Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HASRAT TERPENDAM KAKAK IPAR 1

KARYA BARU DARI 

(Lovelly)

Hanum's POV

Berulang kali aku mengipaskan buku untuk mengusir panas yang rasanya membakar tubuh. Cuaca hari ini yang luar biasa terik, membuat keringatku tidak berhenti bercucuran.

"I will play ...." Aku memijat pelipisku sambil mengamati deretan huruf bahasa asing yang selalu membuatku pusing. Bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran yang aku benci. Karena sudah sekali. "Sepak bola apa sih bahasa Inggrisnya!"

Daripada kepalaku berasap, aku beranjak dari kursi kayu reot yang selalu berbunyi apabila disentuh. Segera aku mengambil dawet sisa buatan ibu. Dari tepung beras ketan berwarna hijau inilah ibu menghidupiku dan Mbak Ajeng setelah Bapak pergi tidak ada kabarnya. Kata Mbak Ajeng, bapak menghilang dua bulan sebelum aku terlahir ke dunia. Mungkin dia sudah tidak sanggup untuk menghidupi kami. Ah! Dasar laki-laki pengecut. Tidak bisa bertanggung jawab dan kabur dari masalah. Aku selalu berharap tidak bertemu cowok brengsek sepertinya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Spontan aku menjawab ketika mendengar salam dan pintu yang diketuk.

Aku menghabiskan dawetku dalam sekali teguk lalu setengah berlari menuju ke pintu.

"Cari siapa ya?" tanyaku setelah beberapa detik bengong, saat melihat pria berseragam biru laut ketat membungkus tubuhnya yang gagah.

Beberapa kali aku memanjangkan leher, tertarik dengan motor besar warna hijau yang dikendarai oleh Mas-mas ganteng itu.

"Mbak Ajeng ada?" tanya pria itu sambil tersenyum lebar hingga mencetak lesung pipi di salah satu sisi.

"Mbak Ajeng belum pulang. Masih di Benteng, ambil pesanan baju online," jelas ku tanpa berniat untuk berpaling dari pria tinggi besar yang tampan itu. "Masnya siapa ya?"

"Devan," ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

"Oalah, Mas Devan." Aku langsung menyambut tangannya. "Aku pikir siapa, habisnya agak beda sama di foto," celetukku.

"Kenapa? Aslinya lebih jelek ya?" Mas Devan terkekeh.

"Nggak, bukan gitu maksudnya." Aku menggelengkan kepala sambil meringis. "Lebih ganteng aslinya."

"Halah, kamu bisa aja dek. Oh ya, ini ada oleh-oleh buat kamu dari Malaysia," ucapnya seraya menyodorkan satu paper bag berwarna emas dan menyisakan 2 paper bag dengan warna berbeda.

"Wah, makasih banget mas." Aku setengah melompat kegirangan sambil melirik isi di dalamnya. "Wah boneka Barbie dan beberapa cokelat penuh di dalam."

"Boneka?" Mataku berbinar, sebab baru kali ini aku memiliki boneka baru secantik ini. Sebelumnya selalu boneka bekas dari tetangga yang dititipkan ke ibu saat bekerja membersihkan rumahnya.

"Suka nggak?"

"Suka banget!" Jawabku sambil tersenyum lebar. "Eh, masuk mas, sampe lupa aku."

"Iya makasih dek." Mas Devan langsung masuk ke rumah dan duduk di sofa yang sudah jebol. Yah, keluarga kami lebih memilih untuk menabung daripada mengganti kursi apabila memiliki uang lebih.

"Sebentar lagi Mbak Ajeng juga pulang kok mas," tukasku.

"Iya."

"Itu buat Mbak Ajeng ya?" tanyaku sambil melirik isi paper bag yang masih tersisa.

"Iya," jawab Mas Devan singkat. "Mbak kamu udah lama pengen ini."

"Cie, So Sweet amat," godaku yang membuat Mas Devan tersenyum malu-malu.

"Mbakmu udah kerja keras selama ini. Mas cuma pengen buat dia seneng aja," tambah Mas Devan. "Eh, menurutmu Mbakmu bakal suka model ini nggak?" Mas Devan langsung mengeluarkan kotak merah beludru kecil dari dalam saku celananya.

Sebuah cincin dengan permata kecil ditunjukkan kepadaku. Sangat cantik.

"Bagus banget ini mas!" responku dengan nada meninggi. "Mbak Ajeng pasti suka."

"Semoga ya," ucap Mas Devan yang tidak berhenti tersenyum saat menatap cincin itu. Dia terlihat sangat mencintai Mbak Ajeng. "Mas mau ngelamar Mbakmu hari ini."

"Ngelamar? Mas Devan mau ngajak nikah Mbak Ajeng?" Aku memastikan. Yah meskipun sebagai murid SMP kelas dua aku paham apa arti melamar.

"Iya. Bulan depan Mas wisuda. Setelah kerja satu tahun, Mas mau nikahin Mbakmu. Ini buat ngikat dia aja," tambahnya.

"Mas Devan kayaknya sayang banget ya sama Mbak Ajeng?" tanyaku ingin tahu.

"Iyalah." Mas Devan tersenyum malu-malu. "Mbakmu itu wanita idaman, Dek," tambahnya.

Aku ikut tersenyum singkat. Mbak Ajeng memang cantik, terlebih dia adalah calon bidan yang sangat pintar hingga mendapatkan beasiswa. Setelah lulus, Mbak Ajeng akan hijrah ke Jerman untuk bekerja. Dia lolos seleksi ausbildung. Berbeda denganku yang tidak terlalu pandai dalam belajar. Selain itu, Mbak Ajeng juga pekerja keras. Setiap pulang kuliah, mampir ke Benteng, pusat grosir Solo untuk mengambil pesanan online. Menawarkan harga yang sangat murah, tempat itu menjadi incaran para penjual online.

"Sebelum direbut orang," tambah Mas Devan.

"Bener juga sih. Kemarin juga ada temen cowok yang nganter Mbak Ajeng pulang. Dia sering banget borong dawet ibu," celetukku spontan.

"Cowok?" Alis tebal Mas Devan nyaris menyatu.

"Iya, cowok. Dia tentara, anaknya Bu Sarah di gang sebelah," jelasku dengan nada sedikit mengadu.

"Oalah, namanya Tino bukan? Dia ABRI di Magelang." Mas Devan memastikan.

"Iya, Mas Tino." Aku menganggukkan kepala mengiyakan.

"Itu Mbakmu udah cerita kemarin. Nah, itulah salah satu ketakutan Mas. Takut Mbakmu direbut cowok lain, salah satunya Tino," tambah Mas Devan.

"Hm gitu." Entah mengapa aku sedikit kecewa dengan reaksi Mas Devan. "Aku ambilin minum, Mas."

"Nggak usah repot-repot, Dek."

"Nggak repot kok. Ini masih ada dawet buatan ibu," tukasku sambil melenggang. "Tunggu ya, Mas."

Dengan cepat aku meracik es dawet untuk Mas Devan. Lalu saat ingin menyajikannya, aku melihat pekerjaan rumah yang belum selesai. Langsung saja aku bawa untuk meminta bantuan kepada Mas Devan.

"Mas ini minumnya," ucapku sambil meletakkan gelas di depan Mas Devan.

"Oh ya, terima kasih banyak, Dek."

"Mas Devan kemarin ke luar negeri ya?" celetukku.

"Iya, prala ke Malaysia sama Singapore."

"Berarti jago bahasa Inggris dong," sambungku.

"Belum jago, tapi bisa," jawabnya.

"Bantuin PR aku dong mas. Bahasa Inggris sepak bola apa sih?" tanyaku sambil menyodorkan buku PR ku kepada Mas Devan.

"Football," jawab Mas Devan sembari memperhatikan buku PR ku.

"Oh, football." Buru-buru aku menulisnya.

"Bentar deh, dek. Kayaknya kamu salah." Mas Devan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. Aku bisa mencium wangi tubuh Mas Devan yang menyeruak. Enak sekali.

"Apa yang salah?"

"Ini harusnya kamu pakai verb ing, karena ini dia sedang bermain," tukas Mas Devan.

"Oh jadinya gimana?" tanyaku bingung.

"Gini bentar." Mas Devan langsung pindah tempat duduk di sampingku. Tubuhnya menyentuh lenganku dengan lembut.

"Jadi, ini kita tulis playing," jelas Mas Devan sambil memegang tanganku.

Detik itu juga, jantungku berdebar tidak karuan. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah Mas Devan. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari pesona pria itu. Dia sangat tampan dengan alis tebal dan tatapan yang tajam. Serta lesung pipi yang manis, seolah menyempurnakan penampilan. Belum lagi sikapnya yang selalu perhatian kepada Mbak Ajeng dan penyayang itu.

"Nah kalau ini mending ditulis May i help you?" Mas Devan masih menyentuh tanganku dan dengan telaten membantuku.

Beberapa detik berlalu dan aku masih terpana melihatnya sambil bengong.

"Dek." Panggilan lembut Mas Devan menyadarkanku.

"Ah, i-iya Mas."

"Udah paham belum?" tanya Mas Devan sekali lagi.

"U-udah, Mas," jawabku sambil terbata. "Mas Devan sabar banget ngajarin aku. Nggak kayak Mbak Ajeng, galak," aduku.

Mas Devan terkekeh sebentar. "Mungkin itu karena kamu nggak mudeng-mudeng kali," tukasnya sambil mencubit kecil pipiku.

Kontan pipiku merona dan rasa panas memenuhi tubuhku. Detak jantung semakin bertalu tidak karuan. Tiba-tiba ada bisikan gila yang merasukiku. Aku menginginkan Mas Devan.

Kemudian aku menggelengkan kepalaku. Berusaha menghalau pikiran jahat yang mulai merasuk ke dalam.

"Eling, Num. Dia calon suami Mbakmu!" peringatku kepada diri sendiri.

TO BE CONTINUED....

Penasaran dengan kelanjutannya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro