8
Danil membolak-balikkan kertas. Mengumpulkan semua data yang berhubungan dengan kasus adiknya. Danil berharap, ada sesuatu yang bisa digunakan sebagai langkah awal dalam penyelidikan mereka selain menunggu hasil pemeriksaan mayat keluar.
"Huh, akhirnya selesai juga." Danil menghapus keringat yang ada di jidatnya. "Semoga berkas sebanyak ini berguna semua."
Danil memandang tumpukan berkas di depannya. Sungguh banyak, mungkin sekitar 5-6 dus. Tak mungkin jika dia bisa mengangkat itu sendirian.
"Halo," sapa seseorang dibelakang Danil.
Danil menoleh dan berkata, "Halo." Dia terdiam membeku begitu melihat seseorang yang menyapanya tadi.
"Sela!" kata Danil tak percaya. Sela adalah mantan pacarnya, Sela telah menjadi Detektif Negara. Hubungan mereka dahulu sangat mesra, tapi gara-gara perbedaan pendapat dan sempat bertengkar hebat, membuat hubungannya menjadi kandas.
"Ehm, lama tak bertemu, Danil." Sela tak berani memandang Danil, dia terlalu malu untuk itu.
"Maaf, aku ke sini hanya untuk mengambil kasus adikku saja. Setelah ini, aku akan pergi." Danil berdiri dan membersihkan debu yang menempel di sekitar tumit Jeans-nya.
"Ya, tidak apa-apa. Jika sudah selesai, aku ingin mengambil berkas juga," kata Sela.
"Oh, aku sudah selesai. Aku permisi dahulu." Danil melangkah lurus, gerakannya sangat kaku saking gugupnya. Danil tak menyangka kalau dia akan bertemu Sela hari ini.
Saat lewatan dengan Sela, Danil melihat sesuatu di leher Sela, yang membuat dia berhenti di samping Sela. Nasi itu menempel di leher Sela, dengan niat berbaik hati, Danil mengambil nasi itu, tapi tiba-tiba Sela meringis. Danil tersadar dan melihat wajah Sela.
"Agh! Apa yang kulakukan! Aku baru saja melakukan pelecehan. Sela, maafkan aku."
Danil langsung panik seketika. Dia mengurungkan niatnya tadi. Terlebih Sela masih membuang muka.
"Sela, ada nasi di lehermu. Terima kasihnya nanti saja, aku pergi, Sela." Danil melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan itu.
"Danil," kata Sela lirih saat Danil sudah agak jauh. Dia meraba-raba lehernya, dan benar saja ada satu di nasi. Sela merasa bersalah karena berpikir yang tidak-tidak tentang Danil.
Sela masuk ruangan, dan dia dikejutkan dengan berkas Danil yang ditinggalkannya begitu saja. "Danil bilang, dia ingin mengambil berkas Adiknya lagi, tapi, untuk apa dia mengambil berkasnya? Bukannya kasus itu sudah ditutup?"
***
"Ah, sialan. Bagaimana jika Sela salah paham denganku? Akankah dia semakin membenciku? Danil, kenapa kau ini bodoh sekali. Bodoh!
Danil terus-menerus memikirkan hal yang sama. Pak sopir taksi hanya menggeleng melihat kelakuan penumpangnya kali ini. Danil kadang-kadang mengacak-acak rambutnya, kadang-kadang juga menepuk-nepuk pipinya keras.
"Mas, lagi ada masalah?" tanya sopir yang baik hati ini.
Danil tersadar dan memandang Pak Sopir. "Gak kok, Pak. Cuma...." Entah bagaimana Danil menjelaskannya.
"Gak papa kok, Mas, kalau emang mau cerita. Saya pendengar yang baik kok." Dari kaca spion, terlihat sang sopir tersenyum kepada Danil.
"Jadi gini, misal Pak sopir ketemu mantan bapak lagi, apa yang bakal Pak sopir lakukan?" tanya Danil akhirnya.
"Walah, masalah percintaan toh Mas, jujur sih, Mas, aku belum pernah pacaran. Aku langsung nikah aja, untung ada yang mau karo aku. Tapi Mas-nya enak, ada mantan, berarti banyak yang rebutin Mas toh? Hehe."
Entah itu pujian atau hanya sekedar gurauan, Danil tak tau. "Hehe, iya Pak."
"Tapi Mas, yang paling penting kanggo aku itu adikku, Mas. Sejak nikah, aku gak punya waktu lagi sama dia. Sedih Mas rasanya."
"Iya, Pak, bener banget. Aku juga ngera–"
"Mas, udah sampai," potong Pak sopir memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Oh iya, Mas. Aku turun dulu, dah dibayar via aplikasi ya, Mas." Danil segera turun.
"Iya, Mas. Jangan lupa bintang limanya." Setelah mengatakan itu, Pak sopir tadi langsung melajukan mobilnya jalan. Danil melambaikan tangannya.
Setelah mobil itu menghilang dari pandangannya, Danil segera memasuki rumahnya. Danil hanya berharap kalau Adit dan Haris masih ada di dalam, dan menjawab panggilan bel darinya.
Cukup satu kali bel dan tak perlu waktu lama untuk Adit membuka pintu dengan wajah yang sangat tidak menyenangkan. Adit hanya diam dan memandang tajam Danil.
"Baguslah, kalian masih di sini. Bisa menolongku?" tanya Danil berusaha untuk tersenyum.
Tanda ada respon dari Adit.
"Kenapa?" Danil mencoba bertanya lagi. "Apa yang membuat wajahmu begitu jelek hari ini?"
"Adit, ini rumah Guru, jangan seperti itu." Terdengar suara Haris dari dalam.
"Bodoh amat, gue lagi kesel." Adit membalasnya dari jauh.
"Ya sudah, aku masuk dulu." Danil melewati Adit begitu saja. Adit yang terlihat kesal, membanting pintunya sedikit kasar.
"Guru!" Adit mengekori Danil. "Apa yang Guru lakukan tanpa kami?"
Danil terus berjalan sambil membuka jaketnya yang tebal itu, dan membuangnya sembarang. "Tak ada yang spesial, aku hanya mencari kartu nama yang tak sengaja kejatuhan tadi."
Danil berbohong.
"Dan Guru menemukannya?" tanya Adit lagi. Entah kenapa Adit terasa menjengkelkan hari ini.
"Ya." Danil menjawabnya dengan yakin. "Lalu, kenapa dengan hal itu? Kau nampak berbeda, Adit."
"Tadi ada panggilan, Guru." Haris memotong. Dia baru saja kembali dari dapur dengan membawa sebuah cangkir kopi, dan baru saja diletakkan di meja.
"Dari siapa?" tanya Danil sembari duduk berhadapan dengan Haris.
"Anonymous. Begitulah dia menyebut dirinya."
"Haris, bisa kau ceritakan apa saja percakapan yang kalian bahas dengan Si Anonymous ini?" pinta Danil.
Haris menghela napas panjang, mencari posisi duduk yang nyaman, dan mulai menceritakan apa yang terjadi selama Danil pergi selama dua jam ini.
***
"Ha?! Dasar Sukiro!"
Tiba-tiba, telepon berdering. Adit dan Haris seketika diam. Mereka menatap telepon itu secara bersamaan. Bermaksud memberitahu Danil, Adit cepat-cepat membuka pintu dan ternyata Danil sudah tak ada lagi. Begitu Adit melihat ke dalam, Haris sudah mengangkatnya.
"Haris, apa yang kau lakukan?" tanya Adit sembari menutup pintu.
Haris menoleh dan meletakkan telunjuknya ke bibir, mengkodekan agar Adit diam. Melihat kode itu, Adit langsung diam dan mendekat secara perlahan.
"Danil, lama tak bertemu, sejak lima tahun terakhir, aku sedang mengetahui nomor rumahmu sekarang. Bisa kau temui aku Danil?"
Keduanya tak berniat menjawab.
"Oh-oh." Suara ini melanjutkan pembicaraannya. "Jangan-jangan, kau tak ingat denganku? Ini aku, sang teror tujuh tahun lalu. Aku masih mencari benda yang kau sembunyikan itu loh. Jangan bilang, kalau kau sudah menjualnya. Ah, tidak-tidak. Kalau kau menjualnya, sudah pasti aku yang akan mendapatkannya lagi. Hihi. Ya sudah, kudengar, kau ingin membuka kasus tiga tahun lalu. Jujur saja, aku senang bisa bermain-main lagi denganmu. Sampai jumpa di akhir permainan."
Dan telepon pun berakhir.
***
"Bagaimana dengan suaranya?" tanya Danil saat Adit dan Haris selesai bercerita.
"Bukan keduanya, Guru," jawab Haris.
"Apa?" Danil semakin kebingungan, mengerutkan keningnya.
"Suaranya memakai sensor, jadi, kami tak bisa memastikan apakah dia laki-laki atau perempuan," kata Haris.
"Guru." Adit mengangkat tangan. "Apa maksudnya dari “Teror tujuh tahun lalu”?"
Danil menghela napas panjang lalu berkata, "Maaf, Adit. Itu adalah cerita yang memilukan. Biarlah itu menjadi rahasia."
"Tapi, Guru--"
"Sttt..." Haris membalas dengan cepat. "Itu adalah masalah pribadi Guru, kita tidak boleh mengganggunya."
Telepon genggam Danil berdering. Dengan cepat, Danil segera mengorek sakunya dan mengangkat telepon tersebut tanpa memeriksa siapa yang meneleponnya.
"Halo?"
"Danil, berkas yang barusan kamu periksa, mau dipakai lagi atau ingin kusimpan?"
Mata Danil membulat, dia bangun secepatnya.
"Maaf, Sela. Aku buru-buru pulang tadi. Akan segera kuambil." Danil bergegas memasang jaketnya lagi.
"Kalau boleh, bisakah aku datang ke rumahmu? Kebetulan, aku ingin meminta pendapatmu tentang kasusku kali ini."
Danil berhenti bergerak, dia masih mencerna apa yang Sela katakan barusan. Sela ingin ke sini? Kenapa? Aku tak terlalu mendengarnya tadi. Ah, bagaimana jika dia....
"Halo?" Suara Sela di telepon membuat Danil tersadar kembali.
"Ah, halo," balas Danil gelagapan.
"Bagaimana? Bisa?"
"Bisa, bisa." Danil menurut saja, padahal dia sama sekali tak tahu apa yang Sela maksud barusan.
"Baiklah, aku akan sampai di sana sekitar dua puluh lima menit lagi. Sampai jumpa."
Dan telepon pun berakhir.
"Guru, Sela itu siapa?" tanya Adit polos. Dia ini memang bocah polos tapi kepo-nya kebangetan.
"Dia? Sela itu temanku. Dia seorang Detektif yang hebat." Danil menjelaskannya sesingkat mungkin.
"Hanya itu? Kukira hubungan Guru dengannya bagai ”Taman Tak Berbunga”."
"Apa maksudmu barusan?" tanya Danil tak mengerti.
"Oooh, Guru pura-pura tak mengerti ya," goda Adit tersenyum penuh arti.
"Ap-Apa!"
"Berhenti menggoda Guru, Adit. Bagaimana jika Gajimu dipotong hanya karena menggodanya?" Haris menakut-nakuti Adit.
"Eh? Guru orang seperti itukah? Yang tega memotong gaji seseorang hanya karena bercanda?"
"Sekali lagi kau menggodaku, bukan hanya gajimu yang kupotong, tapi tugasmu yang akan kubanyakkan," ancam Danil tertawa jahat.
***
Dua puluh menit setelahnya, ada yang ada yang mengetuk pintu rumah Danil. Haris bangun dan membukakan pintu, begitu terbuka, terlihat seorang perempuan berusia seumuran dengan Danil.
Rambut hitam panjang terurai, lipstik yang cerah, dan baju putih yang tertutup jaket hitam. Perempuan ini benar-benar elegan dan berkelas menurut Haris.
"Siang...." Haris bingung mau memanggilnya apa.
"Siang. Danil-nya ada kan?" tanya Sela membuka kacamata hitamnya.
"Ada. Akan segera ku--"
"Sela." Entah sejak kapan Danil sudah berada di belakang Haris. "Udah lama datang? Maaf, tadi ada urusan."
"Tak apa. Aku juga baru datang, ngomong-ngomong, anak muridmu ini lumayan cakep juga."
"Silahkan masuk." Danil memberi jalan. Sela pun memasuki rumah tersebut.
Haris segera menutup pintunya, dan menyusul Danil dan Sela.
"Maaf ya, Danil, ada seseorang yang mengikutiku barusan. Jadi aku harus bersikap seperti orang asing." Sela menundukkan kepalanya sebentar.
"Berarti, pujian barusan adalah palsu juga?" potong Haris.
Sela menoleh. "Tidak," katanya dengan senyuman. "Yang tadi benar-benar pujian dariku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro