IPARKU KEKASIHKU 4
Karya milik Ry-santi Ry-Santi
yukk langsung baca aja.
Selamat Membaca
Sesuai rekomendasi Rara, kendaraan empat kesayanganku melaju perlahan di antara pengendara lain menuju Trawas, Mojokerto. Lita berkata kalau penginapan berkonsep omah kayu yang akan kami tuju berada di desa Tamiajeng yang bakal disuguhi pemandangan gunung Welirang juga Penanggungan. Tanpa banyak berdebat tentu aku langsung menyetujui sebab keinginan terbesarku saat ini adalah menghapus bayangan Rara.
Sial sungguh sial, semakin ditepis wajah gadis yang beberapa hari ini menginap di rumah makin melekat. Sayup-sayup percakapan malam itu menggema di telinga seolah-olah tidak mengijinkanku beranjak dari sana.
"Mas Dewa sendiri?" Rara melempar pertanyaan balik, mengorek secuil informasi mengenai kehidupan ranjangku bersama kakaknya. "Kenapa tadi bilang kalau Mbak Lita sama Mas Edi cocok satu grup? Apa dia nolak Mas juga?"
Aku berdeham sambil melonggarkan kerah bajuku yang sepertinya sedang mencekikku diam-diam. "Ya ... gimana ya... masa Mas mau bilang?"
"Ya bilang aja, siapa tahu Mbak Lita cerita sesuatu sama aku. Lagian kayak sama siapa aja, Mas,' goda Rara mencubit lenganku.
"Ya sama kayak kamu," jawabku tersipu malu, mengalihkan pandangan penuh selidik itu.
"Aku?" Rara menunjuk dirinya sendiri. "Nggak puas bercinta? Mbak Lita kurang jago apa gimana?"
"Ya ..." Aku mengamati langit-langir rumah sembari mencari cara agar pembicaraan ini berhenti.
"Jadi, Mbak Lita sering nolak Mas Dewa?" terka Rara. "Padahal cowok cakep kayak Mas Dewa bikin rahim anget cewek-cewek di luar sana," celetuknya tanpa berpikir.
"Eh?" Kali ini aku memerhatikan raut muka Rara yang tanpa bersalah mengakui penampilan fisikku yang katanya menarik. "Mana ada yang kayak gitu, Ra."
"Ya ada, Mas. Mas Dewa itu tinggi, badannya kekar, hitam manis khas orang Jawa, lembut, wangi lagi. Apalagi kalau senyum," dia menunjuk bibirku yang kini mengulum senyum malu. "Manis banget kayak gula. Cewek klepek-klepek kalau Mas Dewa masih bujang, termasuk aku. Sayangnya, Mas Dewa jodohnya Mbak Lita. Mbak aja yang nggak bersyukur kan?"
Satu hal yang paling meresahkan adalah Rara adalah ... aku memergokinya tengah bermain seorang diri di kamar semalam. Waktu itu sambil terkantuk-kantuk, kakiku melangkah menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Sesaat kemudian, langkahku terhenti tepat di depan kamar Rara dan seketika rasa kantuk yang memeluk erat mendadak lenyap tanpa jejak. Seluruh indraku bereaksi manakala mendengar desahan Rara seakan-akan dia tengah bercinta begitu hebat. Menilik kembali kisahnya sampai rela memborong sex toys, aku membayangkan Rara dibuat mabuk kepayang oleh benda-benda plastik tersebut.
Erangannya makin lama makin menggaung di telinga, membangkitkan gairah yang tidak bisa kupendam lebih lama lagi.
Kulirik Lita yang sedang scroll TikTok lantas menarik sebelah tangannya dan menempatkannya di pangkal pahaku. Dia berpaling dengan kerutan di kening, "Kenapa?"
"Kangen dielus," jawabku asal padahal sebetulnya ingin sekali menggagahi Lita daripada terus-terusan kepikiran adiknya.
"Dilihat orang, Mas," tolak Lita menarik tangannya menjauh membuat sebagian dari diriku seperti dihempaskan ke jurang tak berdasar. "Takut terekam CCTV pas di lampu merah," sambungnya lagi.
"Ya, nggak apa-apa, orang kamu kan istriku," ketusku sebal. "Orang-orang pacaran aja bisa ngentot di semak-semak, masa kita enggak."
"Kamu mau di semak-semak maksudnya?" canda Lita terbahak-bahak.
"Bukan gitu, cuma gimana ya ... aku ingin hubungan kita kayak pas malam pertama dulu, Sayang," tuturku akhirnya mengungkapkan uneg-uneg. "Beberapa bulan setelah kita nikah, rasa-rasanya kamu dibikin sibuk sama kerjaan sampai nggak ada waktu buat berduaan."
Lita meletakkan ponsel saat kami melintasi jalur yang diapit hamparan sawah, beberapa plakat-plakat yang mempromosikan hotel maupun vila bertebaran di sepanjang jalan. Sementara jejak jingga kian menggelap seiring munculnya bulan beserta taburan gemintang di atas cakrawala. Gunung Welirang maupun Penanggungan menjulang begitu gagah bak menyambut kedatangan kami berdua sebagai pasangan yang ingin merajut asmara.
"Mas ditanyain ibu lagi ya masalah anak?" Lita berpaling ke arah jendela mobil. Ada kekecewaan tersirat dari nada bicaranya yang pelan.
Apa?
Kali ini aku yang mengerutkan alis tidak mengerti. Bukan, aku bukan bermaksud menyinggung hubungan ranjang kami akibat tidak kunjung diberi momongan. Bagiku anak adalah rezeki, tidak masalah bila memang Tuhan belum memberikannya sekarang. Hanya saja aku ingin memperbaiki kerenggangan kehidupan seksual terlepas kesibukan yang membelit kami berdua.
"Ya, bu-bukan ..."
Kendaraanku kini memasuki area parkiran di depan rumah makan Pawon Djadoel sementara otakku berusaha mencari-cari kalimat yang pas supaya Lita tidak marah.
"Terus apa?" Lita menuntut jawaban pasti.
Begitu mobil terparkir, Lita melesat keluar dan membanting pintu keras-keras dengan ekspresi sebal. Kuikuti langkah kakinya menuju resepsionis untuk melakukan proses check in sembari menggeret koper kecil kami. Sesaat kemudian, ponselku bergetar menunjukkan notifikasi pesan dari Rara.
Rara : Gimana tempatnya? Bagus kan?
Andaikata aku tidak mengetahui rahasia rumah tangga Rara mungkin kutanggapi secara biasa. Namun, kedekatan kami tanpa sepengetahuan Lita beberapa hari ini juga suara erangan Rara makin membuatku dibakar gairah. Kini pandanganku terhadap Rara tidaklah sama lagi. Bukan seorang adik ipar melainkan wanita menarik yang haus akan kasih sayang juga butuh pelampiasan.
Rara : Moga Mbak Lita nggak nolak diajak seks. Kasian Mas Dewa-nya.
"Sialan," gumamku segera menghapus isi pesan tersebut.
Lita membalikkan badan, memandangku penuh selidik. Tak banyak tanya istriku melenggang pergi menuju kamar yang sudah dipesan—tepatnya di sisi area penginapan.
"Lit," panggilku begitu kami sampai di kamar.
Lita tak menggubris justru menanggalkan satu-persatu pakaian yang melekat di badan tanpa memutus tautan matanya dariku.
"Ini kan yang kamu tunggu?" ujarnya melucuti lapisan terakhir—G-String merah—yang memperlihatkan area kewanitaannya yang baru dicukur habis.
Lantas, dia mendudukkan diri di pinggiran kasur dan menaikkan kedua kaki kemudian mengangkang seakan-akan hendak menyajikan bagian ternikmat dari seorang wanita. Sebelah tangannya terulur tuk memainkan klitoris sedangkan ekspresi mukanya menyuruhku agar tak tinggal diam layaknya orang bodoh.
Tak perlu menunggu lama, aku bertekuk lutut menyambut vaginanya penuh suka cita. Bak orang kelaparan, mulutku melahap begitu rakus biji klitoris juga lipatan lembut bibir vaginanya yang sialan basah. Terasa manis. Terasa menyenangkan.
"Sssh ..." Lita menjambak rambutku, menahan agar diriku tak beranjak dari surga dunia itu. Dia mendongak, menggigit bibir bawah sembari meremas gundukan payudaranya yang mengeras. "Ahh ... Mas ..."
Lenguhan Lita makin keras saat dua jariku meraba dari ujung bawah ke ujung atas kemudian memilin klitorisnya yang berkedut. Tak perlu terburu-buru, aku suka melakukan ini secara pelan seraya menyaksikan raut muka Lita yang kelimpungan menerima siksaan ini. "Mmphh ..."
Tak memedulikan Lita yang merengek, jariku memasuki liang senggamanya yang dibanjiri cairan bening nan hangat. Tak berhenti di situ, aku menunduk tuk menjilat dan mengisap memek sambil terus memainkannya. Kugigit kecil bagian lipatan vagina Lita hingga dia membusungkan dada dilanda kenikmatan luar biasa.
"Memek kamu enak, Mas suka," pujiku menangkap rona merah di pipi Lita. Kukecup pangkal pahanya sambil sesekali meninggalkan jejak-jejak merah di sana kemudian bergerak mundur saat Lita bergerak dan menghadap diriku, menanti-nanti kejantananku terbebaskan dari celana.
Berlagak bagaikan anjing birahi, lidah Lita menjulur begitu kontol beruratku mengacung tepat di depan wajahnya. Dikecup ujung-ujung penisku sembari sebelah tangannya menaik-turunkan batang yang pasti terasa panas di permukaan tangannya.
"Ini yang Mas tunggu," bisikku merumpun rambut sebahunya sebelum mendesak istriku agar mengulum penisku yang besar ini. "Isep."
Dia menurut, membuka mulut selebar mungkin walau agak kewalahan memasukkan batang kontolku ke dalam sana. Sesaat kemudian, Lita tersedak tapi aku tidak peduli. Aku ingin dia mengisap batang keperkasaanku ini yang sudah lama tidak dimanjakan olehnya.
Entah setan mana yang menyelinap dalam diriku, mendadak muncul bayangan adik iparku disertai desahannya di kamar malam itu. Bulu romaku bergidik tapi gairah yang menyala dalam dada nyatanya kian membara andai kata yang mengulum kontolku sekarang adalah Rara. Membayangkan betapa nikmat tubuh ranum yang jarang digagahi oleh suami bodohnya itu.
Rara ... Rara ... kapan Mas bisa mencicipi memekmu yang enak itu?
***
Bersambung.
Duh.... panas banget ya. Kalian kerasa panas juga nggak?
Lody cari kipas dulu ya.. hehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro