IPARKU KEKASIHKU 2
Cerita milik Ry-santi Ry-Santi.
yang kemarin penasaran, yukk lanjut baca lagi.
Selamat Membaca
"Sayang!"
Suaraku memenuhi ruang tamu selagi menenteng kantong berisi ayam bakar kesukaan Lita. Apalagi dia sempat mengabari pulang lebih cepat dari biasanya serta mengirim foto lingerie merah nan menggiurkan. Tentu saja kode yang diberi Lita tidak boleh kusia-siakan begitu saja. Sudah lama pula kami berdua tidak menghabiskan waktu sepanjang malam layaknya pasangan dimadu asmara.
Ekspektasi disambut Lita nyatanya pecah manakala Rara muncul sambil memeluk wadah stainless steel di tangan kiri dan tangan kanan mengaduk adonan. Wajah manis gadis itu agak belepotan akibat percikan campuran bahan kue yang sedang diolahnya sekarang. Mata bulat Rara membeliak kaget sekaligus kikuk menerima kehadiranku.
"Eh, Mas," sapanya. "Mbak belum datang."
"Oh." Aku menyengguk, menempatkan bingkisanku di atas meja ruang tamu lantas mendudukkan diri tuk melepas sepatu. "Gimana perasaan kamu?"
"Ehm ... masih sedih sih tapi seenggaknya kalau berkutat sama kue gini sedihnya jadi agak hilang," jawab Rara sesekali bermuram durja. "Ya ... namanya juga istri, maunya disayang terus."
"Ye ... masa istri doang, suami tuh juga maunya disayang kali, Ra," protesku supaya Rara tidak menyamaratakan pria seperti suaminya. "Kadang cewek juga sering nolak cowok kok," ungkapku bila mengingat beberapa kali Lita menolak bercinta. "Tergantung suasana hati aja sebenarnya."
Rara manggut-manggut sambil menggumam tak jelas, tangannya masih terus mengaduk adonan sementara pikirannya mungkin melayang ke antah berantah akibat ucapanku.
Aku beranjak, mencolek puncak hidung mancungnya yang terkena adonan kue. "Kalau ngocok adonan nggak usah bar-bar. Wajah kamu jadi jelek gini," godaku.
"Ih, apaan sih!" sembur Rara kesal. "Aku ngocoknya juga nggak kasar-kasar amat," imbuhnya berjalan ke dapur. "Mas udah makan?" Suara Rara agak meninggi ketika aku menanggalkan pakaian di kamar.
"Belum," jawabku. "Mas bawain ayam bakar kesukaan Mbak-mu, nanti kita makan bareng."
Tak berapa lama ponselku berdering menunjukkan panggilan dari istriku. Sejenak aku berpikir apakah dia terjebak macet mengingat area pusat kota Surabaya selalu dipadati kendaraan di jam-jam sore seperti ini. Ketika aku menekan ikon hijau, suara Lita dan suara-suara lain yang agak berisik langsung menusuk telinga.
"Loh, kamu masih di kantor?" tanyaku terdengar kecewa. "Katanya pulang lebih awal, Sayang?"
"Aku putar balik, Mas. Ada panggilan mendadak dari atasan tentang kasus yang lagi kami kerjakan," lapor Lita. "Timku nemuin barang bukti baru jadi malam ini kami mau menggerebek lokasinya. Beberapa ada yang sudah berangkat buat nyamar."
"Ya ampun..." Kepalaku rasanya mau pecah mengetahui lagi-lagi rencana kami tuk bermesraan gagal. "Mas udah beliin ayam bakar kesukaan kamu loh."
"Iya, aku paham. Tapi, gimana lagi. Ini kasus gede, Sayang. Maaf ya... nanti kalau selesai aku langsung balik. Kamu makan aja dulu sama si Rara."
"Ya aku beliinnya buat kamu kok malah makan berdua sama Rara, gimana sih!" Aku masih mencerocos tak terima bila hari yang kunanti malah berakhir mimpi belaka. Bayang-bayang Lita dibalut lingerie berenda merah pupus sudah.
"Maaf ... urusan negara, Sayang ..."
Kupejamkan mata supaya kemarahan yang sudah menjalar ke ubun-ubun ini reda. Urusan negara memang penting, tapi posisiku sebagai suaminya tak lagi berarti bila terus-menerus menuruti pekerjaan yang tiada habis. Kadang ingin sekali aku menyuruh Lita pensiun dini agar lebih memfokuskan diri sebagai istri. Toh gajiku sebagai perwira juga lebih dari cukup menghidupi kami berdua juga calon anak kami di masa depan. Lantas apa yang diinginkannya lagi?
"Mas?"
Helaan napas kasar keluar dari lubang hidungku lalu berkata, "Ya udah deh."
"Nadanya jutek gitu sih," goda Lita berusaha membujukku. "Malmingan bareng nanti, tiga hari lagi oke? Jangan ngambek gitu dong..."
"Iya udah, Mas nggak ngambek cuma kesel aja soalnya kamu tadi bilang pulang cepet eh malah nggak jadi," tuturku. "Ya udah, kamu hati-hati ya. Kabarin kalau udah sampe di sana. Share lokasi juga."
"Siap, Ndan." Lita terkekeh tanpa dosa. "Tolong jagain Rara ya. Siapa tahu dia galau lagi sama suaminya."
"Iya."
Keluar kamar dengan perasaan yang masih menggerombol karena menelan kecewa, aku menangkap Rara sedang mencelupkan kue ke dalam cokelat cair sambil tersenyum. Seolah-olah air mata yang dikucurkannya tadi subuh tak lagi berarti bila dihadapkan deretan kue brownies yang baru dipanggang. Paduan aroma margarin juga coklat memenuhi dapur seketika terendus di hidung begitu menggugah selera. Dibanding Lita, Rara jauh lebih jago dalam urusan masak-memasak. Maklum saja, sewaktu aku dan istriku berpacaran, gadis itu selalu menggebu-gebu ingin memiliki toko kue sendiri seperti yang ada di komik-komik. Aku juga tidak seberapa paham korelasi kartun dengan kemauan menjadi tukang kue.
"Mbak Lita nggak jadi pulang?" Celetuk Rara tanpa memandangiku. Kini tangannya menaburkan butiran warna-warni di atas kuenya.
"Kamu denger?" Kusambar satu kue tanpa persetujuannya dan melahap dalam sekali suapan.
Rara tidak menegur justru menyunggingkan senyum lebar sebab tahu kalau aku salah satu penggemar kue buatannya, "Ya gimana nggak denger, wong suara e buanter koyok wong tukaran."
(Orang suaranya keras banget kayak orang lagi bertengkar)
"Mbak-mu sering PHP," ujarku jujur. "Sopo seng nggak kudu ngamuk. Wes soro-soro ditukokno ayam malah ngelembur ape nggrebek wong."
(Siapa yang nggak marah. Udah susah-susah dibeliin ayam malah ngelembur mau nggerebek orang)
"Namanya juga polisi. Itu cita-citanya Mbak Lita dari kecil sama kayak aku. Bedanya aku pengen jadi tukang roti." Dia mengangkat kue brownies dalam cup kertas bergambar bintang. "Bagus kan?"
Entah dorongan dari mana, badanku refleks condong ke arah Rara dan menggigit kue itu tanpa melepaskan kontak mata. Walhasil jarak wajah kami yang begitu dekat membuat semerbak wangi bunga bercampur keringat ikut terendus di indera penciumanku.
"Mas!" jerit Rara memukul lenganku keras-keras. "Ini buat Mbak Lita malah dimakan duluan."
Aku terbatuk-batuk akibat tersedak menerima pukulan tangan mungil Rara. Meski tingginya jauh lebih kecil daripada aku maupun Lita, tetap saja tenaga Rara tidak bisa diremehkan begitu saja. Buru-buru kuraih gelas dan menuangkan air putih sementara adik iparku menepuk-nepuk punggung.
"Sorry, kelepasan ya aku?" Rara menunduk selagi meyakinkan diri kalau aku baik-baik saja dan tidak akan mati konyol karena tersedak kue. "Nih, kalau mau lagi," sambungnya menyodorkan brownies lagi. "Yang lain masih aku panggang."
"Suapin," pintaku manja.
"Hilih, gayamu Mas ..." cibir Rara namun tangannya menyuapiku potongan kecil brownies. "Enak kan? Makanya ketagihan?"
Aku mengangguk. "Kamu mau makan ayam bakar?"
"Suapin," canda Rara kemudian terbahak-bahak setelah menirukan ekspresiku. "Ayo aja, tapi sudah bilang Mbak Lita?"
"Malah Mbak-mu yang nyuruh kita makan duluan," tandasku mengambil kantong di ruang tamu. "Mbak-mu sama suamimu kayaknya sama-sama workaholic, nggak pernah ada waktu buat keluarga. Cocok kalau dijadiin satu grup kan mereka?"
Mendengar kata terakhir, mendadak raut wajah Rara berubah muram. Sudut bibir tipisnya melengkung ke bawah bagai beban yang tadinya menguap kini datang dan membekapnya kuat-kuat. Dilanda rasa bersalah, tergesa-gesa aku menarik dan menggenggam tangan lantas berucap,
"Maaf, bukan maksud Mas menyinggung masalah kamu, Ra. Tadi cuma bercanda doang kok."
"Nggak apa-apa kok, emang dasarnya suamiku workaholic sih padahal bukan abdi negara kayak kamu," tukas Rara disertai senyum kecut disusul kristal bening mengalir di pipi.
Jempolku terangkat, menghapus air matanya yang sungguh menyakitkan dada. Walau sebatas ipar, hubungan kami sejak dulu memang cukup dekat dan aku sebagai anak tunggal selalu menganggap Rara sebagai adik kandungku. Jadi, bila ada pria yang membuatnya menangis, hatiku ikutan sakit
"Bukan abdi negara tapi kapten kapal tongkang kan duitnya gede, semestinya kamu bersyukur dapet suami pekerja keras," tambahku berusaha menghibur dirinya walau tak tahu apakah kalimat ini akan berhasil atau tidak. "Lagian apa sih yang kalian peributkan? Perasaan lebaran kemarin kalian masih unyu-unyu romantis gitu."
Rara menggigit bibir bawahnya, menghindari tatapanku seakan-akan menimbang sesuatu yang berkecamuk dalam pikiran.
"Cerita aja, siapa tahu Mas bisa bantu dari sudut pandang lain selain Mbak-mu," imbuhku lagi.
"Aku ... masalahnya ...." Nada bicaranya meragu tapi lamat-lamat pandangannya naik mengamati iris mataku. "Aku ..." Dia memelankan suara, "aku nggak puas sama suamiku, Mas."
Bersambung.
Nggak puas nggak tuh? Jadi bikin tambah penasaran kan jadinyaaaa....
Tunggu besok ya.
Cium cinta Lody.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro