Bab 19
Di luar, hujan mengguyur dengan lembut, seolah-olah semesta ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti Nasya. Tetesan air jatuh begitu lembut, menelusuri setiap sudut dan permukaan, seakan menjadi ungkapan atas kepedihan yang tengah melanda. Di tengah suasana miris ini, seberkas berita yang tiba tiga jam yang lalu telah membius Nasya dalam keheningan kamarnya. Matanya menatap tak berdaya sebuah foto, yang memperlihatkan dirinya dan suaminya.
Nasya ingin menyembunyikan ini. Ia ingin merahasiakan, menjaga rahasia yang menggelayut di hatinya, tanpa membiarkan bayang-bayangnya menyentuh Atha. Ia tak ingin putrinya terjatuh oleh beban ini. Kini, ia hanya perlu menemukan cara untuk menghadapi kenyataan yang telah terungkap. Ini pula permintaan terakhir dari Atha, agar Nasya merahasiakan segalanya hingga kondisi Atha membaik sepenuhnya.
Positif Covid-19 bagi Atha, seperti mimpi buruk yang tak ingin dirasakan oleh suaminya dan sekaligus Ayah dari Naura. Sesuatu yang mencemaskan Nasya. Andai saja putrinya mengetahui tentang ini. Mungkin saja, putrinya akan melawan larangan dan nekat menemui Ayahnya yang saat ini berada di Jakarta, kota pusat yang tengah menghadapi gelombang kasus.
Kepulangan Atha ke Jakarta bukanlah tanpa alasan. Atha berencana untuk menyambangi keluarga yang akan menjadi bagian dari pernikahan putrinya. Ia juga ingin mengucapkan selamat tinggal pada sahabatnya yang telah meninggalkan dunia lebih dari setahun yang lalu.
Semua ini terkait dengan masa lalu, sebuah rentang waktu yang membentuk narasi di masa sekarang, menjadi pendorong atas tindakan yang diambil Atha. Sebuah janji yang harus dipenuhi. Sebuah ikatan yang sebenarnya tak perlu ada, namun mereka memilih untuk mengikatnya, ingin menjadikan hubungan keluarga yang lebih kuat.
"Demi Allah, aku berharap kamu ada di sana dalam keadaan baik," bisik Nasya dengan suara remuk.
Tiba-tiba, sebuah salam memecah hening. "Assalamualaikum!"
Nasya melirik ke arah suara itu, meskipun di luar hujan masih turun dengan lembut. Siapakah yang datang, mengingat di luar sedang turun hujan?
Langkah Nasya meninggalkan kamar, melangkah menuju pintu putih yang mencolok dihadapannya. Dengan hati-hati, Nasya membuka pintu itu.
"Rezzan."
Mata Nasya terbelalak kaget ketika ia melihat pria yang beberapa jam yang lalu baru saja pergi dari sini. Dengan pakaian cokelat yang agak basah karena hujan, dan tas selempang yang melintang di bahunya.
Rezzan mendekati Nasya, tangan mereka bertaut dalam jabat tangan, sebuah ikatan yang telah lama tak terjalin.
"Apakah Tante sudah mendengarnya?" bisik Rezzan perlahan, matanya melirik masuk ke dalam rumah, seolah mencari seseorang.
"Iya, Tante sudah tahu. Naura sedang berada di kamarnya, mungkin masih tertidur," kata Nasya, mencoba menahan emosinya yang hampir meluap.
Rezzan mengangguk paham, ekspresi simpati tergambar jelas di wajahnya. "Saya mendengar kabar ini dari Ibu tadi pagi. Saya tidak bisa membayangkan betapa beratnya ini."
Nasya merasa lega bahwa Rezzan bisa memahami situasi ini. Matanya menerawang, terhanyut dalam aliran pikirannya sendiri, seakan mencoba mengurai benang-benang pikiran yang kusut.
"Semuanya begitu cepat berubah, Rezzan. Sepertinya baru kemarin Atha mengatakan bahwa ia ingin ke Jakarta. Sekarang... ini terjadi," gumam Nasya, suaranya hampir hilang terbawa hembusan angin yang masuk melalui pintu terbuka.
"Tante, jangan khawatir," kata Rezzan dengan penuh keyakinan, suaranya memancarkan ketenangan. "Ibu saya sudah berada di sana, dan biarkan saja Ibu saya yang mengatur segalanya. Tante, Anda hanya perlu berdoa dan tidak perlu panik berlebihan. Saya yakin sepenuhnya bahwa Om Atha akan sembuh. Ibu saya pasti akan memberikan pelayanan kesehatan terbaik dan secepat mungkin."
Nasya meraih lengan Rezzan dengan lembut, tangannya merasa nyaman dalam sentuhan itu.
"Terima kasih, Rezzan. Kata-katamu sungguh memberikan ketenangan pada hati Tante. Tante sungguh berharap yang terbaik, dan semoga Allah memberikan kesembuhan pada suami Tante," ucap Nasya dengan rasa syukur.
*******
Embul Siti
Litha Lo udah kelar kan buat laporan yang di kasih direktur?
Naura ingin sekali enggan membalas pertanyaan dari rekan kerjanya ini. Ia sedikit melirik hujan di luar jendelanya, lalu beralih menatap layar ponselnya.
Udah lah!
Embul Siti
Hebat lo. Emang beberapa hari deadlinenya?
Naura benar-benar tak ingin membahas soal ini. Jika di ingat lagi apa yang di alaminya karena tugas laporan dari direkturnya, yang tugasnya harus di percepat, membuat Naura begadang di bulan puasa. Demi deadline! Ingat Deadline yang dadakan.
Gak lama pokoknya!
Embul Situ
Oooooo gitu toh.
Btw lo kapan balik ke Bandung juga?
Embul Situ
Entah. Paling secepatnya lah. Ngapain lo nanya beginian? Mau gantiin gue tah lo, kerja di tempat gini?
Ogah lah! Enakan di rumah lah wkwkwk.
Embul Siti
Ya iyalah enakan di rumah anjirt. Ya udah deh gue mau ke luar. Bay!
Okeh Bay!
Nura mematikan ponselnya, lalu ia pun meregangkan tubuhnya di kasur. Dan tak lama matanya mulai mengantuk dan tertutup secara perlahan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro