangguk, tangan yang memegang sendok kembali merendah ke piringnya. Dia mencoba untuk menghilangkan ketidaknyamanan di antara mereka.

"Bunda, Ayah... Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Naura dengan suara pelan.

Nasya mengambil nafas dalam-dalam, matanya terfokus pada sendok yang memutar-mutar dalam piringnya. "Ayahmu... dia baik-baik saja. Ada hal tambahan yang sedang Ayah kamu lakukan."

Naura menoleh dengan perhatian. "Apa yang terjadi, Bu?"

Nasya mengangkat pandangannya, matanya penuh dengan kekhawatiran. "Sayang, Bunda belum bisa memberitahumu semuanya. Tapi yang penting, kita harus tetap menjaga harapan dan berdoa yang terbaik untuk Ayahmu."

Naura merasakan kecemasan dalam kata-kata ibunya. Namun, dia bisa merasakan ketulusan dan cinta yang meluap dari setiap kalimat yang diucapkan Nasya

********

Suasana malam semakin pekat, seiring dengan langkah Naura dan Dinda yang merangkak pulang setelah menunaikan sholat tarawih. Di tengah kegelapan, serangga jangkrik dan sorak burung malam menyusul langkah keduanya, seolah-olah ikut menyaksikan perjalanan mereka. Naura mengetahui bahwa Dinda tahu tentang rencananya, bahwa teman yang berjalan di sampingnya ini adalah seseorang yang akan menjadi pendamping pria yang Dinda sukai.

"Ra..."

"Ya?" Naura memalingkan wajahnya untuk memandang Dinda.

"Lo masih gak tau, kan, siapa yang bakal dijodohin sama lo?" Dinda bertanya, memastikan.

Naura merasa kaget sejenak. Dia tidak mengira Dinda akan langsung membicarakan hal ini.

"Be-lom," jawab Naura dengan suara pelan.

Dinda memperhatikan ekspresi Naura dengan seksama, seakan mencari tanda-tanda kebenaran dalam kata-kata putrinya ini. Namun, sesungguhnya Dinda sudah mendapatkan kabar dari sumber lain, dan sekarang dia ingin memastikan apakah apa yang ia dengar itu benar.

Namun, alasan apa yang membuat Bunda Naura belum memberi tahu tentang siapa calon suami putrinya? Sedangkan sekarang Dinda telah mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping Naura.

Setelah mengetahui kebenaran dengan cara yang tak disengaja, Dinda merasakan rasa sakit yang mendalam. Dia menyukai seseorang yang akan dijodohkan oleh sahabatnya sendiri. Meskipun itu menyakitkan, Dinda merasa bahwa dia tak punya banyak pilihan. Selama ini, Dinda sudah merasakan cinta yang tumbuh lebih kuat dalam hatinya, namun dia tahu untuk saat ini dia harus menahan perasaannya. Terkadang, cinta bisa menjadi penghalang yang besar.

"Ooo, Naura, lo mau bantuin gue gak?" Dinda mengubah topik dengan cepat.

Langkah mereka terhenti di persimpangan jalan yang diterangi oleh satu lampu pijar.

"Bantuin apa?" Naura bertanya dengan rasa penasaran.

Mereka berdua berhenti melangkah, di persimpangan dengan satu buah lampu pijar mengarah ke arah mereka.

"Bantuin gue deketin Ustad Rezzan."

Naura terdiam, ia memang tahu bawasannya  teman satunya ini menyukai seseorang pria secara diam, tapi cukup aneh jika tiba-tiba Dinda meminta bantuan ke pada Naura untuk mendekati Rezzan.  Namun, sebenarnya lebih aneh jika tiba-tiba Dinda meminta bantuan pada Naura untuk mendekati Rezzan, yang ternyata adalah calon suami Naura sendiri. Jika Naura sudah mengetahui hal ini sejak awal, dia pasti tidak akan pernah menerima permintaan Dinda.

"Tumben? Maksudnya bukannya lo mau deketin dia lewat doa lo?"

Dinda tertawa dengan lemah. "Sebenernya iya, tapi gue takut ada yang lebih cepat mendahului gue. Gue pengen banget Rezzan jadi milik gue seutuhnya."

Naura merasa sedikit tertohok oleh ucapan Dinda, seolah-olah itu ditujukan untuknya.

"Kamu beneran mau bantu gue, kan?" Dinda meraih tangan kanan Naura dengan penuh harap. "Aku memang mau deketin dia, tapi aku takut gak bisa kalau sendiri. Tolong bantuin gue, ya!"

"Oke, oke! Tapi, lo ngomong jangan campuran si, aku, kamu, lo, gue, semuanya di bawa."

"Hahahahaha, Sini kuping lo, gue bisikin."

Naura memajukan wajahnya dan mengarahkan kupingnya. Dinda pun mendekatkan wajahnya untuk membisikkan apa yang ingin ia lakukan. .

" .... "

"Gila, lo mau kayak gitu! Ogah lah gue. Kenapa lo gak minta bantuan Kakak lo aja sih?" ujar Naura dengan ekspresi kesal.

"Dinda, cuman gitu doang? Bantuin lah."

"Lagian, walaupun lo dapet dia, lo harus nunggu Kakak lo nikah dulu lah."

Dinda terdiam, memang benar apa yang dikatakan Naura. Dinda tak mungkin menjalin hubungan sampai jenjang pernikahan jika kakaknya sendiri belum menikah. Namun, Dinda merenung sejenak, dan akhirnya sebuah pemahaman datang padanya. Bawasannya teman satu ini tak pernah benar-benar peka akan keadaan dan perasaan laki-laki yang ingin mendekatinya.

"Gimana Kakak gue mau nikah! Orang yang pengen diajak nikah aja gak pernah peka! Dah lah, intinya lo harus bantuin gue dan janji oke!"

Dengan tulus, Dinda meraih tangan Naura dan mengulurkan jari kelingkingnya sebagai simbol janji yang mereka buat. Dan kalimat Dinda tadi sedikit mengganggu pikiran Naura. Tetapi, akhirnya Naura pun membalas uluran jari Dinda.

"Oke deh!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro