Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25. Epiphany

Ujian kali ini berhasil kulalui dengan mudah. Aku berhasil menghilangkan mereka berdua dari pikiranku dan fokus terhadap ujian akhir semester ini. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi penumpang bus ini. Tak terasa sudah hampir satu senester aku di tempat ini. Nyatanya semua berjalan lancar, tak seburuk yang kupikirkan.

Apa karena kehadiran mereka berdua?

"Gimana? Lo belum jawab pertanyaan gue beberapa hari kemarin."

Naveen tiba-tiba mengejutkanku dengan suara baritonnya yang sengaja ia dekatkan di telingaku. Anak ini jika hanya dibiarka, nanti justru semakin parah. Dia akan terus-terusan mengejarku dengan pertanyaan yang sama sampai aku menjawabnya.

"Iya, mauu..."

"Yes!!"

Naveen mengepalkan tangannya seperti anak kecil yang senang karena dibelikan mainan baru. Sesederhana itukah bahagianya? Aku jadi ikut tersenyum melihat tingkahnya. Lucu sekali anak ini, seperti kucing kecil yang meminta untu dimanja.

Apakah boleh aku mengusap rambutnya itu sebentar saja?

Dia... terdiam. Aku kembali menarik tanganku yang tanpa sadar sudah menyentuh rambutnya. Namun Naveen menahannya untuk tetap di sana.

"Kenapa? Mau menghindar lagi?"

Dia memang mengatakan semua itu dengan tenang. Bukan dengan nada membentak. Tapi entah kenapa aku menurutinya begitu saja. Dia tersenyum ketika aku mengusap rambutnya perlahan. Lembut. Dia sangat menjaga kebersihannya.

~õÕõ~

Akhir pekan Naveen menghampiriku. Entah sejak kapan dia dan Bunda bisa duduk berdua di ruang tamu seperti itu, yang bahkan tak pernah dilakukan Zigra sama sekali. Tak kusangka dia bisa menghadapi Bunda.

Sebelumnya aku sedikit takut, karena kebetulan Naveen datang di saat Bunda tak sedang mengurusi bisnisnya. Entah karena alasan apa, akhir-akhir ini Bunda cukup sering di rumah. Bahkan saat siang pun dia masih ada di rumah. Bukannya senang, aku justru merasa aneh.karena tak biasanya Bunda begitu.

Sepertinya saat ini pun Bunda masih berbincang-bincang dengan Naveen. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan di sana. Tapi sepertinya dalam sekejap Naveen bisa menjadi akrab dengan Bunda. Suatu hal yang bahkan aku sendiri tak mampu melakukannya.

Seseorang mengetuk pintu kanarku. Aku membukanya perlahan. Dari sana muncul sosok Naveen dengan gaya kasual-nya yang khas. Jika melihatnya seperti itu, aku jadi merasa seperti ikan teri yang disandingkan dengan ikan salmon.

Kenapa dia harus terlihat sekeren itu?

"Udah siap?" Naveen bertanya. Aku mengintip dari belakangnya untuk mencari sosok Bunda. Namun sosok yang kucari tak kunjung berhasil kutemukan.

"Bunda kemana?"

"Katanya mau keluar sebentar."

Aku mengangguk mengerti. Setelahnya Naveen mengajakku keluar. Aku selalu penasaran dengan Naveen. Tapi ada satu hal paling mengganjal yang membuat rasa penasaranku semakin membuncah.

Dia bisa menyewa apartemen sebagus ini untuk dirinya sendiri. Bahkan jika dilihat dari hal itu saja sudah dapat dipastikan kalau keluarganya adalah orang yang cukup berada. Tapi kenapa Naveen tak pernah membawa motor sendiri, dan selalu memilih untuk naik bus kota seperti ini.

Aku bukannya tak suka dengan semua ini. Tapi aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kenapa dia selalu menyembunyikannya? Apakah aku belum cukup untuk membuatnya percaya?

"Ada tempat yang mau kamu datengi?"

"Terserah kamu aja."

"Nggak boleh gitu, dong... kita harus mendiskusikan ini sebekum mencapai kesepakatan bersama."

Kenapa baru sekarang dia mengatakan itu? Lagipula sekarang kita berdua sudah berada dalam bus. Jadi mau bagaimana pun kesepakatannya. Kami harus tetap mematuhi jalur yang dilalui bus ini.

"Gue kan orang baru! Mana tahu tempat yang bagus!"

Naveen terhenyak selerti menyadari sesuatu. Wajahnya seperti mengatakan "oh.. Iya juga, ya.." Meski tak dapat di dengar.

"Hmm... kalau jalurnya kesini berarti... TAMAN HIBUR-hmph"

Dengan reflek aku membungkam mulut Naveen. Kenapa dia harus mengatakannya dengan heboh seperti itu? Seorang bapak-bapak menoleh ke arahku dan Naveen dengan tatapan tajam. Aku tersenyum seraya membungkukkan badan sedikit sebagai ucapan maaf.

"Hmmmpphh... hmmmmpph..."

Tanganku panas. Kenapa napasnya terasa panas sekali. Apa-apaan juga ini? Dia sengaja menjilat tanganku, ya? Ah.. Sial!. Aku mengusap tanganku yang terasa basah pada baju Naveen.

"Makannya jangan nakal!"

Naveen membentakku. Bisa-bisanya dia membentakku setelah melakukan kehebohan semacam itu. Aku melengos ke arah lain. Penampilannya saat ini sangat tak sesuai dengan tingkahnya.

~~~

Sudah sampai, ya? Jadi ini tempat hiburan yang Naveen maksud. Naveen meninggalkanku sebentar untuk pergi ke toilet. Dia menekankan padaku untuk menunggunya sampai dia kembali. Bianglala?

"Ayah... Ayo naik itu!"

"Anything for you, my princess."

"Rara!! Tungguin Ezar!!"

"Rara suka main sama Ezar, kan?"

"Rara! Ezar! Jangan lari-lari nanti jatoohh!!"

Aku menutup telingaku. Kenapa tiba-tiba aku bisa mendengar suara-suara dari masa lalu? Kalau begini jadinya, apakah mungkin kenangan yang indah berubah menjadi trauma begitu saja?

Lagi-lagi aku melihat hal yang lebih menarik di pinggir sana. Sebuah taman bunga kecil dengan satu pohon besar yang menjulang. Penampilan pohon itu semakin mencolok karena di sekekilinhnya hanya ads bunga-bunga kecil nan imut.

Aku berjalan menghampirinya. Aroma ini... Aku bahkan bisa menciumnya dari jarak yang cukup jauh. Aroma yang sangat familiar. Aroma yang setia menemani masa-masa kecilku.

Aroma bunga kenanga.

Sekarang aku sudah berdiri trpat di hafapan pohon krnanga ini. Jarang sekali aku menemukan pohon kenanga sebesar ini. Satu-sstunya pohon kenanga besar yang pernah kulihat adalah pohon tempat aku dan Ezar bermain dulu.

Satu lagi yang menyita perhatianku. Sebuah pesawat kertas lusuh yang sudah mulai menguning. Sepertinya ada orang yang sengaja menaruhnya di sana. Tidak mungkin juga selembar kertas dapat bertahan sampai menguning di ruangan terbuka seperti ini.

Aku membuka lipatan pesawat kertas itu. Tulisan anak kecil.

"Dari Ezar untuk Rara.
Rara gimana kabarnya? Ezar harap Rara selalu sehat, yaa..
Ezar kesepian banget karena nggak ada Rara. Ezar nggak punya teman. Cuma Rara satu-satunya temen Ezar yang perhatian.
Ezar jahat ya, Ra? Makannya Rara nggak mau ketemu sama Ezar lagi? Rara juga nggak mau main sama Ezar lagi.
Ezar bakalan rela kok kalah terus dari Rara.
Kalaupun Rara nggak bisa Ezar janji Ezar bakalan ngalah buat Rara.
Rara boleh menang terus asalkan Rara balik lagi.
Kata Rara kita nggak terpisahkan? Itu artinya ekarang kita masih bisa ketemu, kan?
Rara jangan lupain Ezar, yaa... Ezar janji besok kalau udah besar Ezar pasti bisa menemukan Rara

Rara... Ezar kangen..

Surat ini... apakah benar ditulis oleh seorang anak kecil? Surat ini terasa sangat menyentuh, bahkan tanpa sadar air mataku mulai berjatuhan. Sebenarnya sedalan apa perasaan seorang anak kecil sampai bisa menulis surat setulus ini?

"Rara..."

Suara berat yang sangat kukenali ini. Dengan cepat aku menoleh ke belakang. Naveen? Apakah semua ini masuk akal? Samar-samar aku dapat melihat matanya yang berkilat karena air. Selama ini... kenapa dia menyembunyikan semua ini.

"Akhirnya aku menemukanmu." Naveen melanjutkan kembali kalimatnya.

Aku berlari menghampiri Naveen yang berdiri tak jauh di belakangku. Lantas memeluknya. Tahukah kau betapa aku mencari sosokmu selama ini?

"Terimakasih karena sudah mengingatku." Lirihnya, tepat setelah aku jatuh ke dalam pelukannya.

~õÕõ~

.

.

.

Thanks for all

Sampai jumpa di cerita selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro