Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18

"Bund! Ustad Ezzan tadi datang ke rumah buat apa sih?"

Nasya tersentak kaget, hampir saja ponsel yang ia genggam terjatuh ke lantai.

"Hey, jangan nyamperin begitu dong, bikin kaget aja!" Nasya menyentuh dadanya, "Iya, dia tadi datang, tapi .... " Nasya menatap tajam putrinya.

"Kamu panggil dia apa tadi? Ustad Ezzan?" Nasya tampak bingung.

"Hmm, iya ... " balas Naura sambil duduk santai di sofa.

"Nggak ngerti deh kamu, kok manggilnya Ezzan? Padahal seharusnya kan panggilannya Ustad Ezzan?" Nasya mengerutkan dahi, bingung dengan sikap putrinya.

"Ah, nggak apa-apa kok, Bu. Dia sendiri nggak masalah dipanggil begitu," potong Naura, suaranya santai.

Nasya menggeleng tak percaya, kebiasaan unik Naura tampaknya masih berlanjut. Ia duduk di samping putrinya.

"Jadi, tadi ustad Ezzan datang ke sini buat apa?" Naura bertanya lagi.

Nasya memandang putrinya dengan pandangan tajam, seperti mencari tahu tujuan sebenarnya dari pertanyaan tersebut. Jika ia menceritakan kebenaran, pasti akan rumit. Terlebih lagi, ini semua berkaitan dengan pembicaraan antara Nasya dan Rezzan.

"Hanya ngobrol saja. Nanya-nanya seputar lingkungan sekitar," jawab Nasya, berusaha menjawab santai.

"Aduh, Bunda pasti bohong kan?" Naura menunjukkan ekspresi yang tidak percaya dengan penjelasan ibunya, "Pasti ada yang lain. Tadi aku lihat ekspresi serius di wajah ustad Ezzan. Kalau begitu, seharusnya aku nggak mandi dulu tadi, langsung duduk di sana buat dengerin. Pasti aku bakal tahu apa yang sebenarnya kalian obrolin."

Setelah Naura tahu bahwa Rezzan ada di depan rumah, ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia berharap bisa bertemu dengan Rezza setelah mandi, tapi sayangnya ia sudah pergi, dan yang ada hanya ibunya yang berdiri sendirian di ruang tamu.

Naura merasa kecewa ketika mengetahui bahwa Rezzan sudah pergi. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan perasaannya yang kacau.

"Duh, ternyata dia udah pergi, Bun?" Naura mencoba mengatakan dengan nada acuh tak acuh.

Nasya melihat putrinya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa Naura mungkin bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi, meskipun dia tidak tahu detailnya.

"Iya, sayang. Dia hanya mampir sebentar dan harus pergi lagi," jawab Nasya, mencoba tetap tenang.

"Jadi, apa sih sebenernya yang kalian bicarakan, Bun?" Naura menatap Bundanya dengan pandangan tajam.

Nasya merenung sejenak, mempertimbangkan apa yang akan dia katakan. Dia tahu dia harus memilih kata-kata dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kebingungan atau bahkan kekhawatiran pada putrinya.

"Kan tadi Bunda udah bilang, kalo ustad Rezzan cuman tanya-tanya daerah sekitar aja. Takut dia kesasar, katanya mah." Nasya mencoba memberikan penjelasan yang sederhana.

Naura merenung sejenak, tampak sedikit ragu, namun akhirnya dia mengangguk mengerti.

"Kalau begitu, aku mengerti, Bun. Aku cuma khawatir aja kalau ada masalah atau sesuatu yang tidak beres."

Nasya tersenyum lembut dan meraih tangan putrinya dengan penuh kasih sayang.

"Terima kasih, sayang. Bunda tahu kamu peduli, dan Bunda berjanji nanti akan memberitahumu lebih banyak saat waktunya tepat."

Naura mengerutkan dahi, semakin bingung akan hal apa yang barusan diucapkan Bundanya.

"Memberitahu apa Bund? Katanya tadi cuman tanya-tanya daerah sekitar aja?"

"Aduhh kayanya Bunda ngelanturr deh, bentar deh Bunda mau minum dulu."

Nasya beranjak dari duduknya berusaha untuk memikirkan topik apa yang akan dia bahas untuk menggantikan dan menyingkirkan jawaban yang dibutuhkan oleh putrinya.

"Bund, apa aku boleh bertanya satu hal lagi?"

Nasya menoleh saat gelas sudah menyentuh bibirnya, posisinya tengan terduduk di depan Dispenser berwarna biru.

"Pasti, sayang. Ada apa?" Nasya tersenyum.

"Apakah.... apakah Ustad Ezzan itu.... suka sama Bunda?" Naura bertanya dengan ragu.

Nasya terkejut dan hampir saja memutahkan kembali air yang sudah masuk ke dalam tenggorokannya.

"Uhuk-Uhuk ... Sembarangan kamu ngomong Naura, yakali Ustad Rezzan suka sama Bunda. Inget Bunda udah ada kamu, dan ustad Rezzan masih bujang," kata Nasya.

"Hehehe, becanda Bunda .... Jangan marah ih ...."

"Naura,"

Naura menoleh ke arah bundanya, "Apa?" Naura menaikkan ke dua alisnya.

"Kamu nggak ada yang lagi kamu suka, kan?"

"Maksudnya?" Naura merasa ada yang aneh dengan bundanya.

"Ya, maksudnya, kamu nggak sedang suka pria mana pun, bukan?"

Naura terdiam, berpikir. Mencari jawaban yang cocok atas pertanyaan bundanya, "Ayah."

"Yang bener dong sayang. Bunda cuman mau mastiin kamu. Kalau nggak ada pria yang kamu suka."

Naura menggapai remot TV, lalu menghidupkan TV di hadapan mereka, "Nggak ada," ucap Naura, lalu beralih menatap layar TV yang menyajikan siaran gosip-gosip hangat.

"Alfatih?"

"Ha?" Naura kembali menoleh ke arah bundanya, "maksud bunda apa sih, langsung to the point aja. Jangan basa-basi. Tahu sendiri aku orangnya nggak suka basa-basi."

Bukan Naura jika tidak berkata seperti itu, ia memang tidak suka, jika mengobrol atau membahas sesuatu harus basa-basi yang panjang lebar. Itu sangat-sangat membuang waktu baginya.

"Yah, contohnya Alfatih, kamu suka nggak sama dia?" tanya Nasya langsung.

Seperti ada sesuatu yang menggelitik hati Naura. Atas nama yang disebutkan oleh bundanya. Sebenarnya, beberapa hari ke belakang. Naura sering memperhatikan Alfatih. Entah saat di masjid atau dirinya melihat dari kejauhan. Baginya untuk saat ini, Alfatih tipe pria yang menarik dan mempesona. Perawakannya yang tegas dan berwibawa membuat Alfatih memiliki kharisma tersendiri untuk saat in bagi Naura. Kalo masalah suka? Naura tidak pernah menganggapnya lebih dari kakak, walau terkadang ada sesuatu yang berbeda ketika Alfatih peduli padanya. Bukan di saat ia dipedulikan saat kecil yang hanya sebatas melindungi dan Naura hanya menganggapnya biasa saja. Namun, untuk di usia saat ini, kepedulian seseorang akan memiliki nilai tersendiri.

"Naura!"

Naura tersekejab.

"Kok malah ngelamun,'' ujar Nasya.

"Oh, nggak kok bun, nggak suka," balas Naura, "udah ya bun aku mau balik ke kamar dulu." Naura beranjak pergi melangkah menuju ke kamarnya.

Nasya hanya menatap diam putrinya dari kejauhan. Lalu ia beralih menatap layar TV, dan mengganti siaran tayangan, ke siaran berita Metro TV.

"Penyebaran Covid-19 terus bertambah, seakan tiada hentinya. Sudah berlangsung setahun pandemi ini menerjang negeri ini. Banyak hal yang sudah dlakukan pemerintah; ari pembatasan berkerumunnan, melarang adanya acara besar, mengubah pola pertemuan yang awalnya offline menjadi online. Dan sepertinya pemerintah akan melarang mudik untuk ke dua kalinya di tahun ini. Yang mana tahun lalu pun mudik dilarang. Tentunya semua ini dilaksanakan demi kepentingan bersama. Terutama untuk kawasan, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, yang mengalai pengelonjakkan kasus Covid-19 yang cukup ting-"

Nasya mengganti siaran yang ia tonton.

"Lagi? Mudik? Dilarang lagi, astaghfirullah," ucap Naura diiringi embusan kasar.

Tuttt tuttt tutttt tuttttt tutttt

Nasya mengambil ponsel yang bergetar di sampingnya. Muncul sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak ada namanya. Nasya pun menjawabnya.

"Halo. Dengan siapa?"

" .... "

"Iya benar saya sendiri."

".... "

Ponsel yang tadinya terpegang erat dan menempel di telinga kanan Nasya, kini terlepas dan jatuh ke atas lantai. Nasya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Air matanya turun. Ke duakakinya yang tiba-tiba melemas, membuat Nasya terjatuh, hingga ke dua lutut yang kini menjadi penopang.

"Positif?"  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro