Kedua
Farah merentangkan tangannya ke atas. Bahunya pegal semalaman kurang tidur karena membantu Maya dan Yuni menjaga si kembar. Dia berjalan menuju meja dapur. Aroma masakan Parni sudah menjelajah dapur. Menggugah lidah Farah.
"Enak banget aromanya, bik," kata Farah sambil menghirup banyak-banyak asap yang mengepul dari jajaran lauk di atas meja.
"Hus, yang sopan. Makanan ini buat Bu Feli dan Pak Pijar. Bagian kita yang di penggorengan dan panci. Sepuasnya boleh sendok asal ingat teman yang belum makan," sergah Bik Parni. Dia yang meminta secara langsung agar Farah memanggilnya 'Bik Parni'. Panggilan 'Bu Parni' akan menimbulkan kerancuan dengan panggilan hormat bos wanita mereka.
"Kita mah nggak bakal dijamu cantik dan apik kayak gini sama Bik Parni. Yang ada malah diomelin, 'tangan kamu masih bisa kan tata makanan sendiri. Jangan manja.' Nyebelin ya bibik kesayangan kita ini," sahut Juni yang tahu-tahu sudah ikut duduk di sebelah Farah menatapi sajian untuk majikan mereka.
"Ya memang tangan kamu masih bisa gerak. Kalo mau cantik begini, tata sendiri. Jangan lupa perabotannya cuci sendiri." Bik Parni melotot pura-pura marah pada omongan Juni.
"Yang makan hanya si bapak. Ibu cuma minum kopinya sedikit dan satu lembar roti. Sisa makanan di meja nggak bakal berkurang banyak," kata Maya sambil mengambil gelas dan menuang air. Wajahnya berkeringat sementara seluruh ruangan di apartemen ini menggunakan AC, kecuali kamar mandi. Farah tahu Maya bangun lebih awal karena suara rewel si kembar namun melihatnya yang berkeringat berlebih dengan tubuh sekurus itu rasanya mencurigakan.
"Sudah sana, kerja kalo nggak mau sarapan. Biar aku yang makan semua yang di penggorengan dan panci."
"Sekalian sama penggorengan dan pancinya, bik," ledek Juni yang kabur pertama dari dapur disusul Farah dan Maya.
"Farah," panggil Feli saat melihat Farah keluar dari dapur.
"Iya, bu."
"Nanti tolong ganti seprei saya. Tukar sama yang biru atau terserah, asal warnanya cerah. Saya sebal lihat warna ungu begitu," kata Feli terlihat tidak sabaran.
"Baik, bu. Ada lagi?" Farah bukan bertanya untuk membangun citra positif di depan Feli, melainkan ingin segera menyudahi percakapan dengan bos wanitanya. Lebih baik didikte pekerjaan dalam satu kali perintah daripada beberapa kali diperintah yang mana harus sering bersitatap Feli. Tingkat sensitivitas Feli meningkat kian hari dan Farah memilih mencari aman.
"Sudah itu saj-"
Suara tangisan si kembar mengalihkan fokus mereka berdua. Feli segera menuju kamar si kembar diikuti Farah yang penasaran kenapa si kembar menangis di jam segini.
"Ada apa dengan the twinnie?" Feli menatap Maya dan Juni bergiliran dengan raut wajah kesal.
Maya sudah gugup tidak bisa berkata lancar, akhirnya Juni berinisiatif menjawab. "Joshua kebangun gara-gara Josephine nangis. Jadi ikutan nangis."
"Cepat timang-timang sekalian kasih ASI. Kasihan mereka nangis begitu nanti capek." Feli berkata ketus lalu keluar kamar. Persis di depan kamar, Pijar mencekal lengan Feli.
"Gendong twinnie dulu. Mungkin mereka kangen bundanya," kata Pijar lembut.
"Nanti aku gendong kalo mereka sudah mandi. Lihat bekas gumoh di baju Josephine, yang ada baju ngantor aku kotor." Feli beralih memandang ketus Maya. "May, gantikan baju Josephine. Nanti sakit dia pakai baju lembab gitu."
Maya bergegas mengambil baju ganti Josephine. Belum sampai digantikan baju, Feli sudah keluar apartemen. Maya, Juni, dan Farah tahu lewat suara pintu depan yang terbuka lalu tertutup disertai bunyi ketukan sepatu bertumit lancip.
"Katanya mau digendong. Belum selesai ganti baju, bunda kamu sudah berangkat kerja," kata Maya kepada bayi asuhannya, Josephine yang merupakan kembar tertua.
"Anakku juga nggak sempat salim sama bunda. Lain kali ya, dek, salim sebelum bunda kerja." Giliran Juni yang berbicara pada bayi asuhannya, Joshua.
Farah menatap iba pada kedua bayi yang berada di gendongan pengasuhnya masing-masing. Karena kesibukan ibu mereka, si kembar jadi kurang dapat perhatian. "Salam sama Bibi Farah nggak pake queen saja ya."
"Hah?" Maya dan Juni tercengang bersamaan.
"Bibi bulan kelima dan keenam, jangan komen. Bibi Farah nggak pake queen mau kerja, dedek bayi gemes sini salim dulu. Biar hari ini jadi hari barokah kita bersama," canda Farah.
Kedua bayi kembar tertawa saat Farah menyalami tangannya. Biarpun berusia tiga bulan, kedua bayi ini sangat aktif dan ceria jika diajak bicara.
"Twinnie kasihan banget punya bibi kayak anda, ibu Farah nggak pake queen," ledek Juni.
Twinnie adalah panggilan sayang yang diberikan Feli kepada si kembar. Hanya Maya dan Juni yang mau mengikuti panggilan itu. Bagi Farah, twinnie terdengar mirip Tweety dan Winnie the pooh. Sementara dia menganggap kedua bayi ini bagai dua cahaya yang mengindahkan apartemen.
"Biarin, wek!" Farah menjulurkan lidahnya sembari keluar kamar.
"Farah, lihat nih Jose niru lo meletin lidah. Kalo Bu Feli sampai komen anaknya begini, gue aduin nama lo ya," teriak Yuni kesal.
"Aduin sana," gumam Farah santai. Dia menuju ruang makan, melongokan kepala dan menemukan Pijar tengah makan sendirian. Empat bulan dia bekerja di sini dan selama itu dia jarang melihat kedua bosnya makan sarapan bersama. Tapi dia mengenyahkan pikiran buruknya, kedua bosnya masih mesra seperti awal dia melihat mereka. Tidak ada yang berubah... kecuali Bu Feli yang nggak punya banyak waktu buat dua malaikat kecil mereka, pikir Farah.
"Mau kemana Farah nggak pake queen?" Juned merangkulkan bahu Farah tiba-tiba. Bukan terkejut, Farah malah santai berjalan menuju kamar tidur bosnya. "Mau ajak gue bobok bareng nggak di kamar bos juga kali, Far. Pengen banget kita dipecat barengan."
"Gue mau ganti seprei. Kalo mau bantu sekalian lo curhat soal cewek entah yang keberapa puluh dari cemceman lo, silakan. Yang penting tenaga lo berguna jangan jadi lemak perut doang." Farah melirik perut Juned yang sedikit melendung.
"Abang kurang olahraga, Mpok Farah. Tapi yang buncit tanggung gini kesukaan cewek. Habis yang perut kotak-kotak sering nyari sesama pemilik batang kenikmatan." Juned mengedip genit yang bikin Farah bergidik jijik.
"Itu mulut habis nyedot septic tank mana? Jorok amat pilihan katanya."
"Kadang yang dikira jorok, aslinya membawa cinta. Melalui mulut yang mpok anggap jorok, bisa keluar ijab kabul yang menuntun kita ke sorga. Mau coba nggak mpok ibadah ke sorga?" Kali ini cengiran lebar Juned menyapa mata Farah sampai perih. Gila memang rayuan dongdong yang sering dialamatkan Juned kepada Farah.
"Ijab kabul sono sama pembantu lantai tujuh belas. Atau atas namakan Yuni buat mahar yang lo bawa depan penghulu."
"Yah, mpok nggak mau banget sama Bang Unet ucul," kata Juned sok imut.
Farah yang sudah siap membalas Juned terpaksa menutup mulut menyadari bos prianya sedang menonton mereka sambil tertawa. Tidak jauh di belakang Pijar, Bik Parni tolak pinggang sambil melotot kesal melihat kelakuan Farah dan Juned di hadapan bos. "Main gombal-gombalannya nanti lagi, Ned. Saya mau kerja."
"Eh, bapak sudah selesai makan. Ayo pak kita berangkat kerja. Saya siap mengantar ayahnya Josephine dan Joshua sampai kantor dengan selamat." Juned mempersilakan Pijar jalan bak doorman hotel profesional. Pijar tertawa melihat tingkah kocak sopir pribadinya. Farah dan Bik Parni bersamaan putar bola mata dongkol.
"Saya berangkat ya. Titip rumah dan anak-anak, Bik Parni, Farah," kata Pijar.
"Iya, pak. Hati-hati di jalan." Berbarengan Bik Parni dan Farah menjawab.
"Gue nggak dibilangin 'hati-hati' juga gitu?" Juned dapat pelototan dua perempuan itu tanpa ampun. Mencebik kesal dia mengikuti Pijar keluar rumah.
"Juned kalo lempeng dikit otaknya, pasti banyak yang naksir. Sayang dia milih jadi makhluk konyol," gumam Bik Parni sebelum kembali ke dapur.
Farah mengakui omongan Bik Parni. Untuk ukuran sopir, Juned memiliki tampang dan badan di atas rata-rata. Berkulit cokelat, rahang tegas, dan hidung mancung ditambah tinggi badan proporsional. Sayangnya rezeki tiap orang berbeda, Juned bekerja sebagai sopir yang jelas akan malas dilirik perempuan ibukota yang standarnya tinggi dengan jutaan kualifikasi tanpa cukup mengaca pada diri sendiri. Juned sudah dicoret sebelum mendaftarkan diri.
***
"Kamu bodoh ya? Bagaimana bisa Josephine demam sampai 37,4? Harusnya pas badannya hangat langsung kamu kompres, lakukan tindakan pencegahan biar nggak begini!"
Farah melirik lorong kamar si kembar yang sejajar pintu dapur. Suara kemarahan bos wanitanya masih terdengar hingga kursinya di meja dapur. Dia melirik Bik Parni yang bersandar pada lemari es. Tercetak jelas kekhawatiran di wajah tua perempuan yang sudah dia anggap ibu pengganti di sini.
"Nggak mau bantu ngomong ke ibu?" Desis Farah yang sebenarnya sudah tidak tahan mendengar omelan Feli kepada Maya dan Juni.
"Kita nggak tahu soal urus si kembar. Yang ada malah bikin mereka tambah kena semprot."
"Bukannya karena Bik Parni mau cari aman kan?" Potong Juned yang baru masuk dapur.
"Apa aku kelihatan nggak punya hati sampai nggak mau bantu rekan kerjaku sendiri? Bulan lalu kejadiannya, aku coba bela mereka malah Bu Feli tuduh mereka memanfaatkan aku buat santai-santai." Bik Parni tampak tidak bermasalah menanggapi tudingan Juned. "Kamu sendiri tumben sudah di sini. Pak Pijar sudah pulang?"
"Disuruh pulang antar mobil sama Pak Pijar. Dia lagi dinner sama teman-temannya. Kayaknya bakal balik diantar mereka." Dengan sengaja Juned menyenggol lengan Farah yang bertumpu pada meja. "Teman-teman Pak Pijar kece-kece loh. Pake jas, model esmud gitu. Minta nomor kontaknya satu gih, kali saja bisa bantu perbaikan nasib mpok Farah nggak pake queen. Jadi Farah pake crown."
"Makin pintar menyilet hati perawan Depok ya, bang. Hidup gue terlihat ngenes banget di mata lo?" Farah melirik jengkel.
"Nggak ngenes banget cuma pas lo harus ganti gorden, gue miris saja. Kain gorden segede gitu, mesti diganti tiap bulan sama cewek sekurus lo."
"Wes lain kali aku yang lepas dan pasang gorden biar yayang Farah nggak ngenes." Logat Jawa medok Bik Parni menghentikan aksi saling sindir dua anak muda yang berusia sama. Mau tidak mau Farah dan Juned tertawa. Kapan lagi bisa memanfaatkan tenaga dari timbunan lemak di balik daster jumbo Bik Parni.
"Hari Selasa bantu aku pasang seprei dan sarung bantal saja, bik." Farah mengedip usil yang ditanggapi dengusan sok kesal oleh Bik Parni.
"Pintar ya usaha kalian melunturkan lemak yang aku tabung selama kerja di sini," sindir Bik Parni.
"Kali saja Pak Pijar iba lihat bibik kurusan lalu gaji ditambahkan. Lumayan nambah tabungan buat lebaran di kampung." Juned menyahut cepat. Dia senang sekali menggoda perempuan tua ini.
"Bagus kalo ditambah gaji. Kalo dianggap penyakitan, bisa disuruh balik kampung. Lemak-lemak ini penjamin masakanku nikmat tiada tanding." Bik Parni memamerkan lengan bergelambirnya yang montok.
Di sela tawa mereka, Farah melirik ke atas. Tepat di sudut pojok atas lemari es terdapat kamera cctv yang baru dia sadari karena letaknya yang tidak menarik perhatian serta warnanya yang menyatu dengan plafon.
Hanya direkam, nggak bakal ketahuan pembicaraan kita, pikir Farah yang yakin itu hanya kamera cctv biasa.
###
24/12/2017
Revision date 25/08/2018
😵
Ini REPUBLISH yaaa...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro