
15. Ruang Seni
Malam ini adalah makan malam pertama dengan Bunda di apartemen baru ini. Seperti sebelum-sebelumnya, tak ada yang spesial dari makan malam ini. Makan malam yang dihiasi dengan keheningan dan kecanggungan. Sebuah keluarga yang jauh dari kata harmonis.
Tak ada pembicaraan spesial sehingga aku harus segera kembali ke kamar setelah selesai. Bunda juga akan membereskannya terlebih dahulu seperti biasa, tanpa boleh tersentuh olehku sedikit pun.
Aku kembali membuka lembar demi lembar dari buku pelajaran di hadapanku saat ini. Ini adalah tahun terakhirku sebagai pelajar. Jadi aku harus memaksimalkan kemampuanku. Kembali fokus mengejar nilai seperti sebelum-sebelumnya.
Aku melempar ponselku jauh-jauh dari hadapanku agar aku bisa terus fokus. Meskipun begitu aku sama sekali tak bisa melihat tulisan-tulisan dari buku yang kini berada di tanganku. Karena dengan tidak sopannya bayangan mata coklat Naveen terus saja melintas dalam benakku, dan itu membuat tangan ini secara reflek menutup buku-buki itu.
Aku menjatuhkan kepalaku di meja. Bagaimana bisa aku seperti ini? Kenapa? Tidak mungkin juga aku su... apa? Apa yang baru saja aku ingin ucapkan? Apa yang sebenarnya kupikirkan dalam situasi ini? Semudah itukah aku melupakan Zigra?
Aku bergegas mengambil kembali ponsel yang kulempar tadi. Dalam kebingunganku aku berusaha mencari room chat yang beberapa terakhir ini tak berani kubuka. Dapat! Lalu sekarang aku harus apa lagi?
Aku memandangi foto profil yang telah berubah itu. Saat terakhir kali kulihat, di situ masih jelas penampakan dirinya yang memakai hoodie biru. Aku jelas mengingatnya karena aku adalah orang yang berada di balik cerita foto itu. Namun sekarang aku tak menemukan foto profil apa pun yang menjadi identitas pemilik ID tersebut.
Aku masih tak merasakan apa-apa saat berhasil menemukan room chat itu. Sehingga aku memberanikan diri untuk menyelami lebih dalam kenangan di sana. Aku mulai membukanya, dan menemukan banyaknya percakapan yang dulu kami ciptakan.
Zigra yang selalu datang tepat saat aku merasa kesepian, atau sedang dalam pikiran tak menentu. Seakan dia memang di ciptakan untuk menutupi semua pikiran itu. Aku menggulir room chat itu perlahan. Apakah perasaanku padanya sudah hilang dengan mudahnya karena laki-laki aneh itu? Atau justru... deg!
Aku berusaha untuk meneruskan hal yang sudah kumulai. Sejauh mana hatiku mampu menahan perasaan sesak ini. Aku ingin tahu sedalam apakah sisa rasa yang tertinggal untuk Zigra. Namun lagi-lagi aku sudah tak mampu untuk membaca kenangan-kenangan itu lagi. Semuanya terasa menyesakkan, alih-alih membahagiakan. Aku tak ingin menangis lagi, maka dari itu cukup sudah untuk hari ini.
Aku masih belum bisa menemukan cara untuk menutup luka yang menganga ini.
~õÕõ~
Suara cuitan burung khas suasana pagi menari-nari di telingaku. Aku mengerjapkan mata untuk menyesuaikannya dengan pencahayaan sekitar. Lampu kamarku masih menyala. Namun sinar matahari pagi mulai menerobos masuk menembus tirai kamarku. Rupanya semalam aku ketiduran setelah membaca sisa kemanganku yang tertinggal bersamanya.
Menyadari waktu yang kumiliki untuk bersiap tinggal sedikit. Aku bergegas melompat dari tempat tidurku. Seharusnya satu jam cukup untuk bersiap dan pergi ke halte.
Setelah semuanya siap aku bergegas mengambil roti untuk kumakan saat perjalanan nanti. Karena waktu yang terbatas. Lantas aku bergegas menuju halte. Beruntung karena aku tiba tepat ketika bus baru saja berhenti.
Hari ini banyak orang dari halte yang menaiki bus ini. Sehingga aku harus ikut bergerumbul di antara orang-orang. Saat tengah mengantre, aku merasa seperti mencium aroma yang familiar. Tidak salah lagi. Aku sangat membanggakan indra penciumanku yang mudah sekali mengingat bau. Aku sedikit menggeser badanku untuk menjauhi orang yang kini berada di belakangku.
"Jangan miring-miring, nanti jatoh."
Ah, ternyata di sadar kalau yang di depannya adalah aku. Aku tak berani menggerakkan kepala sedikit pun, karena Naveen yang berada di belakangku sedikit memajukan badannya-melindungiku dari desakan orang-orang yang ingin memasuki bus. Saat ini aku merasa canggung karena teringat kejadian kemarin.
Setelah mendapat giliran untuk naik, aku pun memilih tempat duduk dekat jendela seperti biasa. Naveen yang berjalan di belakangku ikut duduk di sampingku. Kenapa lagi-lagi dia harus duduk di sini?
"Cuma tempat ini yang kosong."
Eh? Apa aku baru saja mengatakannya dengan keras, sampai dia mendengarnya?
"Jangan liatin gue kayak gitu." Dia menoleh padaku seraya tersenyum dengan tatapan jenaka. "Sikap lo itu mudah kebaca."
Aku curiga kalau laki-laki di hadapanku ini memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Pergerakan tangannya yang cepat menuju kepalaku, membuat aku tak bisa menghindar darinya. Dia mengacak-ngacak rambutku.
"Kan, gue udah bilang berhenti liat gue." Dia tertawa, "setampan itukah gue di mata lo?"
Aku memalingkan wajahku darinya. Bisa-bisanya dia mengatakan hal narsis seperti itu dengan mudahnya.
"Gue ngantuk, mau tidur sebentar."
Setelah mengatakan itu, Naveen menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, dan memejamkan mata.
Ya, lebih baik seperti itu. Daripada aku harus mendengar celotehannya. Tapi dengan begitu bukankah aku harus membangunkannya nanti? Merepotkan saja.
~~~
Aku memang berniat ingin membangunkan Naveen tadi saat bus baru sampai. Tapi tak kusangka dia bisa bangun lebih dulu sebelum aku sempat menyentuhnya.
Kelihatannya dia masih mengumpulkan nyawanya. Terlihat bagaimana saat ini dia menguap, padahal kami sudah hampir setengah jalan menuju ke kelas.
"Sahara, lo duluan aja. Nanti gue susul."
Naveen berjalan meninggalkanku begitu saja. Tanpa memberikanku kesempatan untuk menjawabnya. Yah.. meskipun kemana Naveen pergi itu juga bukan urusanku.
Jam demi jam pun berlalu. Pelajaran hari ini pun berhasil kulewati dengan tenang. Tapi selama pembelajaran, bangku itu tetap kosong. Naveen tak kunjung memasuki kelasnya. Aku penasaran.. tapi lagi-lagi aku tersadar kalau itu bukan urusanku. Aku tak berhak untuk ikut campur.
"Kenapa? Nyari Naveen?"
Aku mendongak, mendapati Ezar yang kini berdiri mejulang di depanku.
"Dia emang sering bolos."
Jadi seperti itu. Tapi bukannya sekarang dia senior yang seharusnya jadi contoh buat para juniornya, kan?
"Tapi sekarang, kan dia kelas dua belas."
"Ya.. itu bagi dia sama sekali nggak penting."
Ezar menjawab sekenanya. Jawaban dari Ezar memnbuatku semakin penasaran dengan alasan Naveen yang bisa hidup sesukanya seperti itu. Sangat berbanding terbalik dengan diriku yang terperangkap oleh ekspetasi Bunda dan diriku sendiri.
"Mau titip sesuatu?"
Ezar kembali bertanya. Aku menggeleng.
"Nanti aku ke kantin sendiri, kamu duluan aja."
"Oke, nanti kalau butuh apa-apa tinggal bilang aja."
Aku mengangguk mengerti. Ezar tak sejahil Naveen. Selain itu aku juga pernah mendengar kalau dia termasuk siswa berprestasi di sekolah ini. Jika dia benar teman kecilku. Aku akan ikut bangga dengan pencapaian yang diperolehnya. Dia sudah tumbuh besar dengan baik. Tapi kemungkinan itu belum dapat kupastikan kejelasannya.
Sebelum ke kantin aku ingin pergi ke toilet untuk membasuh mukaku yang terasa kering. Namun sebuah ruangan lusuh yang berada di pojok dekat toilet mengalihkan atensiku dari pintu toilet yang sudah berada di depan mata. Kemarin aku sudah berkeliling sekolah ini. Tapi baru kali ini aku melihat ada ruangan di pojok. Apakah kemarin aku tak terlalu memperhatikannya?
Aku menghampirinya. Di sana jelas-jelas tertera kalau itu ruang seni. Tapi sepertinya ruangan itu sudah jarang sekali di gunakan, atau bahkan hampir tak pernah? Entahlah, aku hanya murid baru yang penasaran dengan salah satu ruangan yang baru pertama kali kulihat.
Karena tak ada yang menarik, aku kembali berbalik untuk meninggalkannya. Namun lagi-lagi sesuatu berhasil menarik perhatianku. Aku seperti melihat sekelebat bayangan seseorang di dalam ruangan itu.
Bulu kudukku berdiri. Tapi rasa penasaran lebih mendominasi dibanding rasa takutku.
Setelah itu, entah aku harus senang atau menyesal karena telah memasuki ruangan ini.
"Sahara!! Jangan biarin pintunya ketutup!!"
BRAKK!!
Terlambat, pintu itu tanpa sengaja tertutup sendiri saat aku mulai masuk. Mungkin kakiku ini telah menyenggol penyangga yang digunakan untuk mengganjal pintunya agar tetap terbuka.
Tapi yang lebih sialnya lagi adalah sekelebat bayangan yang membuatku penasaran ternyata adalah orang ini. Dia menghampiriku seraya menghela napas kasar.
Ah, aku salah. Dia bukan menghampiriku. Dia melewatiku begitu saja. Naveen mencoba untuk menggerak-gerakkan gagang pintu tersebut.
"Pintunya rusak, jadi kita bakal kekunci di sini." Ujarnya, setelah gagal berusaha membuka pintu itu.
Naveen. Sialnya aku terkunci bersama orang aneh ini. Berdua, di sebuah ruangan yang bahkan jarang tersentuh oleh petugas kebersihan. Kini Naveen menghampiriku.
"Kalau gini kan bahaya."
Naveen menatapku. Aku tak bisa mengartikan maksud dari tatapannya saat ini, yang jelas ini bukanlah situasi yang bisa membuatku berkata aku baik-baik saja.
~õÕõ~
.
.
.
Maaf baru up sekarang, kemarin belum bisa up..
Dan sekarang pun belum bisa double up mungkin hari selanjutnya akan aku usahakan buat up..
Terimakasih banyak buat kalian yang masih setia mengikuti work ini sejak awal
See you next part💗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro