Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IPARKU KEKASIHKU 3

Karya milik Ry-santi Ry-Santi.

Makin penasaran kan? Kalo gitu langsung baca yukk...

Selamat Membaca

Curhatan Rara pada ujungnya mengusik benak selama beberapa hari hingga tanpa sadar kalimat gadis itu menyelinap dalam mimpi. Bagaimana dia mengeluhkan kehidupan rumah tangga terutama aktivitas seksual yang seharusnya dilakukan penuh gairah oleh dara muda apalagi pengantin yang baru mengarungi bahtera rumah tangga. Ini bukan hal tabu bagi orang dewasa, namun akan jadi aneh bila perempuanlah yang mengeluh tak pernah puas.

"Temenku bilang, kalau kita nggak puas berarti kita mainnya kurang ganas. Mereka malah nyuruh aku ini itu, padahal masalahnya tuh ada di Edi, Mas!" keluh Rara saat kami makan malam selagi menanti Lita pulang.

"Menurutku, masalah ini jangan kamu sebarin ke temen. Nggak enak dengernya, Ra," komentarku. "Tapi ... apa kamu nggak ngomongin masalah ini ke Edi?"

Rara mengembuskan napas panjang sambil mengaduk-ngaduk makanannya tak minat. "Berulang kali. Tapi, Mas Edi malah nyalahin aku padahal dia sendiri yang terlalu cepet keluar. Belum lagi gosip dia main belakang sama cewek yang satu kapal dengannya, malah bikin aku waswas. Screenshoots WA yang aneh-aneh tuh tiap hari masuk ke hapeku. Sampe aku nggak berani buka kalau bukan dari pegawai toko."

"Jadi, masalah utamanya yang mana? Main cewek apa kamu yang nggak p—"

"Ih, apaan sih! Katanya nggak boleh cerita ke sembarang orang masalah ranjang?" ketus Rara kesal bukan main. "Ya ... dua-duanya..." ucapnya malu-malu.

"Jadi, kalau kamu nggak puas gitu, apa yang kamu biasanya lakuin?"

"Bajingan," gumamku ingin sekali menarik pertanyaan konyol itu dari pendengaran Rara. Tidak seharusnya aku ikut campur lebih jauh daripada terus dibayangi seperti ini. Tentu itu urusannya bukan urusanku bagaimana dia memuaskan dirinya kan?

Ditambah jawabannya bagai menuang minyak tanah ke dalam pijaran api. Hasratku yang tadinya tertahan mendadak menyembur bak gunung api menyemburkan lahar membayangkan bagaimana Rara bermain-main dengan tubuh sintalnya tersebut.

"Ya ... aku baca novel atau komik erotis sambil ... nyentuh diri sendiri. Masa iya aku pesen di aplikasi ijo? Belum tentu mereka bersih kan?" jawab Rara santai. "Sungkem sih sama orang yang nyiptain dildo gitu, Mas. Paling nggak aku bisa salurin daripada uring-uringan kayak gini."

Alhasil, beberapa hari ini pula aku sengaja menjaga jarak dari Rara sebab malu atas pertanyaan malam itu. Sementara Rara sendiri bersikap biasa-biasa saja seolah-olah obrolan lusa kemarin tidak berarti baginya. Seperti sekarang, ketika istriku menyuruh Rara memanggilku dari teras, aku berjingkat kaget bukan main kala tangan lentiknya menepuk pundakku.

"Sampean kiro aku setan? Ngelamun ae yo sampean iki," canda Rara menunjuk batang hidungku.

(Kamu kira aku setan? Melamun aja ya kamu ini)

"Lagi mikir ape malmingan nang ndi karo Mbak-mu, guduk mikir liyo, Ra," elakku padahal sebetulnya pikiranku melalang buana padanya.

(Lagi mikir mau malmingan ke mana sama Mbak-mu, bukan mikir yang lain, Ra)

"Trawas loh, Mas," usul Rara saat aku mengekorinya. "Cari yang dingin-dingin, biar aku yang jaga rumah."

"Kamu sendiri nggak balik ke rumahmu?" sindirku supaya Rara pergi dari rumah ini. "Mas bisa nganter ke Lawang."

Karena godaannya makin lama makin besar.

Rara menggeleng dan pandanganku bertemu tatap dengan Lita yang menaruh banyak pertanyaan pada adiknya. "Enak di sini," jawab Rara. "Kalau di Lawang, bapak sama ibu pasti tanya mantu kesayangannya itu. Males aku. Wong mantu e ae jarang moleh kok malah digoleki."

(Orang menantunya aja jarang pulang kok malah dicariin)

"Mas Edi kan emang paling deket sama bapak, Ra, ya jelas dicariin apalagi sama-sama kerja di kapal," sahut Lita.

"Aku yang dinas di korps kesehatan nggak dianggap nih?" timpalku pura-pura cemburu, menerima sepiring nasi dari Lita yang terkikik atas jawaban yang menurutnya kekanakan. "Lah yo opo, Edi disayang bapak karo ibu, lah Mas?" Aku menuding diri sendiri berlagak sebagai menantu tak dianggap meski tanpa divalidasi pun, aku tahu orang tua Lita juga menyayangiku.

Lita mengecup pipi kananku tanpa sungkan. "Apa sih ... dari kemarin merajuk terus," katanya sambil mencolek daguku. "Kan habis ini kita pergi jalan-jalan."

"Aku tadi saranin dia ke Trawas padahal, Mas Dewa malah nggak ngasih komentar. Di sana tempatnya bagus kok, aku bisa ngasih rekomendasi tempat karena kemarin ada pelangganku yang honeymoon di sana," cerocos Rara tanpa henti.

"Duh jiwa sales-nya udah muncul nih," ledek Lita. "Ya udah kirimin ke Mbak aja, Ra. Sekarang kita makan dulu. "Tumben-tumbenan nih, Mbak bisa masak sendiri dengan tenang tanpa gangguan orang kantor."

Rara duduk di sampingku sementara Lita di depanku. Dia menuang sayur asem yang masih mengepul panas dilanjut menaruh ikan asin, tahu dan tempe. Tak lupa pula dia menawarkan sambal terasi kepadaku juga memberi segelas es teh manis untuk melegakan dahaga di tengah panasnya Surabaya.

Sambil menikmati hidangan, kami mendengarkan Lita bercerita mengenai penggerebekan jaringan narkoba yang begitu dramatis. Bersama tim gabungan kepolisian Tanjung Perak dan Polda Jatim, Lita bilang kalau sempat kejar-kejaran dengan pelaku yang berusaha kabur bahkan bersembunyi di rumah warga. Beruntung tersangka yang berjumlah 25 orang itu berhasil ditangkap termasuk dua bandar yang menjadi DPO.

"Ada sekitar 57 paket sabu siap edar, Mas," kata Lita menggebu-gebu. "Gila nggak sih? Pas kami cek urin, semuanya positif."

"Tapi nggak ada baku tembak kan, Mbak?" timpal Rara yang begitu antusias mendengar aksi heroik kakaknya.

"Nggak." Lita menggeleng cepat. "Kami minimalisir baku tembak apalagi kampungnya sempit banget."

"Sepahamku, kampung itu emang jadi sarangnya bandar narkoba kan, Sayang?"

"Iya," jawab Lita. "Maka dari itu, kami bangun posko khusus untuk mengawasi kampung narkoba di jalan Kunti itu, Mas," terangnya lagi.

"Padahal ketergantungan obat kayak gitu mana enak," sambung Rara. "Lebih enak makan ikan asin sama sambel terasi, bikin kenyang. Lah narkoba? Yang ada duit terus-terusan melayang."

Kami tertawa mendengar ocehan Rara. Di satu sisi, aku begitu salut atas keberanian Lita menghadapi risiko pekerjaan yang benar-benar tidak bisa kubayangkan bila menjadi dirinya. Perempuan di mataku tetaplah manusia yang wajib dilindungi, termasuk ...

Ekor mataku melirik Rara sebelum menjatuhkan atensi ke bibir tipis lalu turun ke lekuk leher jenjang yang dilingkari kalung emas berliontin hati. Tak sengaja lutut kami bersinggungan di bawah meja, membekukan desiran darah. Apalagi Rara mengenakan celana pendek yang otomatis kulit pahanya yang mulus begitu menggiurkan mata pria sepertiku. Sesaat, kami saling berpandangan tapi anehnya Rara menganggap sentuhan tersebut bukanlah apa-apa, sementara hatiku ...

Hatiku dibuat tak karuan olehnya.

Perasaan macam apa ini? Dia adik ipar, mana mungkin aku tertarik hanya karena dia ... merasakan apa yang kurasakan?

Bahwa kami sama-sama tak bisa puas atas kehidupan ranjang bersama pasangan kami.

***

Bersambung.

Saling tarik menarik nih... 

Lanjut besok lagi.

Pelukan dari Lody.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro