Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Anak Laki-laki dalam Mimpi

"Punya"

Deg! Jawaban yang kuharapkan, sekaligus membuatku gugup. Apakah dia mengingatku? Tapi bukankah masih banyak anak bernama Ezar di luar sana yang juga memiliki teman masa kecil.

"Apa kamu ingat namanya?"

Ezar menatapku. Aku tak berharap banyak dengan jawabannya atas pertanyaanku kali ini. Tapi mungkin saja, setidaknya ada harapan meskipun tak sampai seratus persen.

"Kalau itu..." Dia terlihat berpikir sebentar. Tangannya tanpa sadar mengetuk-ngetuk meja di depannya.

"Oyy! lo berdua ngapain di situ?"

Serentak aku dan Ezar menoleh ke arah Naveen yang baru saja terbangun dari tidurnya. Suara serak khas bangun tidur dengan poninya yang acak-acakan membuatnya terlihat sedikit... ah, aku baru sadar betapa tampannya dia meskipun dengan wajah bantalnya itu. Entah karena tingkah lakunya yang kelewat aneh di mataku, atau memang aku yang baru saja mengamati wajahnya.

Ah, sebenarnya apa yang baru saja kupikirkan? Bisa-bisanya di waktu seperti ini aku justru berpikiran hal seperti itu. Naveen menghampiri tempatku dan Ezar berada. Lantas ia menarik kursi di sampingku dan kembali ke posisi sebelumnya.

"Lo nggak ada beliin gue makanan, Zar?"

Naveen bertanya setelah ia kembali menenggelamkan wajahnya di meja. Seketika itu juga aku kembali melihat bungkusan roti yang sudah terbuka. Belum sempat kumakan, tapi apakah tidak apa-apa jika aku memberikan ini pada Naveen sekarang?

"Gak ada.$

Ezar menjawab Naveen secara spontan. Membuat atensiku dengan cepat beralih ke arahnya. Ezar memberikan isyarat padaku untuk segera memakan roti yang kupegang.

"Nggak usah bohong, jatah gue lo kasih ke dia, kan?"

"Sejak kapan gue harus kasih lo jatah?"

Naveen mengangkat kepalanya dan kini menatap Ezar seraya menyeringai.

"Eyy.. kalau orang denger ucapan lo, mereka bisa salah paham."

"Kan lo duluan yang mulai."

Pembicaraan apa ini? Kenapa aku harus ada di antara semua ini? Lagi-lagi aku harus menyiapkan telingaku untuk mendengar perdebatan tak jelas mereka.

"Udahlah, gue mau tidur lagi."

Naveen kembali ke posisi semula. Namun Ezar dengan sengaja menyenggol bahu Naveen.

"Ngapain lo pindah sini? Balik ke tempat lo sono!"

"Suka-suka gue lah, ini juga bukan tempat lo."

Aku memutuskan keluar, karena mulai tak tahan dengan perdebatan mereka. Sampai kapan mereka akan memperdebatkan hal tak jelas seperti itu? Daripada mendengarkan mereka, lebih baik aku mencari udara segar di luar.

"Sahara!!"

Itu suara Naveen, aku sudah mulai hafal dengan suara-suara mereka. Namun begitu, aku tetap berjalan tanpa menghiraukan panggilannya.

"Yah.. Alasan gue pindah tempat tidur udah nggak ada."

Yah, meskipun samar, aku masih bisa mendengar suara keluhan Naveen dari luar. Aku tak begitu mempedulikan arti dari kalimatnya. Karena tak mungkin kata-kata itu keluar dari hatinya.

~õÕõ~

"Sahara, lo nggak mau main ke apart gue?"

Naveen kembali menghampiriku. Sesaat setelah bus ini melaju. Baru saja aku ingin memejamkan mata untuk menenangkan diri sejenak. Kali ini aku berhasil mendapat tempat di sisi jendela yang berisikan dua orang. Tapi kenapa harus dia lagi yang duduk di sebelahku.

"Iya, kapan-kapan."

Jawabku, karena aku merasa tak enak jika harus menolaknya. Setelahnya aku tak lagi mendengar suaranya. Namun perlahan kesadaranku mulai menurun. Aku berusaha menahan agar tetap dalam kesadaran penuh selama perjalanan pulang. Namun aku justru semakin terseret ke dalam alam bawah sadarku, dan menemukan sosok anak kecil berdiri di hadapanku. Anak itu... adalah diriku sendiri. Diriku di masa kecil.

Tatapan mata sendu itu sama sekali tak mencerminkan diriku di masa kecil. Ia mendongak seraya menatapku. Wajahnya yang polos itu.. dia sama sekali belum mengenal betapa kejamnya dunia ini. Detik berikutnya aku telah menemukan warna merah mulai mendominasi netranya. Lantas diikuti dengan tetes demi tetes air yang meluncur mulus di pipi tembamnya.

Hatiku tersayat mendengar isakannya. Sehingga tanpa sadar aku turut terisak bersamanya. Kenapa? Kenapa dia menangis? Aku berjalan maju untuk menghampirinya. Aku ingin menenangkannya. Tapi semakin aku maju, tubuh mungilnya itu terasa semakin menjauh dariku. Aku berusaha meraihnya, namun tanganku berakhir menggenggam angin lalu.

Aku hanya bisa terisak bersamanya. Suara kami terdengar menggema di ruang kosong serba putih ini. Sampai sepersekian detik kemudian, aku melihat sosok anak laki-laki meraih tangannya dan memeluk tubuh mungilnya. Aku tak dapat melihat sosok anak laki-laki itu dengan jelas. Namun aku bisa merasakan betapa familiarnya dia dalam ingatanku.

Isakannnya mulai meredam, dan entah kenapa rasa tersayat yang sempat muncul dalam diriku turut berkurang, seiring dengan pelukan yang diberikan anak laki-laki itu.

Samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil namaku. Pelan.. Lembut.. Namun di detik berikutnya aku merasa gendang telingaku mungkin hampir pecah.

Aku tersadar dari mimpiku dan mendapati Naveen yang berada tepat di sampingku. Wajah kami bertemu. Sangat dekat, karena tubuhku secara reflek maju akibat keterkejutanku. Netra kami bertemu, aku bisa melihat iris matanya yang ternyata berwarna coklat dari jarak sedekat ini.

"Hwaa!! Mata gue ternodai!!"

Ezar yang tanpa sengaja memergoki aku dan Naveen saat hendak turun segera menyadarkanku dari posisiku dan Naveen saat ini. Ah, sial! Kenapa harus ada hal seperti ini. Padahal aku berniat menjalani sisa hari-hari di sekolah dengan damai, karena kali ini aku hanya punya waktu satu tahun.

"Ah, maaf."

Aku segera mengalihkan wajahku darinya. Sedangkan Naveen masih terpaku dalam posisinya.

"Nggak, harusnya gue yang minta maaf karena gue udah teriak-teriak bangunin lo."

Setelahnya aku tak lagi merasakan keberadaan Naveen dalam jarak dekat, karena dirinya telah lebih dulu berjalan meninggalkanku. Aku mengalihkan wajahku pada jendela bus yang tertutup. Mungkin saat ini wajahku bak kepiting rebus yang baru masak. Panas dan mungkin sedikit.. merona?

"Parah lo! Anak baru main di sosor aja!"

Aku mendengar suara Ezar saat Naveen berjalan menjauhiku, disertai dengan tepukan keras yang ditujukan pada seseorang. Mungkin saat ini Ezar tengah menepuk Naveen seperti yang sering kulihat hari ini.

"Bacot lo!"

Kali ini terdengar suara makian Naveen yang menyahutnya. Aku masih tak berani menampakkan wajahku. Kenapa dari sekian banyaknya manusia di kota ini, harus orang-orang ini yang menemukanku terlebih dahulu?

Aku beruntung karena hanya Ezar yang mengetahui kejadian tadi. Bus untuk pulang hari ini pun tak banyak penumpang sehingga aku bisa sampai terlelap seperti tadi. Harusnya tak akan terjadi apa-apa jika Naveen tak memilih duduk di sebelahku. Harusnya tak ada kejadian dramatis seperti itu tadi.

Namun kenapa sampai saat ini... aku menyentuh dadaku untuk dapat merasakan kecepatan detak jantung di dalam sana. Detaknya.. terlalu cepat. Ah, bukan. Ini pasti disebabkan oleh aku yang terkejut saat Naveen meneriakiku tadi. Ini bukan karena debaran perasaan keintiman yang seperti itu.

Pastinya begitu, kan?

~õÕõ~

.

.

.

Selamat malam para readers-ku tercinta.
Gimana hari ini? Baik, kan?

Terimakasih karena sudah berkunjung di cerita ini.

Semoga kalian semua betah, dan dapat mengambil hikmah dari cerita ini, ya

Cerita ini masih banyak kurangnya, maka dari itu aku ingin kalian yang menyempurnakannya dengan kritik dan saran yang dapat membangun cerita-cerita ku kedepannya.

Thanks and, see you next part💗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro