Pertama
REPUBLISH!!
###
Pertama. Farah menghirup udara sebanyaknya. Tepat di hadapannya, dua bangunan tinggi menjulang. Matanya menyipit saat sinar matahari menimpa korneanya. Ini akan jadi pengalamannya bekerja dengan profesi berbeda. Profesi yang ditertawakan saudarinya.
Berbekal tekad, dia paksakan kakinya melangkah. Pertama dia menemui bagian resepsionis, memberitahukan tujuannya. Resepsionis muda nan cantik itu menatapnya dari atas ke bawah lalu tersenyum ramah sebelum menyerahkan sebuah kartu.
"Lantai dua puluh dua. Lewat lift sebelah sana," kata resepsionis itu dengan tangan mengarah pada lorong di sisi utara lobi.
Farah bergumam terima kasih yang dibalas anggukan si resepsionis. Lorong lift terdiri dari delapan pintu yang masing-masing sisi berjajar empat pintu saling berhadapan. Telunjuknya menekan tombol naik. Menunggu beberapa saat sebelum akhirnya ada satu pintu membuka. Farah masuk bersamaan dengan seorang pria bule tua. Dia menekan tombol 22 tapi tombol tidak menyala sebagaimana pria bule itu memencet tombol lantai tujuannya.
"Tap your card on the scanner then you can press the floor button," kata pria bule itu.
Farah termangu. Bicara apa bule ini? Demikian pikiran Farah. Seperti paham kebingungan Farah, pria itu menunjuk kartu di tangan Farah.
"Tap your card," kata pria bule itu bersamaan gerak tangannya. Barulah Farah paham untuk menempelkan kartu yang tadi diberikan resepsionis pada bagian bawah deretan tombol lift lalu memencet tombol. Benar instruksi yang diberikan bule tua ini.
"Thank you," kata Farah malu-malu. Ini merupakan pengalaman pertama berbicara dengan bule.
"You're welcome. Do you live here?"
Live. Tinggal ya, dia tanya gue tinggal dimana ya?
"I live in Depok," jawab Farah tidak benar-benar memahami perkataan si bule.
Pria bule itu tersenyum maklum. Dia mengangguk bertepatan lantai tujuannya berdenting dan pintu lift terbuka. "I go first. Nice to meet you. Have a great day," kata si bule.
Farah melambai bersemangat. Ini kejadian menegangkan baginya bercakap dengan bule. Nanti dia akan bagikan pengalaman ini pada temannya. Biarpun ceritanya akan berpotensi nyinyiran norak, dia tidak peduli. Tidak ada yang buruk dari membagikan pengalaman kecuali membagikan aib dan menyebar fitnah.
Satu per satu Farah perhatikan nomor yang terpasang pada pintu di sepanjang kiri-kanan lorong. Mencari nomor yang sesuai dengan tulisan di kertas yang dipegangnya. Begitu ketemu, dia memencet tombol di sisi kusen pintu. Menunggu beberapa saat sampai seorang perempuan berusia pertengahan 40an membukakan pintu.
"Ada perlu apa?" Tanya perempuan itu.
"Saya Farah. Ada janji ketemu Ibu Felicity."
Mata perempuan itu membesar dan senyumnya terbit. Dia membuka pintu lebar mengizinkan Farah masuk. Dengan cekatan dia menunjukan rak sepatu untuk menyimpan sepatu Farah lalu menggiring Farah duduk di sofa.
"Bu Feli lagi kerja. Dia udah pesan ke saya, kamu bakal datang. Katanya dikasih tahu saja kerjaan kamu kayak apa di sini. Jadi jangan sungkan nanya-nanya ke saya. Nama saya Parni," cerocos perempuan itu. Dia menjabat tangan Farah mantap yang membuat Farah menebak sifat perempuan ini tegas namun bersahaja. Terlihat dari bagaimana dia tersenyum dan berekspresi. "Selain saya, masih ada yang lain kerja di sini. Ada Juned, sopirnya bapak. Ada susternya si kembar, sini aku kenalin."
Farah mengikuti Parni memasuki ruangan bermotif hewan dengan dominasi warna biru dan pink. Di dalamnya ada dua orang perempuan berseragam nanny yang sedang duduk melipat pakaian di lantai.
"Nah Farah, ini namanya Yuni. Sok-sokan maunya dipanggil Juniet biar jadi pasangan Romeo. Romeonya si Juned. Nanti aku kenalin ke Juned kalo dia sudah pulang." Seorang perempuan berambut bob menyalami Farah. Sikapnya ramah dan Farah suka tawanya saat diledek Juniet dan Romeo oleh Parni.
"Yang ini namanya Maya. Asli Sukabumi. Pernah ke sana?" Parni bertanya pada Farah yang menjawab lewat gelengan. "Lain kali kita wisata ke sana. Tunggu ibu, bapak, dan si kembar pulang kampung. Bisa bebas kita liburan bareng ke kampung Maya. Boleh kan, May?"
"Boleh, dong. Nanti Teh Farah ikutan. Rumahku dekat sawah dan kebun belakang rumah banyak ditanam sayur-sayuran. Kalo butuh masak sayur, tinggal ke belakang rumah. Petik sendiri, olah sendiri, rasanya enak sekali, teh," kata Maya.
Farah tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Rekan-rekan kerjanya tidak seburuk bayangannya. Mereka cukup menyenangkan di pertemuan pertama.
"Si kembarnya mana?" Farah melirik dua ranjang box bayi yang kosong.
"Belum lahir," jawab mereka bertiga kompak.
Kening Farah mengerut. "Lalu Maya dan Yuni kerja apa kalo si kembar belum lahir?"
"Kita menyiapkan semua kebutuhan si kembar. Steril peralatan si kembar. Siapkan baju-baju. Pokoknya kita siap kerja satu bulan sebelum tanggal kelahiran," jelas Yuni yang tampak lebih berpengalaman dibanding Maya yang wajahnya mirip anak baru lulus SMP.
"Ini wajar kok." Parni mengelus bahu Farah yang tampak masih sukar menerima penjelasan Yuni. Parni membimbing bahu Farah keluar kamar si kembar. Parni menunjukan ruangan-ruangan lain yang ada di dalam apartemen.
"Dapur ini kekuasaan saya. Urusan masak, cuci piring, belanja dapur, itu jatah kerja saya. Kalo kamu bersih-bersih rumah, ganti gorden tiap sebulan sekali, seprei tiap dua minggu sekali. Cuci baju juga tanggung jawab kamu. Biasanya Bu Feli londri bajunya di luar. Kamu cuma perlu urus cucian kotor bapak dan si kembar saja."
"Ganti seprei si kembar juga dua minggu sekali?"
"Belum tahu. Nanti kalo sudah melahirkan, kita tanya ibu. Dia yang atur kerjaan kita." Parni menarik Farah ke belakang dapur. Dia menunjukan ruang cuci dan setrika. Bersebelahan ruang cuci, kamar mandi bagi pekerja. Di pojokan ada kamar yang menurut Parni diisi mereka berempat.
Farah menatap ruangan berukuran dua kali tiga meter yang hanya berisi empat kasur lantai dan dua lemari plastik.
"Kamu bisa berbagi lemari sama Maya. Lah iya, barang-barang kamu mana?"
"Tas ini saja," jawab Farah menunjukan tas punggungnya. Parni awalnya bingung namun perlahan ketegangan di wajahnya meluntur.
"Nanti kalo gajian pertama, beli baju satu-dua. Nggak mungkin anak gadis pakai baju itu-itu saja," nasihat Parni.
"Lihat nanti deh, bu. Aku masih punya kebutuhan lain daripada beli baju," kata Farah disela aktivitasnya membongkar isi tasnya untuk dipindahkan ke dalam lemari.
"Kamu ada rencana nikah makanya butuh simpan uang?"
"Loh kenapa nebaknya gitu?"
"Biasanya anak gadis kan begitu." Parni turut membantu merapikan bawaan Farah.
"Jangan, bu. Biar aku saja. Ini sedikit kok."
"Sedikit toh. Nggak apa bantu teman baru. Nanti kamu dan saya bakal saling bahu-membahu kerja di sini. Harus dibiasakan sejak awal."
"Malah aku yang nggak nyaman."
"Belajar membiasakan diri mulai sekarang. Kita bakal jadi keluarga di sini. Tinggal bareng, kerja bareng, makan bareng, repot juga bareng-bareng. Manusia memang gitu, nggak bisa jauh dari uluran tangan sesamanya."
"Semoga kita bisa jadi yang sering kasih uluran bantuan ke orang. Bukan yang selalu menerima uluran bantuan orang."
"Bisa asal kerja keras. Nah, soal uang gajimu. Kenapa nggak bisa dipakai buat senang-senang pribadi? Baju termasuk kebutuhan tiap orang. Mau kaya, mau miskin ya butuh baju."
Farah menggeleng pelan. "Aku mau kuliah, bu. Harus nabung dari sekarang. Biar cukup buat bayaran."
"Wah, bagus itu pikiranmu. Jadi orang susah nggak berarti mesti hidup terima nasib. Belajar hidup prihatin dari kondisi diri sendiri buat jadi bekal mewujudkan mimpi. Semangat ya. Saya doakan kamu bisa kuliah sampai lulus. Dapat pekerjaan yang lebih baik," kata Parni penuh semangat.
Farah mengulas senyum tipis. Dalam hatinya dia mengamini ucapan Parni. Semoga usahanya sampai di tempat ini akan berbuah sesuai harapannya. Bisa kuliah dan bekerja yang lebih layak. Mungkin juga, gue bisa balik tinggal bareng nyokap.
"Far, jangan mentok jadi pembantu. Kamu harus berjuang jadi wanita karir yang sukses kayak Bu Feli. Sudah cantik dan baik, dia juga sangat pintar. Setelah melahirkan, dia akan ikut training dari kantornya buat naik jabatan jadi manajer. Hebat sekali kan?"
Membayangkan sosok majikan perempuannya dari cerita Parni, Farah merasakan letupan semangat besar di dadanya. Dia akan berjuang dan membuktikan diri bahwa dia mampu membiayai kuliahnya sendiri dan memcukupi kebutuhan hidupnya.
***
Sosok Bu Feli melebihi ekspektasi Farah. Perempuan yang berusia di ujung dua puluhan itu sangat cantik dan sangat baik. Dia bertutur sopan kepada Farah yang notabene adalah pembantu baru di kediamannya. Suami Bu Feli bernama Pijar, juga sosok yang tidak kalah sempurna dari istrinya. Berperawakan tinggi tegap dan berkulit putih khas keturunan Chinese ditambah senyum lebar, Pak Pijar sangat pantas bersanding di sebelah Bu Feli. Dengan kondisi Bu Feli yang tengah hamil tua, Pak Pijar selalu sigap mendampingi istrinya.
Farah masih berlama-lama memperhatikan bagaimana pasangan suami istri itu masuk ke kamar mereka. Tangan si suami merangkul protektif pinggang istrinya. Sementara kepala si istri bersandar manja pada bahu sang suami. Indah sekali melihat keromantisan calon orangtua kembar itu.
"Kalo pengen main ayang-ayangan kayak bos dan istrinya, nikah dong!"
Kesenangan Farah buyar ketika di dekatnya muncul sosok yang dia kenali bernama Juned. Baru sejam mereka kenal namun Farah sudah bisa menebak Juned sebagai tipe pria yang bawel dan luwes bergaul. Dengan mudahnya dia menyampaikan pemikirannya seperti kali ini, dia lancar menggoda Farah yang tergolong baru dia kenal.
"Memangnya kalo aku pengen, kamu mau menuruti kepengenanku?" Farah membalasnya tidak kalah becanda. Di rumahnya, ada tetangga yang semodelan Juned. Saat candaan mereka ditimpali kesal atau marah, mereka akan makin gencar menggoda. Kalau dibalas seperti Farah tadi, berpotensi dianggap genit. Sejauh ini Farah tidak merasa genit. Dia mengucapkan kalimatnya datar dan tanpa ekspresi berarti.
"Gue sih mau saja mengabulkan kepengenan lo, tapi kudu dapat restu orangtua lo dulu. Padahal gaji gue saja nggak nutup makan sebulan."
"Curhat, bang?" Sindir Farah.
"Mau kasih tahu saja dari awal. Biar Mpok Farah nggak kaget lihat perekonomian keluarga kecil kita kelak." Cengiran lebar Juned membuat Farah memutar bola matanya. Jengah juga membalas ocehan pria yang dia taksir seumuran dengannya.
"Curhat ke Juniet gih. Dia yang siap dinikahi Bang Juned. Bukan aku," kata Farah sambil lalu. Dia berjalan menuju dapur tanpa keinginan memperpanjang obrolan dengan Juned. Dia akan bertanya pada Parni, apa yang perlu dia kerjakan malam ini. Kalau tidak ada, dia ingin istirahat saja di kamar.
Juned berbasa-basi sebentar dengan Parni di dapur sebelum pamit pulang ke indekos. Menurut Parni, Juned menyewa satu kamar kost dekat apartemen. Farah bernapas lega, malam ini dia tidak perlu lama-lama mendengar kebawelan Juned.
Satu notifikasi pesan masuk pada ponsel Farah berbunyi. Segera dia ambil ponsel samsung galaxy young yang sudah retak layarnya itu.
085645******
Kalo emang pengen bgt nikah, bang juned rido nabung demi mpok farah ^-^
"Ya ampun, cowok ini ya," geram Farah kesal bersamaan dia membalas pesan dari nomor yang tidak dia kenal.
Farah
Gak pengen -_-
###
24/12/2017
Re-pub 18/08/2018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro