12. Loneliness
Aku termenung di samping jendela kamarku. Bunda tak pernah pulang ke rumah sejak kami selesai berberes barang-barang. Mungkin Bunda sibuk untuk mengurus hotel barunya yang akan berdiri. Lagipula aku sudah amat terbiasa dengan tidak adanya Bunda di rumah.
Aku sedikit bosan. Jika hari-hari sebelumnya di saat seperti ini aku selalu mendapatkan notif dari Zigra yang menamaniku. Kali ini jangankan aku melihat notif chat darinya. Room chat darinya bahkan aku sembunyikan agar tak bisa melihatnya. Aku tak seberani itu untuk berhadapan dengan segala hal tentangnya lagi.
Suara bel tiba-tiba saja berbunyi di tengah aku yang baru saja berani membuka ponselku. Siapa malam-malam begini. Aku tak terbiasa dengan adanya tamu di rumah karena sejak dulu aku memang tinggal sendiri. Tapi kalau di apartemen seperti ini, bukankah akan lebih sering kedapatan tamu?
Sejujurnya aku sedikit takut karena ini pengalaman pertamaku. Aku memberanikan diri untuk melihatnya dari layar monitor. Seorang laki-laki. Eh, tunggu dulu. Bukankah dia anak laki-laki kemarin? Hanya dengan melihat wajahnya, rasa malas langsung menyergapku.
Aku membuka pintu dengan malas.
"Oh, ternyata yang ini tempat lo?"
Aku menatapnya malas. Kenapa harus dia yang datang disaat seperti ini. Aku membuka pintu lebih lebar untuknya.
"Masuk."
Aku menyuruhnya masuk hanya sebagai bentuk penghargaan sebagai tetangga. Pandangannya beralih ke dalam rumahku sebentar. Lantas kembali melihatku.
"Nggak usah, gue cuma ngasih ini aja." Dia tersenyum seraya meyerahkan sebuah bingkisan untukku. "Hadiah penyambutan tetangga baru," lanjutnya, lantas ia menoleh sebentar ke dalam rumahku.
"Lo sendirian di rumah?"
Lihatlah, dia bahkan langsung memiliki bahan percakapan lainnya sebelum aku sempat mengucapkan terimakasih.
"Iya."
Kali ini aku menjawabnya dengan cepat, sebelum dia kembali memulai percakapan lainnya.
"Bosen, nggak? Lo mau gue temenin?"
Lagi-lagi dia berhasil membuatku terbungkam. Kenapa dia mudah sekali mengatakan semua itu?
"Eh, tenang! Gue nggak ada maksud aneh-aneh, kok, kalau lo nggak mau gue juga nggak maksa."
Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu jawabanku dia telah bersiap untuk pergi. Sedangkan aku hanya mengamati tingkahnya yang spontan itu.
"Masuk."
Aku menggerakkan kepalaku untuk mempersilakannya masuk ke dalam. Mungkin ini terlihat kurang sopan. Tapi kenapa juga aku harus bersikap sopan pada laki-laki yang bahkan menggeret tanganku tanpa persetujuanku terlebih dahulu ini.
"Beneran boleh, nih?"
Aku meninggalkannya di luar tanpa menutup pintu agar dia bisa mengikutiku masuk. Tak selang lama aku mendengar langkah kaki di belakangku. Namun tidak dengan suara pintu yang ditutup. Laki-laki itu membiarkan pintunya terbuka.
"Oke, gue temenin lo sebentar."
Entah kenapa aku membiarkannya masuk begitu saja. Aku hanya melakukannya secara spontan. Aku mengambil beberapa minuman kaleng yang ada di kulkas untuk menyuguhkannya pada tamu pertamaku ini. Setelahnya aku meletakkannya di atas meja. Dia mendongak padaku, lantas mengambil minuman kaleng tersebut.
"Makasih."
Katanya setelah berhasil membuka kaleng tersebut. Aku ikut duduk di hadapannya.
"Btw, akhir-akhir ini banyak banget yang pindah kesini, ya?"
Aku tak menyahutnya, karena aku memang tak tahu seberapa banyak orang yang datang kesini.
"Nama lo siapa? Kita kemarin belum kenalan."
"Sahara."
Dia kembali meneguk minumannya. Aku segera memalingkan wajahku darinya ketika tanpa sadar netraku menemukan tonjolan pada kerongkongannya yang bergerak naik-turun saat meneguk.
"Gue Naveen."
Aku mengangguk tanpa menatapnya.
"Gue baru pertama kali ini ketemu orang kayak lo, tapi entah kenapa gue ngerasa lo nggak asing."
Aku menoleh kembali ke arahnya. Kini dia tengah menunduk seraya memainkan kaleng minumannya.
"Wajah gue pasaran mungkin."
Aku menyahut asal. Tapi dia justru tertawa.
"Iya, mungkin." Setelah mengatakan itu dia mulai berdiri dan merapikan bajunya yang sedikit terlipat ketika duduk.
"Udah malem, gue pamit dulu, kalau ada apa-apa telpon gue aja." Dia menunjuk secarik kertas lusuh yang berada di sampingnya, lantas mengangkatnya. "Barusan udah gue tulis di sini nomernya,"
Tunggu dulu, kertas itu bukannya... pesawat kertas?
Dia sudah lebih dulu pergi sebelum aku sempat memprotesnya. Aku dapat mendengar suara tawa kecilnya. Apa-apaan ini? Dia menertawakanku? Lagipula sejak kapan kertas itu ada di sana?
Aku membuka kertas lusuh itu. Benar saja. Ada sebuah nomor yang baru terlihat di sana. Apakah ini benar nomor anak itu? Bagaimana jika ternyata dia memberikan nomor Tukang Sedot WC atau sebagainya.
Aku tak dapat mempercayainya begitu saja.
~õÕõ~
Paginya, lagi-lagi aku tak mendapati keberadaan Bunda di rumah. Tidak apa aku sudah terbiasa dengan hal ini. Aku bergegas menyiapkan keperluan untuk pergi ke sekolah baruku. Karena jarak dari sekolah dan rumah tak sedekat saat di sekolahku sebelumnya, aku mungkin akan menggunakan transportasi umum. Jadi aku sama sekali tak boleh terlambat.
Aku hanya mengambil sepotong roti untuk sarapan pagi ini. Aku begitu malas untuk memasak. Setelah semuanya selesai aku bergegas pergi ke halte terdekat. Namun aku kembali dikejutkan oleh laki-laki semalam yang sudah lebih dulu berada di halte dengan seragam yang sama denganku.
Aku berjalan perlahan sampai tak menimbulkan suara hanya supaya dia tidak menyadari kehadiranku. Tapi sialnya dia justru tanpa sengaja menoleh tepat saat aku baru saja ingin duduk.
"Oh, lo juga sekolah di sini? Kelas berapa?"
Dia terlihat senang ketika menyadari kehadiranku. Sangat berkebalikan denganku. Aku sedikit kesal dengan gayanya yang seolah-olah kita sudah akrab sebelumnya.
Sepersekian detik, bus yang kutunggu telah datang--menyelamatkanku dari pertanyaan beruntun laki-laki ini. Aku memutuskan untuk naik lebih dulu, sebelum mendengarnya berbicara lagi.
"Eh, Sahara! Tungguin gue!"
Aku tetap tak menghiraukannya. Namun kemudian langkahku terhenti karena saking terkejutnya mendengar sebuah teriakan.
"PAKKK TUNGGUIN PAKK!! JANGAN BERANGKAT DULU!!"
Kali ini Naveen juga ikut berhenti di belakangku. Semua yang ada di sana menoleh ke asal suara. Seorang anak laki-laki dengan seragam yang juga sama sepertiku terlihat berlari dari jarak yang cukup jauh. Namun suaranya yang menggelegar telah sampai lebih dulu di telinga orang-orang yang kini tengah memperhatikannya.
Laki-laki itu terengah-engah ketika sampai di depan pintu bus yang masih terbuka. Naveen menepuk-nepuk pundaknya yang terlihat naik-turun.
"Tarik napas...., buang..." Ucapnya sembari tangan yang satunya memperagakan naik-turun. Laki-laki itu menuruti Naveen begitu saja. Mereka terlihat cukup akrab.
"Santai dulu nggak, sih," lanjut Naveen setelah selesai membantu temannya itu mengatur napas, "Tumben lo naik bus," lanjutnya.
"Motor gue mogok."
Setelah mengatakan itu. Teman Naveen melihat ke arahku. Tatapannya seperti menanyakan "siapa sebenarnya orang ini?" karena sama sekali tak mengenalku.
"Anak baru."
Itu Naveen yang menjawab, ketika menyadari adanya kecanggungan di antara kami.
"Woi dek! Jadi naik nggak?!"
Aku kembali tersadar ketika supir bus meneriaki kami. Lagipula sejak kapan aku ikut berdiri di sini, dan ikut campur urusan mereka?
"Yaelah, pak, nggak sabaran amat. Bentar, napas dulu." Meskipun protes, laki-laki itu bergegas naik, disusul dengan Naveen yang berjalan di belakangnya.
Kursi-kursi di bus ini telah banyak yang penuh dan hanya menyisakan kursi paling belakang yang cukup untuk tiga orang. Sangat pas sekali, karena hanya kami bertiga orang yang belum memiliki tempat duduk. Tunggu, itu artinya aku harus duduk bersama dua orang gila ini?
"Sahara, lo mau kenalan sama dia nggak?"
Naveen langsung bertanya ketika kami telah menemukan tempat duduk yang nyaman bagi masing-masing. Aku memilih duduk di sisi jendela, dengan Naveen di tengah dan temannya itu di sisi jendela satunya.
"Apasih lo! Gue juga bisa ngenalin diri gue sendiri!"
"Yang bener? Lo kan takut sama cewek."
"Diem gak lo!"
Aku menutup kupingku rapat-rapat dari omong kosong mereka. Katanya perempuan lebih cerewet jika dibandingkan dengan laki-laki. Tapi saat ini aku sudah membuktikan kalau pernyataan itu salah besar.
Naveen sedikit mencondongkan badannya untuk mendekat ke arahku. Mungkin supaya aku lebih mendengar kata-katanya karena bus ini terlalu berisik.
"Namanya, Ezar."
Deg!
Jantungku sedikit merespon ucapan Naveen, meskipun tidak sampai berhenti. Ezar, namanya persis. Karena penasaran aku mengintip orang bernama Ezar dari balik punggung Naveen, dan itu membuat mata kami bersitatap secara tidak sengaja. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku. Apakah dia orang yang sama dengan yang kukenal? Aku memang penasaran dengan keadaannya selama ini. Tapi pikiran tentang itu tidak sampai menyita waktuku terlalu banyak. Bahkan hampir terlupakan. Mungkin karena waktu itu aku masih sangat kecil sehingga kenangannya terasa samar di benakku.
Tapi bukankah nama Ezar tak hanya satu orang, bisa saja dia orang lain.
~õÕõ~
.
.
.
Cast baru
Lee Heeseung as Ezar
Thanks and See you next part💗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro