Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ketiga

Pekerjaan di apartemen bosnya menurut Farah sangat menyenangkan. Dia bebas mengatur pekerjaan apa yang ingin dia kerjakan duluan sampai terakhir. Tidak ada yang mendiktenya. Teman-teman kerjanya juga sudah dianggap sebagai keluarga. Hari-harinya dipenuhi tawa dan keceriaan.

Membawa vacum cleaner, Farah membuka pintu ruang mencuci. Betapa terkejutnya dia menemukan Maya duduk di lantai tengah menangis tersedu-sedu. Segera dia dekati Maya, memeluknya untuk membagi ketenangan.

"Ada apa?" Tanya Farah.

Maya menggeleng.

Agaknya akan sulit bagi Farah membuka mulut Maya. Dia duduk di samping Maya, memilih hanya menggosok punggung gadis berusia tujuh belas tahun itu. Dia akan menggunakan cara lambat untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya.

Sekurangnya sepuluh menit, tangis Maya mereda. Kepalanya sudah berpindah pada bahu Farah. Terpotong-potong isakan napas, Maya mulai bercerita. "Aku nggak tahan sama Bu Feli. Tiap hari aku kena omel soal Joshe. Aku nggak salah. Joshe yang nggak mau minum susu formula. Dia jadi mudah demam karena kurang cairan. Aku dan Yuni sudah bilang ke Bu Feli, dia malah ngomel bilang aku yang harusnya cari cara biar Joshe mau minum susu formula. Joshe baru empat bulan, kenapa dipaksa begitu? Aku yang nggak tega."

Farah mengeratkan pelukannya pada Maya. Dia memahami situasi Maya. Setiap hari, omelan Feli terdengar. Jerit tangis Joshe juga membuat seisi apartemen kalang kabut. Kadang dia berhasil membujuk Joshephine minum susu formula. Namun lebih sering berakhir gagal. Joshua lebih mudah diurus tapi susah berpindah tangan. Sejak pertama Yuni mengurusnya, nyaris tidak mungkin menyentuh Joshua kecil. Dia menolak diasuh yang lain.

"Aku bakal bantu jaga Joshephine. Jangan menyerah ya. Ada Bik Parni juga yang pasti selalu sedia membantu. Oke?"

Maya mengangkat kepalanya, menatap Farah misterius. "Kamu kenapa mau jadi pembantu, Far? Kamu bukan orang kampung. Kamu tinggal di pinggiran Jakarta. Kenapa nggak coba cari pekerjaan yang lebih mendingan. Kantoran mungkin."

"Susah cari kerja. Pas kepepet butuh kerja, tawaran yang datang di sini. Lumayan dapat tempat tinggal dan makan sampai kenyang. Gaji kecil itu relatif. Di sini karena jarang keluar dan ketemu tukang jualan, aku malah bisa nabung banyak buat nanti kuliah."

"Aku doakan kamu segera kuliah ya," kata Maya.

Farah mengangguk. Dia sudah bertekad akan melanjutkan pendidikannya dengan biaya sendiri. Empat bulan di sini, uang tabungannya sudah cukup untuk membayar uang gedung di universitas incarannya. Setelah membuka situs resmi universitas, dia jadi tahu ada pilihan pembayaran uang semester yang bisa dicicil. Tentu meringankan pengeluarannya. Semakin matang rencananya melanjutkan kuliah.

Nasibnya memang lebih beruntung daripada Yuni dan Maya yang harus tiap bulan mengirim uang ke keluarga di kampung. Ibunya secara terang-terangan menolak kiriman uang gajinya yang pertama dan berkata akan mengutuknya jadi batu kalau masih berani memberikan penghasilannya. Meski itu hanya guyonan belaka, Farah paham ibunya ingin membantu mimpinya kuliah dengan menolak pemberiannya. Setiap ibu punya caranya masing-masing menunjukan perhatian.

Barangkali Bu Feli menggunakan cara unik menyampaikan kasih sayang ke anaknya. Farah teringat bagaimana bos wanitanya bersikap sejak melahirkan.

***

Jakarta mulai dilanda musim hujan berangin kencang. Tinggal di apartemen pada lantai atas sebenarnya cukup membuat was-was Farah dan Bik Parni. Mereka berdua buru-buru menyelesaikan kegiatan masak. Bik Parni masih menganut kepercayaan lama, saat hujan pantang menyalakan kompor. Farah enggan mencari tahu alasan logisnya. Baginya kebanyakan kepercayaan nenek moyang diikuti demi kebaikan dan semoga memang benar ada kebaikan yang tersimpan dari kepercayaan Bik Parni.

"Itu si kembar nangis mulu. Rewel kenapa?" Tanya Bik Parni usai mematikan kompor.

Farah mengendikan bahu sambil menata gorengan bakwan dan tahu isi di atas piring saji. Ini kebiasaan Farah, ketika fokus dengan sesuatu akan sukar dialihkan. Bik Parni tersenyum diam-diam melihat ketekunan Farah. Dia memilih pergi menuju kamar si kembar untuk memeriksa keadaan bayi majikannya.

Tidak berapa lama Bik Parni kembali tergopoh-gopoh. Dia melintas dapur menuju kamar mereka. Farah hanya melirik sekilas. Sekembalinya dari kamar, wajah Bik Parni nampak khawatir. Farah meninggalkan kesibukannya, mengarahkan Bik Parni pada kursi.

"Ada apa, bik?" Farah mengelus bahu Bik Parni yang naik turun tidak beraturan.

"Maya nggak ada," kata Bik Parni masih dalam ekspresi kaget.

"Tadi aku lihat dia keluar. Katanya mau beli pembalut. Belum balik?" Tadi Farah memang melihat Maya keluar.

"Baju dan tasnya nggak ada." Mata Bik Parni menjelajah tidak sabaran. "Aku firasat dia kabur."

Farah tertawa. "Nggak mungkin dia kabur, bik."

"Gimana bisa nggak kabur. Minggu lalu gajian, dia punya cukup uang buat balik kampung," balas Bik Parni. Nada bicaranya mulai meninggi dan terdengar tidak sabaran. "Ya Allah, aku bilang apa sama Bu Feli?"

Farah bukan menghawatirkan tanggapan bos wanitanya. Dia menghawatirkan tindakan yang dilakukan gadis semuda Maya di luar sana. Jakarta tidak sebaik dan seramah yang dipikirkan gadis remaja itu. Menepis ketidaknyamanannya, dia menuju kamar si kembar. Yuni menggendong Josephine dengan sebelah tangan. Tangan kanannya dia pakai memegangi botol susu yang tengah dikenyot Joshua.

"Biar aku gendong Josephine." Farah mengambil alih bayi perempuan itu. Menimang-nimangnya sambil menyenandungkan lagu nina bobo. Awalnya Josephine meronta, lama-kelamaan dia tenang.

"Maya kayaknya kabur, Far," kata Yuni saat Farah meletakan Josephine di ranjang bayinya.

"Tahu dari mana?"

"Semalam aku lihat dia beresin tasnya dan sampai sekarang dia nggak balik bantuin aku. Kemana coba kalau nggak kabur." Yuni berkata dengan napas memburu. Farah turut iba atas kesulitan yang ditinggalkan Maya. Si kembar bukan bayi yang mudah diasuh, itu diakuinya.

"Lagi coba dihubungi Bik Parni. Sabar ya." Farah mengelus punggung Yuni. Mereka berdua duduk bersandar pada ranjang si kembar.

"Kalau Maya nggak balik, aku nggak tahu sanggup apa nggak asuh Josephine dan Joshua sendirian. Apalagi Bu Feli punya banyak tuntutan. Kadang aku kasihan sama Maya yang sering kena omel Bu Feli karena Josephine nggak mau minum susu dan mudah demam." Yuni menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Dia menangis terdengar lewat isakan dan getar badannya.

Farah tidak bisa berkata apapun. Bekerja di sini menyenangkan baginya tapi tidak selalu begitu bagi yang lain.

***

Kepergian Maya tidak lagi dibicarakan setelah seminggu kejadian itu berlalu. Yuni yang sekarang sepenuhnya memegang tugas mengasuh kedua bayi. Bos mereka berjanji akan mencari perawat pengganti Maya yang sampai akhir bulan tidak datang juga.

"Nyari perawat bayi tuh gampang. Tinggal datang ke yayasan, ngobrol dikit dan TARA datanglah mbak bayi baru besoknya. Selama mau bayar gaji dan setuju dengan kontrak, semua bisa diatur di Jakarta," kata Juned. Dia menyesap kopi hitamnya santai.

"Tahu dari mana?" Farah mencomot gorengan pisang vanila yang baru disajikan Bik Parni. Dia meniup pisang itu sebelum digigit.

"Elah, tanya noh Yuni. Yayasan sekarang mah menjamur, mereka bersaing. Kalau berani nolak atau lelet kerjanya, bisa kabur tuh calon konsumen."

"Bahasa si Juned mantap juga. Nggak percuma kamu kerja sama Pak Pijar dari lulus SMA," puji Bik Parni yang ikut duduk di meja dapur. Juned tersenyum congkak atas pujian Bik Parni namun tidak diacuhkan Farah maupun Yuni.

"Aku sih ngerasa memang ibu nggak cari pengganti Maya. Ini sudah mau sebulan aku jaga mereka berdua. Joshua jadi ikutan rewel karena Josephine nangis terus. Susah diajak minum susu banget Jose." Yuni memijat pelipisnya dengan kedua tangan. Wajahnya dirundung frustasi. Bukan hanya sulit mengasuh Jose, tekanan dari bos wanita turut menjadi faktor sakit kepalanya.

"Jose masih kecil, Yun. Sabar sedikit. Dia butuh waktu terbiasa sama susu formula," kata Juned sambil mengoper gelas jus yang dituang Farah.

Farah berdecak sebal. Mestinya itu gelas jusnya tapi dipindah tangan tanpa izin ke Yuni. Melihat betapa rakusnya Yuni meminum jusnya, Farah memaksakan senyum maklum. Mungkin rekannya itu lebih butuh. Di sebelahnya, Juned tertawa berhasil mengerjai Farah.

"Rasanya gue pengen minta emak di kampung cariin gue calon suami. Siksaan lahir bathin begini terus. Berat badan gue turun dua kilo kurang dari sebulan. Mau sekerempeng apa lagi gue." Yuni merentangkan tangannya, memamerkan lengan kurusnya.

Farah ikut prihatin melihat betapa sulitnya Yuni. Sekadar tidur saja, Yuni terpaksa menggelar kasur lipat di kamar si kembar. Terkadang Farah menemani. Tapi tidak bisa sering, terlebih dia sudah memulai kuliahnya tiap sore hingga malam. Ikut tidur bersama Yuni berarti acara begadang. Esok harinya dia akan mengantuk sepanjang kerja dan tidak bisa menyelesaikan pekerjaan sebelum kuliah sorenya dimulai.

"Kalau gue boleh tinggal sini, pasti gue bantu. Sayangnya Bu Feli larang pekerja cowok tinggal di sini." Juned melirik Farah. "Lo nggak ditawarin jadi pengasuhnya Jose?"

"Gue? Kenapa gue?" Farah mengernyit bingung.

"Nggak bakal dikasih sama ibu. Dia maunya yang sudah terlatih, seminimal sudah dapat training dari yayasan penyalur," potong Bik Parni.

"Padahal ngasuh Jose lebih gede gajinya." Juned sengaja menyenggol bahu Yuni yang berujung pelototan.

"Memang berapa gaji jadi pengasuh Jose?" Tanya Farah penasaran.

"Gue sih dibayar empat juta. Kalo Maya setahu gue dibayar tiga koma lima. Beda gitu soalnya gue punya sertifikat training merawat bayi. Kalau Maya kecil karena ini pengalaman pertama dia ngasuh bayi. Sebelumnya dia asuh balita apa batita gitu," jawab Yuni.

"Empat juta?" Farah membelalak kaget. "Gede ya?"

"Kalau bayi baru lahir memang rata-rata segitu. Eh tapi balik lagi sih ke bos dan susternya. Ada teman kampung gue cuma digaji dua juta mana cuci gosok pakaian si bayi. Kasihan. Nasib-nasiban kali ya," tambah Yuni seolah topik gaji ini hal remeh.

"Enak banget. Jauh dari gue." Farah bersandar lemas pada punggung kursi.

"Lo berapa?" Juned mewakili penasaran kedua rekannya.

"Satu setengah juta," desis Farah lemah.

"Tapi lo punya waktu luang buat kuliah, Far. Gue cuma punya libur dua hari dalam sebulan." Yuni memutar bola matanya.

"Iya, sih. Gue tiap Kamis dan Jumat bisa bebas kuliah dari jam lima sampai sembilan. Sabtu bisa kuliah dari pagi sampai sore." Farah tersenyum kikuk mengakui masing-masing pekerjaan punya keuntungan dan kerugian tersendiri.

"Kuliah gimana? Enak, Far?" Tanya Bik Parni.

"Lumayan. Awalnya minder tahu teman sekelas kebanyakan kerja kantoran. Pas ditanya aku kerja apa, ngaku dong jadi pembantu. Besokannya nggak ada yang mau ajak aku ngobrol. Malas kali berteman sama orang yang kerjaan nggak keren kayak aku." Farah tertawa lepas. Juned, Bik Parni, dan Yuni menatapnya aneh. Merasa diperhatikan, Farah menggaruk dahinya kikuk. "Aku nggak masalah sama pekerjaan ini. Toh halal."

"Itu baru pemikiran orang berpendidikan. Bagi-bagi ilmu kamu ya," kata Bik Parni bangga. Dia menepuk bahu Farah penuh rasa suka cita. Jarang ada perempuan dengan pemikiran seberani Farah terutama bagi mereka yang sudah mengetahui betapa hedon ibukota.

###

24/12/2017
Revision update 02/09/2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro