18. Euphoria
Cahaya mentari menyelinap masuk dari sela-sela gorden yang tertutup itu. Naveen membukanya. Gorden itu memang terbuka, tapi tidak dengan daun jendelanya. Daun jendela yang telah termakan umur itu tetap setia menutup.
Aku tak tahu seberapa parahnya ruang ini diabaikan oleh pihak sekolah. Ruang seni yang lebih pantas disebut dengan gudang. Ah, bahkan ini tidak bisa disebut gudang lagi, karena gudang di sekolah ini pun masih sering dikunjungi. Hanya tersisa tiga kursi yang diletakkan di sudut ruangan, yang salah dua darinya telah kupakai dengan Naveen.
Ada beberapa alat lukis yang mungkin sudah sangat tua dan berdebu. Naveen kini mengambil beberapa di antaranya, dan kembali memulai untuk melukis. Dia menjadikanku sebagai objeknya.
Kuakui dia sangat berbakat dalam menenangkan seseorang. Entah aku harus bersyukur karena telah terkurung bersamanya karena sifatnya yang kelewat santai, atau aku harus merutuki terkurung dengannya yang membuatku terbuai sampai-sampai merasa tak apa jika tak mengikuti pelajaran. Berbeda dari diriku sebelumnya.
"Udah jadi?"
Aku bertanya, ketika dirinya berhenti memainkan kuasnya dan hanya memandangiku. Dia hanya menjawab dengan tersenyum dan menggeleng. Lantas kembali meneruskan lukisannya yang tertunda.
Aku masih setia menunggunya. Lagi-lagi dia memperlakukanku seperti anak kecil dengan memberiku susu kotak untuk menenangkanku tadi. Meskipun begitu aku tetap menerimanya, karena lebih dari apapun aku sangat menyukai susu kotak.
Karena bosan menunggu Naveen menyelesaikan lukisannya aku memperhatikan komposisi dari susu kotak di tanganku.
"Enak?"
Aku mendongak untuk mendapati Naveen menatapku seraya tersenyum. Wajahnya itu... kenapa aku merasa dia seperti sedang berbicara dengan anak kecil? Apa karena nada bicaranya yang sengaja dia lembutkan?
Aku tersenyum dan mengangguk. Bagaimana mungkin aku mengatakan ini tidak enak, kalau kenyataannya seenak ini? Dia tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Reaksi macam apa itu?
"Udah jadi?"
Aku kembali bertanya. Namun lagi-lagi Naveen tetap menggeleng. Baru kali ini aku melihatnya seserius itu dalam mengerjakan sesuatu. Mungkin karena sejauh ini aku terbiasa melihatnya tidur di kelas. Sehingga pemandangan ini sangat asing di mataku.
"Masih lama?"
Tanyaku lagi. Aku sangat bosan sekarang, karena susu kotak yang diberikan Naveen sudah habis di tanganku.
"Masih, makannya jangan gerak-gerak terus!"
Aku menghela napas jengah. Lantas mendongak untuk menatap jendela di luar sana. Aku bisa merasakan terik mentari yang menerpa sisi jendela. Lalu meredup diikuti dengan bayang-bayang awan yang melintas. Kalau memandangi langit seperti ini aku tidak akan bosan.
Aku tersadar ketika mendengar suara berderak karena Naveen yang menggeser kursinya.
"Udah selesai?"
Aku bertanya ketika Naveen berdiri dari kursi dan meninggalkan lukisan yang dia kerjakan.
"Cat nya abis."
Dia menjawab tanpa melihatku, dan tetap meneruskan langkahnya. Aku mengikutinya tanpa suara dari belakang. Naveen tak mengetahuinya sehingga aku berhasil mengejutkannya ketika dia berbalik.
"Dor!!"
"ANJ-"
Dia menutup mulutnya sendiri ketika kata-kata mutiara hampir saja keluar dari mulutnya. Tapi kenapa ekspresi wajahnya saat ini justru terlihat lucu di mataku. Aku terkekeh melihat tingkahnya itu.
"Jail lo!" Setelahnya dia meninggalkanku untuk menghampiri kanvas lukisnya.
Aku kembali mengikutinya dari belakang. Aku berniat untuk melihat lukisannya. Namun aku terkejut ketika melihatnya. Dia sudah selesai melukisku, tapi tadi dia menyuruhku untuk tetap diam di tempat, kan? Curang sekali! Dia mengerjaiku.
"Tadi katanya belum selesai?"
Aku memprotesnya, karena merasa di curangi seperti ini.
"Kan emang belum selesai."
"Kan tinggal ngasih hiasan doang. Kalau cuma tinggal itu gue kan bisa pergi dari situ."
"Nggak bisa. Soalnya gue mau ngasih hiasan yang cantik."
"Terus apa hubungannya sama gue di situ?!"
Ah, benar-benar bersama orang ini selalu membuat emosiku naik. Padahal selama dia melukisku tadi aku sudah berusaha tetap diam selama lebih dari setengah jam, atau bisa jadi ebih dari itu.
"Soalnya kalau lo pergi cantiknya juga ikut lo bawa pergi-"
Bukk!!
"AKH!!"
Naveen memekik ketika satu pukulanku mulus mengenai bahunya.
"KDRT mulu lo dari tadi!" Naveen mengusap bahu kanannya yang terkena pukulanku. Berlebihan sekali sikapnya. Memangnya seberapa sakit pukulan perempuan di hadapan laki-laki sampai dia berteriak nyaring begitu?
"Sejak kapan kita berumah tangga?"
"Sekara-IYAA NGGAK JADI! INI GUE NGGAK JADI NERUSIN."
Naveen menghindariku ketika aku berniat melayangkan kembali pukulan ke bahunya. Aku kembali menurunkan tanganku, disusul dengan Naveen yang kembali mendekat takut-takut, seakan aku adalah predator yang siap memangsanya.
"Gue nggak ngapa-ngapain."
"Lo lebih buas dari yang gue kira."
Naveen kembali duduk di kursinya dan meneruskan lukisannya yang tertunda karenaku.
"Dikata hewan, ada kalimat buas segala."
Aku berdiri di belakangnya seraya memerhatikan jemari lentiknya yang menggenggam kuas, dan membuatnya menari di atas kanvas.
Ternyata seperti ini rasanya ketika seseorang mengabadikan kita dalam lukisannya. Jika saat dilukiskan tanpa memiliki rasa apapun pada yang dilukis saja rasanya sudah seberuntung ini, maka seberuntung apa seseorang yang mampu memenangkan hati seniman sampai-sampai berhasil membuat dirinya menjadi objek utama di kehidupan seseorang yang mampu menjadikannya abadi.
Akan seberuntung apa orang yang berhasil dilukis dengan perasaan setulus itu?
Jika tengah fokus seperti sekarang ini, wajahnya terlihat menenangkan sekali. Matanya yang terlihat sedikit berwarna karena di terpa sinar mentari, tulang hidungnya yang tinggi, rahangnya yang tegas. Jika di pikir-pikir Tuhan seolah menimpakan segala keindahan-Nya pada laki-laki di hadapanku ini.
"Gue ganteng, kan?"
Aku terkesiap mendengar suara Naveen yang tiba-tiba muncul. Netranya memang tak beralih dari kanvas lukis di hadapannya. Tapi entah dia tahu darimana aku tengah memperhatikannya seperti itu.
Aku kembali mengalihkan atensiku pada lukisan yang dia buat.
"Kenapa hiasannya pake bunga kenanga? Maksudnya itu buat foto pemakaman nanti?"
Namun dia justru tertawa mendengar pertanyaanku. Aku kan hanya bertanya. Lagi pula dari sekian banyak bunga kenapa dia harus memilih bunga kenanga?
"Lo tahu mitos ini, nggak? Katanya bunga kenanga itu mampu mengundang belahan jiwa yang selama ini kita cari-cari."
Aku menatapnya bingung. Lalu apa hubungannya dengan dia memberikan hiasan bunga kenanga di lukisannya?
"Tapi bukan itu maksud gue. Lagian gue juga nggak percaya mitos itu."
Kalimatnya selesai bersamaan dengan goresan terakhir yang diberikan pada lukisan itu.
"Kita juga bisa nyiptain filosofi sendiri untuk sesuatu, kan?"
"Terus filosofinya apa?"
Namun alih-alih menjawabku dia justru terkekeh, dan meninggalkanku begitu saja. Dia berjalan ke arah pintu yang masih terkunci. Dan hal berikutnya benar-benar membuatku membelalakkan mata tak menyangka.
BRAKKK!!!
Naveen menendang pintu yang tertutup itu beberapa kali. Suara yang ditimbulkan juga lumayan keras. Aku sampai harus menariknya dari sana karena takut mengganggu para siswa kelas lain yang masih setia mendengarkan penjelasan guru.
"Tadi lo bilang mau cepet-cepet keluar, kan?"
Memang benar. Bahkan sampai sekarang pun aku masih ingin keluar dari sini. Tapi cara yang digunakan Naveen bukanlah cara yang benar.
"Coba cari cara lain, jangan kayak gitu."
"Kalau cari cara lain berarti kita harus nunggu sampe ada orang yang kesini."
Benar. Kata-katanya memang benar, tapi bukankah kemungkinan itu sangat kecil? Pasti ada cara lainnya, kan? Aku memang masih ingin keluar dari sini. Namun meskipun begitu, di sisi lain kenapa aku...
"Sahara."
Kenapa aku seperti ini? Apa yang sebenarnya kutakutkan?
"Lo pengen lebih lama lagi di sini, kan?"
Lebih tepatnya bukan itu. Kenapa aku ingin bersamanya seperti ini dalam waktu yang lebih lama lagi? Kenapa aku takut jika harus kehilangan momen kebersamaan ini ketika keluar dari tempat ini?
~õÕõ~
.
.
.
Thanks and See you next part💗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro