
#5
Satu jam setelah makan, pintu kamarku diketuk Putri.
"Ayolah Ina, bergabung yuk, kamu kenapa, setelah nerima telpon tadi kok kayak marah?"
"Ah nggak papa," ujarku.
"Siapa?" tanyanya lagi.
"Kenapa kamu jadi kayak ibuku, Put?" tanyaku agak kesal dan Putri tertawa.
Emang kenapa ibumu?"
"Ya kepo kayak kamu kalau ada cowok nelpon," sahutku dan kembali Putri tertawa, menarik tanganku agar ke luar dari kamar.
Aku segera ke luar dan bergabung dengan Ferdi, Delano dan anak-anak Putri.
Mereka sedang asyik membakar jagung dengan berbagai rasa, aku sama sekali tidak ingin makan jagung,perutku rasanya masih penuh. Diantara bias api yang mulai membakar jagung aku memandangi wajah Delano dari jauh, aku sama sekali tidak melihatnya sebagai Delano, aku melihat senyum Kevin ada di sana, seketika dadaku sesak, mataku mulai panas dan air mataku jatuh perlahan, cepat ku hapus, tapi mataku tak juga mau pindah dari senyum dan tawa "Kevin". Lidah api seakan-akan menari-nari, mengejekku, bahwa yang ada dihadapanku adalah "Kevin" yang tak terjangkau. Aku tergagap saat tiba-tiba tepukan halus mendarat di bahuku.
"Kau menangis sambil memandangi Delano, In," sapa Putri perlahan. Aku menggeleng pelan.
"Aku memandangi "Kevin", Put," jawabku pelan.
"Tidak bisakah kamu melupakan orang yang sudah meninggal dan melanjutkan hidupmu?" tanya Putri.
"Aku melanjutkan hidupku seminggu setelah kematian Kevin, jangan kau lupa itu Put," jawabku dengan cepat.
"Iya betul, sebagai manusia bekerja kamu memang melanjutkan hidupmu, tetapi sebagai wanita normal, Tidak kan?" Putri bertanya lagi.
"Normal atau tidaknya wanita, bukan bergantung pada seberapa jauh dia mampu mencintai lawan jenis," ujarku lagi.
"Itu kan kodrat wanita normal Ina, coba kamu pikir, apakah disebut wanita normal jika sampai meninggal dia mati rasa pada laki-laki?" tanya Putri berapi-api, aku tak menjawab dan memilih menekuni ponselku.
Melihat foto-foto kenanganku dengan Kevin, mengapa wajah kalian sama persis? Tanyaku dalam hati.
Putri meninggalkanku saat aku enggan menjawab pertanyaanya, enggan menanggapi pernyataanna yang memang benar adanya.
Aku kembali tergagap saat Delano tiba-tiba ada di depanku dan menyodorkan jagung bakar, harumnya menggugah selera. Aku merasa tidak enak jika menolak, maka aku terima dan mulai aku gigiti perlahan.
"Foto-foto dengan Kevin masih kau simpan dengan baik, ia memang orang yang manis," ujarnya duduk di sampingku. Aku hanya mengangguk dan melanjutkan menikmati jagung bakar.
Tiba-tiba ponsel Delano berdering, ia tetap berada di sebelahku dan mulai berbicara.
"Halo ma, ooooh iya iya nggak papa ma, kan aku sudah bilang ma, Maximilian lebih baik denganku, di Indonesia juga banyak sekolah bagus untuk anak berkebutuhan khusus, ok ok kapan mama takeoff, ok, maaa ba bai," Terdenagr Delano menutup percakapannya.
Entah siapa lagi Maximilian, dan jagung bakarku habis, kusapukan tanganku, pada bibirku yang berlepotan. Ku lihat Delano bergegas mengambil tisu dan memberikannya padaku, pasti ia berpikir aku jorok, biar saja.
Ah ternyata dia kembali duduk di sebelahku sambil memberikan segelas air, kuterima dan kuteguk sampai habis, ia hanya menoleh sekilas dan pasti berpikir, direktur kok tingkahnya barbar amat. Aku hanya mendengar tawanya meski tidak nyaring.
"Boleh aku bertanya hal yang agak pribadi?" Delano menoleh seolah menunggu jawabanku, kuanggukkan kepala dengan pelan.
"Kalau tidak salah usiamu sekitar 40-an ya, eh maaf ya jika aku sok akrab ber aku kamu," ujarnya seolah meminta maaf.
"Nggak papa, mungkin jika tidak di kantor lebih baik seperti ini, iya benar usiaku 40 tahun, ada apa dengan usiaku?" tanyaku tanpa melihat Delano.
"Maaf jika kamu mengganggap aku gombal, diusia yang kata kamu 40, aku juga mengira-ngira karena menurut Kevin jarak usia Kevin dan dirimu terpaut 3 tahun, hmmm kamu lebih terlihat berusia 30 tahun, dan kamu cantik semua orang pasti setuju dengan ucapanku tapi mengapa kamu belum juga menikah, begitu dalamkah cintamu pada Kevin sampai kau tidak ingin memulai lagi?" tanyanya sambil menatapku dari samping. Aku tersenyum.
"Ya, aku sangat mencintai Kevin, dia cinta pertamaku, dan aku malas mau memulai lagi di usiaku yang sudah tidak muda lagi," aku menjawab sambil membalas lambaian tangan anak-anak Putri yang bergegas masuk villa karena udara makin dingin.
"Cinta pertama, wah terlambat sekali kamu mengenal cinta," Delano berkata dengan tetap menatapku dari samping, entah bagaimana ekspresinya.
"Ya betul dan aku tidak menyesal melabuhkan cinta pertamaku pada orang yang tepat meski terlambat, ia tidak melihatku secara fisik, karena kami bertemu pertama saat tanpa sengaja ia membenturku, waktu kami jogging di sekitar alun-alun kota, wajahku yang penuh keringat, rambut tak karuan, dan pertemuan selanjutnya pun selalu saat penampilanku jauh dari kata "benar"," jawabku sambil tersenyum mengenang pertemuan itu.
"Artinya selamanya kamu tidak akan menikah?" tanya nya lagi. Aku mengangguk ragu.
"Jika ada yang ternyata mencintaimu dan terus mengejarmu?" kejarnya lagi. Terpaksa aku menoleh menatapnya, ia agak kaget saat aku menatapnya tajam, oh Tuhan mengapa mata Kevin ada di situ, kukuatkan untuk tetap menatapnya.
"Apakah kau berusaha memaksaku untuk mengatakan aku akan menikah?" tanyaku dengan suara penuh tekanan meski tidak keras. Matanya agak meredup.
"Bukan, bukan begitu, maksudku, jika suatu saat ada laki-laki yang tulus mencintaimu apakah kamu tidak akan menyembuhkan lukamu dengan mencoba "berjalan" dengan laki-laki itu?" tanyanya pelan.
"Entahlah selama ini aku bersyukur, tidak ada laki-laki yang seperti itu setelah Kevin, laki-laki yang mendekatiku selalu karena melihat jabatan dan wajahku, maaf bukan aku terlalu percaya diri," kataku pelan.
"Yah benar kata Kevin, tanpa riasan apapun kamu tetap terlihat cantik," kata Delano sambil menoleh memandangku. Malam semakin turun dan dingin semakin memelukku. Aku pamit mau masuk kamar dan Delano menganggukkan kepalanya, ia berjakan ke arah gazebo taman dan terlihat ngopi dengan Ferdi.
***
Pagi saat sarapan aku tidak melihat Delano, hanya kami bertiga dan anak-anak Putri yang riuh berebut ayam goreng tepung.
"Mencari siapa Ina, celingukan dari tadi?" tanya putri menggodaku, kucibirkan bibirku pada Putri.
"Delano ke bandara, menjemput mama dan putranya," ujar Ferdi menjelaskan. Terlihat wajah Putri yang kaget. Aku pun demikian.
"Anak Delano perlu pengasuhan khusus, usianya sudah 12 tahun, mulai hari ini Delano yang akan mengasuhnya, ia bercerai dengan istrinya saat Maxi berusia 2 tahun, istrinya lebih memilih karir modelnya, dan sepertinya enggan mengasuh Maxi," Ferdi menjelaskan sambil mengunyah pelan.
"Perlu pengasuhan khusus, maksudmu, dia kelainan sejak kecil?" tanyaku, ah hal yang menarik.
"Sejak lahir Maxi kelainan, entah aku mau menjelaskan bagaimana, anak itu berjalan juga kurang normal, berbicara bisa tapi agak sulit dimengerti, anaknya tampan sebenarnya, tapi ya itu perlu penanganan khusus," ujar Ferdi menjelaskan.
"Selama ini siapa yang mengasuh Maxi?" tanya ku lagi.
"Ya Delano, In, tapi sejak Delano ada di Indonesia ya mama Delano yang ngasuh, makanya Delano pasti menyempatkan ke Australia dua minggu sekali," kata Ferdi lagi.
"Ah kasihan sekali, anak seperti itu akan lebih nyaman jika ada mama di dekatnya, menanamkan rasa percaya diri, dan mengajarkan bagaimana dia harus bertahan," ujarku tanpa sadar.
"Ya benar, In, makanya mama Delano juga sudah mengundurkan diri dari perusahaan dan memilih mengasuh Maxi pulang ke Indonesia," ujar Ferdi mengehela napas berat.
"Tapi beda Fer, saat anak diasuh orang tuanya dan diasuh neneknya," kataku memberi penekanan.
"Apa kamu berminat menjadi mama Maxi Inaaa," tanya Putri dengan senyum aneh. Aku melotot memandang Putri, dan seketika tawa Putri terdengar riuh.
"Aku sudah nyaman dengan kesendirianku," jawabku.
"Cobalah berbagi dengan laki-laki lain Ina, Kevin pasti bahagia," ujar Ferdi dan aku hanya tersenyum.
Lalu terdengar ponselku berbunyi, ah Zigma lagi. Aku terima telpon dari Zigma tanpa menjauh dari Ferdi dan Putri.
Setelah selesai aku menerima telpon dari Zigma, Ferdi bertanya.
"Zigma?"
"Ya, kenapa?"tanyaku.
"Dia masih getol mendekatimu?"
"Kami hanya teman sejak kecil dan tak lebih," sahutku.
"Dulu dia punya masalah dengan Delano, tapi Delano tidak bersalah dalam kasus itu," ujar Ferdi.
"Aku tak mau tahu Fer, itu masalah mereka," sahutku lagi.
"Aku kawatir kau terpengaruh," ujar Ferdi.
"Sejak Maxi lahir, Delano benar-benar berubah, dia fokus pada anak itu, sangat menyayanginya, berhenti bertualang dengan wanita-wanita tak jelas, lebih-lebih saat istrinya benar-benar meninggalkan dia dan Maxi," ujar Ferdi.
Aku tak menanggapi, hanya entah mengapa hatiku tiba-tiba menghangat.
****
Revisi 30 Oktober '19 (05.45)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro