3. Air yang Mengalir Tenang
Bzztt!!
Suara getar dan dering ini... Aku mengerjapkan mataku perlahan untuk menyesuaikan dengan pencahayaan di sekitar. Orang seperti apa yang menelpon orang lain disaat pagi buta di hari libur begini? Aku meraih ponselku dengan susah payah demi mengetahui siapakah yang berani mengganggu waktu hibernasiku. Namun seketika mataku terbelalak karena sebelum itu aku melihat sebelas panggilan tak terjawab dari orang yang sama. Terlebih orang itu adalah... Zigra?
Tak lama kemudian ponselku kembali berdering dalam gengamanku. Aku buru-buru mengangkatnya.
"Iya, Zigra, kenapa?"
"Aku udah didepan rumah kamu."
Tunggu tunggu, sedang apa dia di jam segini?
"Kamu sendirian dirumah? Kok keliatannya kayak rumah kosong? Ini beneran rumah kamu, kan?"
Aku mengintip dari balik tirai kamarku. Benar, Zigra sedang di depan rumah sekarang bersama dengan motor vario biru kesayangannya yang tidak pernah ia bawa ke sekolah itu.
"Kamu lihat ke atas."
Zigra menengok ke arahku dan tersenyum. Aku bergegas menutup kembali tirai ketika melihat senyumannya itu—menetralkan kembali detak jantungku yang tak terkendali.
"Kamu lupa ya, kemarin waktu kita pulang bareng aku bilang apa?"
"Kemarin?"
Deg!
Benar juga!! Kemarin Zigra mengajakku untuk jalan-jalan bersama. Ah.. Aku terlalu banyak pikiran sampai lupa hal sepenting itu. Dasar Sahara!! Bagaimana bisa kau melupaka hari ini?
"Jangan mukulin kepala! Suaranya kedengeran sampe sini."
Ah.. Sial, aku lupa kalau panggilan ini belum selesai.
"Maaf Zigra, aku lupa,"
"Iya, gapapa, yang penting hari ini jadi,"
"Aku mau siap-siap dulu, yaa.."
Aku segera beranjak untuk memilih baju mana yang sekiranya cocok kukenakan saat ini. Setelah beberapa baju kukeluarkan, aku tak kunjung menemukan baju yang cocok untuk kugunakan di saat-saat seperti ini. Aku mulai mengacak rambutku frustasi.
"Aaa!! Kenapa ini semua nggak ada yang cocok, sihh!!"
"Kamu pakai baju apa aja tetep cantik Sahara.."
Aku menghela napas kasar menyadari keteledoranku. Lagi-lagi aku lupa kalau panggilan ini masih menyala.
"Zigra, telponnya aku matiin du—"
Ssbentar, aku melupakan sesuatu. Bagaimana bisa aku membiarkannya di luar seperti itu. Sedangkan dia sendiri?Bagaimana bisa dia bertahan dalam suhu udara pagi tanpa jaket? Aku segera berlari menuruni tangga untuk mempersilakannya masuk.
"Zigra!! Maaf! Silakan masuk!"
Zigra terlihat sedikit terkejut ketika aku tiba-tiba membukakan pintu untuknya. Tapi setelah itu dia kembali tersenyum. Untuk saat ini, aku merasa kalau senyumannya sedikit aneh. Ah, jangan-jangan.. Aku melihat penampilan bajuku sendiri? Ya benar, aku masih mengenakan baju tidur. Terlebih muka bantalku ini... rasanya aku ingin pingsan saja sekalian. Aku tak pernah sekali pun memperlihatkan penampilanku yang seperti ini di depan orang lain semenjak aku beranjak dewasa, sekalipun itu Bunda.
"AAAAAAAA!!!"
Aku segera berlari menutupi wajahku. Tak lagi mempedulikan Zigra yang masih terdiam di depan pintu. Entahlah, mungkin dia sedikit shock dengan sosokku yang tak seperti biasanya.
Haahh.. Bisa-bisanya.
~õÕõ~
Setelah sekian lama bergelut dengan baju-baju, aku akhirnya memutuskan untuk memakai kaos hitam polos lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana jeans yang sedikit longgar kemudian di tutup dengan jaket crop top berwarna denim. Untuk rambut aku membiarkannya tergerai seperti biasa.
Setelahnya aku menuruni tangga menuju ruang tamu untuk bertemu dengan Zigra yang sudah cukup lama menungguku di sana. Ralat, mungkin bagi sebagian perempuan durasi waktuku untuk bersiap ini tidak terlalu lama, bukankah begitu?
Zigra menatapku sembari tersenyum. Sungguh, sosoknya saat ini seperti seorang anak kecil yang baru saja menemukan mainannya yang telah hilang.
"Mari Tuan Putri, saya antar," Ucapnya sembari menirukan gaya pangeran dalam dongeng-dongeng yang sering kubaca waktu kecil.
Aku menyambut uluran tangan Zigra dan mengikuti permainan Tuan Putri-nya itu. Mungkin hal ini terdengar sedikit kekanakan, tapi perlakuan Zigra yang seperti inilah yang membuatku bertahan selama ini.
"Tempat manakah yang ingin anda kunjungi Tuan Putri?"
Zigra masih meneruskan permainannya bahkan disaat kami sudah dalam perjalanan. Aku tersenyum menanggapinya.
"Ke tempat manapun yang memberikan kenangan indah bagi Yang Mulia."
Setelah mengatakan itu kami berdua tertawa bersama. Hal-hal kecil seperti ini. Hal-hal yang sederhana ini. Bahagia itu.. ternyata sesederhana ini, ya? Tapi, sampai kapan ia akan bertahan? Kebahagiaan ini? Sampai kapan dia bersedia menemani perjalanan hidupku? Lagi-lagi aku menatap Zigra dengan perasaan hampa.
Apakah kamu juga tidak akan bertahan lama, Zigra?
~~~
Zigra mengajakku pergi ke sebuah taman hiburan di tengah kota. Berbagai jajanan dan aksesoris sangat lengkap disini. Sementara Zigra tengah memesankan permen kapas untukku, aku melihat-lihat penjual aksesoris yang berada di sebelah penjual permen kapas ini.
"Oh, kalung yang model itu tinggal satu, dek. Katanya banyak yang suka."
Aku menoleh terkejut kepada penjual yang tiba-tiba menawarkan barang tersebut. Suaranya begitu keras, meskipun aku tahu kalau penjual itu tidak bermaksud membentak.
"Oh, iya pak. Enggak dulu, makasih."
Aku meletakkan kembali kalung yang membuatku penasaran itu dan bergegas menghampiri Zigra.
"Sayang, udah selesai?"
Zigra menoleh ke arahku, tersenyum. Manis sekali, sampai terkadang aku berpikir bahwa memilikinya seperti mimpi. Wajahnya ini terasa tidak nyata.
"Udah, kok. Ini baru aja selesai."
Zigra menyerahkan permen kapas itu kepadaku. Tapi aku menahannya. Aku berjinjit untuk mendekatkan bibirku ditelinganya. Mengetahui itu, dia sedikit menurunkan telinganya kepadaku.
"Aku mau ke kamar mandi dulu."
Zigra tertawa, tangannya mengacak rambutku pelan.
"Iyaa, apapun yang Tuan Putri inginkan."
Aku memukulnya pelan. Bisa-bisanya dia masih memainkan peran Tuan Putri di waktu seperti tadi. Aku segera berlari ke kamar mandi. Sekilas aku masih mendengar suaranya yang membuat pipiku bersemu merah.
"Manis sekali."
~~~
Matahari mulai terik, sinarnya perlahan mulai terasa menyengat ketika bersentuhan dengan kulit. Setelah puas bermain di taman kota, Zigra mengajakku untuk menyejukkan diri di sebuah cafe yang biasa kami kunjungi. Kami memilih duduk di dekat jendela. Tempat ini adalah tempat favorit kami, ah.. atau lebih tepatnya, tempat ini adalah favoritku, karena jika sore hari datang, aku bisa menikmati pemandangan senja dari sini. Tapi kali ini tak ada pemandangan senja, hanya langit yang berwarna biru cerah dengan awan yang menghiasinya. Meskipun begitu, pemandangan ini tidaklah buruk.
"Sahara, dari tadi kamu lihat keluar terus,"
Aku tahu kalau sedari tadi Zigra menatapku yang sedang menatap langit, hanya saja aku tak berani untuk balik menatapnya. Namun, aku tak bisa terus-terusan menghindarinya, kan?
"Zigra, coba lihat deh, langitnya cerah banget. Indah.."
Zigra tersenyum menanggapiku.
"Kenapa? Disini kan ada yang lebih indah dari langit."
Matanya itu, mata yang terpejam ketika tersenyum. Aku seketika dibuat bungkam oleh senyumannya, seperti hipnotis. Pesanan kami datang. Bagus! Ini tepat waktu sekali, sebelum aku semakin terlarut dalam senyumannya. Seperti biasa, Zigra memesan dua gelas milkshake cokelat. Dia selalu menyamakan pesanannya denganku, entah dia memang suka, atau dia sengaja melakukan itu untuk menutupi kesukaannya dariku. Aku.. tidak tahu pasti.
"Sahara.."
"Ya?"
Zigra pergi ke belakangku, dia menyibak rambutku yang mulai panjang ke depan. Lalu, tangannya seperti memasangkan sesuatu disana. Sebuah kalung. Aku menunduk untuk melihat kalung yang Zigra pakaikan untukku. Seketika aku terkejut. Kalung ini.. Kalung ini adalah kalung yang ku genggam waktu kita berada di taman kota tadi. Jadi Zigra melihatku waktu aku memegang ini tadi? Aku memang menyukainya, tapi kalung ini.. entah kenapa terasa seperti dejavu.
"Kamu cantik, Ra,"
Zigra berbisik ketika selesai memasangkan kalung itu.
"Kamu boleh pergi, Ra.."
Tunggu dulu, kenapa tiba-tiba dia—
"Kamu boleh menyerah kalau kamu udah nggak kuat sama hubungan kita."
Sebentar, maksudnya kali ini apa?
"Kamu bole—"
"Stop!!" Aku menutup mulutnya dengan tanganku sebelum dia berbicara ke mana-mana. Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja.
"Maksud kamu apa ngomong kayak gitu? Kemarin-kemarin kamu nyuruh aku buat pertahanin kamu, tapi sekarang? Apa? Kamu nyuruh aku buat nyerah gitu aja?"
"Kita nggak pernah tahu kedepannya akan gimana, Raa."
Aku tersenyum miris. Benar kata Zigra, manusia itu bersifat dinamis. Hubungan yang langgeng? Tak terpisahkan?Hubungan yang seperti itu hanyalah omong kosong di dunia ini. Aku menatap Zigra yang saat ini tengah meneggelamkan wajahnya. Sorot matanya sangat berbeda dari sebelumnya.
"Zigra, menurutmu hubungan kita bagaimana?"
Zigra terdiam. Keheningan menyapa kami selama beberapa saat, dan aku masih menunggu jawabannya. Sampai akhirnya dia menatapku dengan senyum yang tak seperti biasanya. Senyum yang terlihat dipaksakan.
"Seperti air yang mengalir tenang."
~õÕõ~
.
.
.
Apa kabar?
Ada yang masih bangun?
Maaf karena up nya tengah malem gini🤧🙏🏻
Terimakasih karena kalian masih setia dengan cerita ini
See you next part😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro