Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

"Bagaimana, Guru? Apakah sudah ada kasus yang bisa kita tangani?" tanya Adit begitu duduk di kursi. Dia memang tidak sabaran.

"Aku bahkan belum duduk, kau sudah menanyakan hal itu. Pertama-tama, perlihatkan dulu tanda tangan orang tua kalian."

Keduanya menyerahkan surat tanda tangan yang dimaksud.

Danil mengecek tanda tangan tersebut. Dia sesekali mengangguk dan mengelus dagunya pelan.

"Hm. Ngomong-ngomong, apa pekerjaan Ayah kalian?" tanya Danil setelah melihat tanda tangan.

"Ayahku bekerja sebagai kuli bangunan," jawab Adit. Dia tak ragu-ragu menyebutkan pekerjaan ayahnya.

"Ayahku seorang pengacara." Haris mengatakannya dengan lirih.

"Ada apa dengan lo hari ini, Haris? Lo sakit ya? Kok letoy gitu." Adit menyerangnya dengan bertubi-tubi pertanyaan.

"Gue baik-baik, Dit. Tenang ae." Haris meyakinkan.

Danil melirik tanda tangan punya Haris, dia barusan mengatakan kalau ayahnya seorang pengacara. Namun, ada yang aneh.

Benar saja, Danil baru menyadarinya sekarang. Tanda tangan ini bukanlah tanda tangan seorang pengacara. Tanda tangan seorang pengacara cendrung rapih dan rapat. Tapi, tanda tangan ini sebaliknya.

"Haris, siapa yang bertanda tangan di sini? Jujur saja. Aku sedang menguji kejujuranmu sekarang," perintah Danil.

"Maaf, Guru, yang bertanda tangan di sana adalah pamanku. Ayahku sedang ada di luar kota." Haris menjawabnya dengan nada sedikit aneh, menurut Danil.

"Begitu." Danil kembali mengelus-elus dagunya. "Terima kasih, Haris, kau telah jujur kepada orang asing sepertiku. Aku berharap, kalian berdua tak menyesali pekerjaan kalian ini." Danil menjulurkan tangannya.

Keduanya menatap satu sama lain. Adit memberi semangat lewat kode matanya yang berkedip. Kemudian, mereka menyalami tangan Danil bergantian.

Tapi, tunggu dulu. Danil kembali menyadari sesuatu lagi. Haris terlihat lesu diawal bukan karena tanda tangan palsu ini, ada sesuatu yang lain dipikirannya. Tapi apa? Danil tak bisa memprediksinya sebab tak ada petunjuk sama sekali.

"Baiklah, sementara menunggu kasus kalian datang, bisa kalian ceritakan kesalahan terbesar kalian kepadaku. Tentu saja, ini tak ada paksaan. Kalian boleh menolaknya, tetapi, dengan mengetahui sedikit masa lalu kalian, kurasa aku bisa ... menambah gaji kalian, sedikit?" Danil melirik Adit.

Dan benar saja. Adit langsung tertarik untuk menceritakan masa lalunya tanpa ragu. Dia bahkan sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Aku! Aku, Guru!" teriak Adit bersemangat.

Danil terlihat tersenyum dan berkata, "Adit, kupersilahkan."

Adit segera mengambil posisi senyaman mungkin dan mulai menceritakan masa lalunya.

***

Adit menghadiri pesta ulang tahun teman sekelasnya waktu kelas 1 SMA, namanya Salma. Saat itu, Adit pergi sendiri tanpa sepengetahuan Haris. Adit pergi ke pesta tersebut semata-mata untuk hiburan saja. Kalah itu, nilai UAS Adit sedang anjlok.

"Yo! Hadirin sekalian, sebentar lagi tuan putri kita akan hadir. Jadi, siap-siap saja menyambutnya ya!" Sang pembawa acara sudah bicara.

Karena Adit baru pertama kali datang ke acara pesta seperti ini, jadi dia tak mengerti apa-apa dan hanya mengikuti saja.

Semua berjalan lancar, sampai acara alkoholnya tiba, tiba-tiba saja ada pria gendut yang menabraknya dengan kasar. Laki-laki itu bukannya minta maaf, tapi dia mendorong kasar Adit sampai terjatuh. Adit memang penurut, tetapi sekali diganggu, dia tak akan tinggal diam.

"Maksud lo apa dorong-dorong gue?" tanya Adit kasar. Emosinya sedikit kacau.

"Apa? Gak seneng lo? Sini baku hantam kita!" tantang laki-laki tadi.

Karena merasa tertantang, Adit langsung memukul wajahnya tanpa menjawab terlebih dahulu. Para wanita yang hadir di pesta itu langsung menjerit histeris. Seketika pesta menjadi kacau.

Mereka terus saling pukul, hingga pria gendut itu mengambil pecahan botol kaca alkohol. Dia mengarahkan pecahan lancip itu ke Adit. Suasana semakin mencekam, semua jantung berdetak kencang.

Lalu seorang gadis tiba-tiba muncul dan---

Telepon rumah Danil berdering, menghentikan Adit menceritakan masa lalunya. Semua mata tertuju pada telepon itu. Dengan segera, Danil mengangkat panggilan masuk itu.

"Halo, dengan Detektif Swasta, Danil," kata Danil begitu menjawab telepon. "Bisa ... harga bisa dibicarakan ... baiklah, kami akan segera ke sana."

Danil menutup teleponnya. Lalu menoleh ke arah Adit dan Haris.

"Ayo berangkat!" Danil segera bergegas.

***

Sebenarnya Danil ingin mendengar lebih lanjut cerita dari Adit, tapi Klien mereka ingin sekarang juga. Menurut Danil, ceritanya bisa didengarkan lain kali, tapi tidak untuk klien.

Persaingan antar Detektif memang susah, kebanyakan orang akan meminta bantuan Detektif Negara, tapi untunglah masih ada yang menggunakan jasa Danil. Dia bersyukur karena hal itu.

Mereka sudah sampai di tempat pertemuan, di sebuah kafe dekat pinggiran jalan raya. Sebelumnya, Danil sudah memesankan kopi manis untuk anak muridnya.

"Minumlah, keburu dingin nanti," kata Danil memperingatkan. Karena dari tadi Adit dan Haris hanya memandang kopi mereka saja.

"Kami, tak suka minum kopi, Guru." Adit membuka suara.

"Benar, Guru, kami bukan anak yang hobi begadang." Haris menambahkan.

"Kalau begitu, biasakan mulai dari sekarang. Sebab, seorang Detektif harus begadang di setiap kasusnya." Danil menyeruput kopinya.

"Apa? Begadang? Apa itu termasuk jam lembur?" tanya Adit sedikit penasaran.

"Jam lembur itu saat kalian sudah selesai menyelesaikan kasus, tapi ada penyelidikan lebih lanjut, itu baru yang dinamakan jam kerja lembur."

"Ohhhh," kata keduanya, mereka akhirnya paham.

"Perlu kalian ketahui, jam lembur bagi detektif itu sangat jarang, maka dari itu, jangan terlalu berharap."

Seorang pria berumur tiga puluhan datang ke meja mereka, dia melirik Danil dari tadi. Pakaian jas formalnya menandakan dia orang berada—dalam artian kaya.

"Dengan Detektif Dani?" tanyanya begitu sampai di meja mereka.

Danil menoleh dan mendongak. "Benar sekali. Yang menelpon tadi, 'kan?"

"Iya," jawabnya singkat.

"Silahkan duduk." Danil menggeser kursi di sampingnya.

"Terima kasih," katanya sembari duduk.

"Maaf, Pak, bisa memperkenalkan diri terlebih dahulu?" pinta Danil sopan.

"Ah, benar juga. Perkenalkan Detektif, saya Suwanto Pribjo, saya seorang pengusaha toko." Dia berdiri sebentar, memberi salam sopan, kemudian kembali duduk.

"Salam kenal, Pak Suwanto, perkenalkan saya Danil, dan di depan Anda ini adalah kedua murid saya, Haris dan Adit." Danil menunjuk mereka berdasarkan namanya.

"Salam kenal, Pak Suwanto," kata Adit.

"Salam kenal juga, Pak Suwanto." Haris meniru.

"Mungkin, bisa kita langsung ke permasalahannya saja, Pak?" pinta Danil lagi.

"Baiklah, Detektif. Begini, saya memiliki pegawai di toko, dua orang pria dan satu perempuan. Sudah satu Minggu ini saya terus kehilangan uang secara terus-menerus. Maka dari itu, saya meminta Detektif untuk menolong saya, menemukan siapa pencuri uang sebenarnya." Pak Suwanto menjelaskan.

"Berapa masing-masing usia dari pegawai Bapak itu?" Danil memulai wawancaranya.

"Agung, berusia 20 tahun, Dimas, 23 tahun, dan Sherly, dia mungkin berusia 25 tahunan."

"Hm, begitu. Kepada anak muridku, adakah yang ingin kalian tanyakan?" Danil sengaja bertanya. Dia ingin melihat bagaimana kemampuan mereka dalam memperoleh informasi.

"Saya, Guru." Adit mengangkat tangannya. "Pak Suwanto, berapa jumlah uang yang dicuri tersebut?"

Pak Suwanto tersenyum menahan tawa mendengar pertanyaan dari Adit barusan. "Tidak terlalu banyak kok, hanya sepuluh juta saja."

"Se-Sepuluh juta?" Adit mengulangi. Dia tak percaya, uang sebanyak itu hilang dan Pak Suwanto terlihat tenang-tenang saja.

"Pak Suwanto, siapa yang paling Bapak curigai diantara ketiga pegawai Bapak itu?" Sekarang, giliran Haris yang bertanya.

"Bagus, Haris, pertanyaanmu barusan adalah pertanyaan paling awal yang harus ditanyakan seorang Detektif." Danil berkata dalam hati.

"Kurasa Dimas, karena aku pernah melihatnya mabuk-mabukan di pinggir jalan. Selain itu juga, aku pernah melihatnya tidur saat sedang bekerja di siang hari." Pak Suwanto memberikan petunjuk.

"Baiklah, sekarang, kita ke masalah ini...." Danil memberi kode ditangannya. Kode untuk membicarakan uang.

"Tidak perlu khawatir, Detektif. Berapa kira-kira yang Detektif perlukan?" tanya Pak Suwanto tanpa Ragu.

"Tujuh juta?" tawar Danil.

"Deal. Kira-kira, kapan Detektif bisa menyelidikinya?"

"Mungkin satu jam tiga puluh menit ke depan. Silahkan Pak Suwanto tulis alamat Bapak di sini." Danil memberinya sebuah kertas.

Pak Suwanto langsung menulis di atas kertas itu. Kemudian dia menyerahkan kembali kertasnya.

"Baiklah." Danil menyimpan kertas itu di salah satu sakunya. "Sekarang, bisa kita berpisah, Pak?"

"Lalu, bagaimana dengan uang kalian? Kalian tak menginginkannya sekarang?"

"Tidak perlu sekarang, Bapak boleh mentransfernya setelah kasus berakhir."

"Anda ... terlihat berbeda dengan rumor yang beredar, Detektif," kata Pak Suwanto setelah dia bangun.

Danil menyeruput kopi terlebih dahulu sebelum menjawab, "Rumor, entah kenapa itu terdengar seperti racun." Nada bicara Danil barusan, terdengar sangat dingin dan menakutkan.

Pak Suwanto sedikit merinding dan langsung bergegas pergi setelah mengatakan, "Aku permisi dahulu."

"Terima kasih, Pak Suwanto." Adit melambaikan tangannya. Pak Suwanto hanya tersenyum tipis sebelum hilang diantara kerumunan orang lewat.

"Guru, apa yang akan Guru lakukan satu jam tiga puluh menit ini? Aku rasa, ada maksud tertentu Guru meminta waktu sedemikian rupa." Haris menyampaikan rasa penasarannya.

"Kau yakin ingin mengetahuinya?" tanya Danil.

"Jika Guru mengijinkan," balas Haris.

"Jujur saja, aku mencurigai Pak Suwanto."

Seketika Adit dan Keras terkejut tak percaya.

"Aa, aku bahkan tak pernah berpikir untuk mencurigai Pak Suwanto. Kenapa Guru berpendapat seperti itu?" tanya Adit tak percaya.

"Pelajaran pertama kalian, curigai siapapun yang dapat dicurigai. Meskipun itu yang melaporkannya sendiri." Danil memberi pelajaran.

"Baik, Guru," jawab keduanya.

Danil mengeluarkan handphonenya, mengetik sesuatu dan menscrool beberapa kali.

***

Mereka mendatangi alamat yang ditulis Pak Suwanto tadi, ternyata itu adalah alamat tokohnya. Tokoh yang menjual perabotan kebutuhan rumah tangga.

Dari luar, terlihat pegawai wanita yang mereka duga adalah Sherly. Tanpa pikir panjang, mereka langsung masuk dan bertanya kepada Sherly.

"Halo, benarkah ini tokoh milik Pak Suwanto?" tanya Danil begitu masuk tokoh.

"Benar sekali," kata Sherly. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Pak Suwanto ada? Katakan saja, temannya Danil ingin bertemu." Danil sedikit berbohong.

"Maaf, tapi aku belum pernah mendengar Pak Suwanto memiliki teman bernama Danil." Sherly menolak permintaan Danil.

"Pak Suwanto itu--"

"Mas Danil ya?" potong seorang karyawan yang datang tiba-tiba. "Mari masuk, Mas. Pak Suwanto udah nunggu di dalam."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro