1. Don't Let Me Go
Langit sore ini begitu pekat, dan seperti biasa aku selalu lupa untuk sekedar membawa payungku. Meskipun begitu aku tak pernah kehujanan, karena seseorang yang selalu datang padaku tepat waktu. Tepat pada saat di mana aku membutuhkan bantuan-bantuan kecilnya. Aku mendongak, menikmati rintik samar hujan yang jatuh menyebar di wajahku, sampai aku mendengar suara derap kaki menghampiriku.
Dia sudah datang rupanya.
"Sahara!!"
Aku menghentikan aktivitasku, menoleh ke arahnya yang berlari terburu-buru menghampiriku. Seperti ketakutan bahwa hujan deras akan lebih dulu datang sebelum dia berhasil sampai di tempatku.
"Kenapa nggak neduh? Kan tadi aku udah bilang kalau kamu duluan aja."
Seperti biasa, aku harus selalu mendengar omelannya jika aku nekat melakukan hal semacam ini. Aku tersenyum menanggapinya. Dia bergegas membuka payung dalam genggamannya dan melindungiku dari rintik hujan sore itu. Dia, laki-laki bernama Zigra itu kini melepas jaket yang ia kenakan dan memakaikannya di bahuku. Aku menahan tangannya. Bukankah aku telah memakai jaket? Lihatlah! Bahkan kini dia tidak memiliki apapun sebagai pelindung tubuhnya selain seragam putih tipis yang menutupi kulitnya itu.
"Nggak! aku udah pakai jaket!"
"Kamu sendiri kan tahu kalau aku nggak gampang kedinginan, lagian aku juga gerah habis lari-lari nyariin kamu."
Aku hanya diam menanggapi jawabannya itu. Lagipula aku tak akan pernah menang melawannya jika dalam situasi ini.
Zigra tersenyum menatapku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. Kenapa dia harus melakukan itu tepat di hadapanku? Ah.. Dia ini benar-benar tahu kelemahanku yang satu ini.
Zigra meraih pundaku untuk lebih dekat padanya. Kami berjalan menuju ke rumahku. Aku terbiasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah karena jarak rumahku yang terbilang cukup dekat. Tapi kalau Zigra? Entahlah, meskipun jarak rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah, tapi jarak itu cukup melelahkan jika dilakukan dengan berjalan kaki.
Kami berjalan di tengah hujan tanpa bergandengan tangan. Namun, di pertengahan jalan Zigra menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arahku. Dia menatap dalam aku yang berada disampingya. Aku mendongak ke arahnya. Mata kami bertemu. Namun meski begitu Zigra tak juga mengalihkan pandangannya.
"Boleh aku genggam?"
Pandangannya kini beralih ke tanganku. Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya.
"Iya, boleh."
Setelah aku mengatakan itu, Zigra perlahan meraih tanganku dan menggenggamnya. Namun alih-alih merasakan hangat dari genggaman tangannya, diriku justru merasakan dingin. Tanganku terasa seperti mengganggam es. Meskipun begitu aku tak melepaskan genggaman ini, karena tak peduli sedingin apapun tangan yang saat ini kugenggam, tangan ini tetaplah tangan yang meraihku di saat diriku tak punya harapan.
Semenjak aku beranjak dewasa, aku tak pernah melihat warna dalam hidupku. Hidupku hanya dipenuhi dengan impian-impian Bunda yang dibebankan padaku, yang nahasnya, aku sama sekali tak bisa menolak permintaan-permintaan itu.
Aku tak membutuhkan apapun selama aku bisa membuat Bunda tersenyum. Ya, betul, yang kuperlukan di dunia ini hanyalah senyuman dan pujian dari Bunda. Jadi selama aku bisa melihatnya tersenyum, itu sudah cukup bagiku. Aku tak memerlukan warna lainnya.
Sayangnya senyum Bunda yang semula kupikir bahwa aku bisa mempertahankan senyum itu selamanya kini telah lenyap. Aku salah, Bunda tak pernah cukup dengan pencapaian-pencapaianku selama ini. Hal itu telah terbukti di hari kelulusanku sewaktu SMP. Aku tak lagi melihat senyuman itu pada bibir Bunda.
Aku mendapat peringkat dua dalam hasil akhir penilaian di sekolah. Banyak siswa yang iri terhadap pencapaianku meskipun aku tak mendapat yang pertama. Tapi lain halnya dengan Bunda yang pergi begitu saja saat pengumuman itu selesai dibacakan.
Aku tak pernah berharap banyak pada Bunda selama ini. Namun saat itu, untuk pertama kalinya aku berharap bahwa Bunda akan memujiku sesampaiku di rumah sambil berkata, "Tak apa tak mendapat yang pertama, selama ini kau sudah melakukan hal yang terbaik." Namun lagi-lagi aku memegang harapan palsu. Bunda tak mengatakan apapun padaku, entah pada saat di mobil maupun di rumah. Beliau bahkan menghindariku sampai beberapa hari, dan tiba-tiba datang dengan membawa formulir pendaftaran dari sekolahku yang sekarang.
Aku tak pernah memiliki teman dekat karena terlalu sibuk dengan ambisiku untuk mengejar nilai. Sehingga saat di sekolah yang baru pun, aku tak tahu tentang bagaimana cara untuk memulai hubungan dengan orang lain. Karena hal itu, aku memutuskan untuk tetap menjadi diriku yang tak pandai bersosialisasi, dikenal sangat tertutup karena tak pernah membuka percakapan. Semua orang membuatku menjadi orang aneh dan lama kelamaan mereka tak lagi memedulikan keberadaanku. Akan tetapi di saat-saat seperti itu hanya Zigra yang mendekatiku tanpa ragu.
Siapa yang tak mengenal Zigra di sekolah ini? Selain tampan, saat itu dia juga adalah satu-satunya siswa kelas sepuluh yang berhasil lolos dalam olimpiade kimia di sekolah, mengalahkan jajaran peserta yang tak sedikit dari kakak kelas. Sehingga kabar jadian kami pun merebak dengan cepat. Aku bukanlah orang terkenal yang bisa dengan mudah mereka ketahui siapa. Mereka hanya ingin tahu perempuan yang katanya pilihan Zigra, perempuan yang menjadi saingan mereka.
Tapi sekarang aku tak peduli apapun lagi. Selama Zigra disampingku, aku percaya semua akan baik-baik saja. Setidaknya aku harus memercayainya, supaya aku tidak lagi tenggelam dalam kehidupan buta warnaku. Setidaknya aku harus memercayai hal itu.
Tanpa sadar aku menatap Zigra terlalu lama sampai lupa kalau kini kami sedang berjalan di tengah hujan. Zigra menghentikan langkahnya dan balik menatapku. Aku mengalihkan tatapanku padanya. Namun Zigra melepas genggaman tanganku dan menuntun daguku untuk balik menatapnya. Yah.. Meskipun kini pandangan mataku tetap menatap ke bawah. Aku tak bisa menghilangkan kebiasaanku yang terlalu gugup saat bertatapan dengannya meskipun hubungan kami telah berjalan selama delapan bulan.
"Ra, lihat aku."
Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya memberanikan diri untuk balas menatap wajahnya. Namun bukannya fokus menatap wajahnya, pandanganku justru teralihkan pada bahu kanan milik Zigra yang telah basah. Jadi selama ini dia melindungiku dari air hujan dengan mengorbankan dirinya sendiri? Aku segera melepas jaket yang semula dikenakan Zigra untuk menutupi tubuhku. Tapi Zigra menahannya sembari menggeleng dan tersenyum tipis.
"Kamu kehujanan!!"
Aku sedikit berteriak padanya agar kali ini ia tak menolak pemberianku. Namun lagi-lagi Zigra menggeleng. Tidak! Untuk kali ini aku tak akan membiarkannya menang dariku. Aku bersikeras melepas jaket itu dan hendak memakaikannya pada tubuh Zigra. Lagi-lagi aku justru dibuat membeku dengan sikapnya yang tiba-tiba.
Tidak! Kumohon jangan seperti ini. Bukan ini yang kuinginkan saat seperti ini.
Zigra meletakkan kepalanya dipundakku. Sebelumnya aku tak pernah melihat Zigra seperti ini. Ada apa? Masalah apa yang telah membuat seorang yang sempurna seperti Zigra begitu terpuruk. Aku merasakan tangan Zigra yang dingin mulai mendekap tubuhku.
Selagi keheningan di antara kami tercipta, kami tak menyadari kalau barang yang kami genggam terjatuh begitu saja ke tanah. Jaket Zigra dan payung yang tidak bersalah itu jatuh begitu saja sejak Zigra menjadikan bahuku sebagai sandaran untuk kepalanya.
Aku balas memeluknya. Derasnya hujan sore itu tak lagi terasa. Bahkan kami tak mempedulikan lagi suhu tubuh kami yang semakin rendah karena dinginnya angin sore itu. Kami tak lagi merasakannya. Alih-alih merasa dingin, justru rasa hangatlah yang mengaliri tubuh kami saat ini, dengan dekapan ini kami saling menghangatkan satu sama lain. Zigra merekatkan dekapannya, kemudian berbisik dengan lirih di telingaku.
"Don't let me go..."
Aku tersenyum kecil mendengarnya. Bicara apa kau Zigra? Mana mungkin aku meninggalkanmu begitu saja? Aku pun ikut merekatkan dekapanku padanya dan mulai berbisik di telinganya.
"Iya." Aku mengusap punggungnya perlahan sebelum melanjutkan kalimatku, "...nggak akan pernah"
~õÕõ~
.
.
.
Terimakasih karena sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini.
Kalian bisa bantu share ke temen-temen kalian yang lagi butuh bacaan, dan kalau kalian suka bisa kalian tinggalkan jejak di sini lewat voment😉
Aku ingin memberikan sedikit visualisasi tokoh untuk kalian. Tapi ini hanya untuk memudahkan kalian berimajinasi, dan tidak bersifat wajib.
Kalian juga bisa menggunakan tokoh lain untuk memvisualisasikannya.
Park Sunghoon as Zigra
Kim Minjeong as Sahara
Okay, segitu dulu🙏🏻
See you next part😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro