27
Si Teror tersenyum lagi. Tak lama, dia bangun dari sofa dan mengambil sebotol alkohol langka dengan dua buah gelas kecil.
"Mau?" tawarnya pada mereka.
"Berhenti main-main dan katakan semuanya. Alasan kau membunuh Adel dan kau menculik Ayah Haris!"
desak Danil dengan nada tinggi.
"Ckckck. Kau memang tak sabaran, detektif."
Si Teror meletakkan kembali botol alkohol itu dan memasang masker wajah yang tebal.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Danil kasar.
Si Teror tersenyum tipis di balik masker dan menekan sebuah tombol merah di bawah meja. Tiba-tiba, dari lubang-lubang ruangan itu keluar asap beracun berwarna hijau. Asapnya sangat banyak dan membuat Danil dan Haris batuk-batuk.
"Haris, jangan hirup asap ini."
Tapi sudah terlambat. Perlahan, Haris mulai kehilangan kesadaran dan jatuh ke lantai. Dia tak sadarkan diri, gas beracun itu sukses membuatnya pingsan. Tak lama, Danil pun mengalami hal yang serupa.
***
Danil membuka matanya dengan cepat. Dia tergeletak di lantai, di sampingnya ada Haris yang masih tak sadarkan diri. Mereka sedang berada di sebuah ruangan dengan jeruji besi.
Danil bangun dan memegangi kepalanya yang tiba-tiba sangat sakit. Dia menggoyang-goyangkan tubuh Haris, tak berapa lama, Haris pun terbangun.
"Guru?" katanya begitu duduk.
"Kau baik-baik saja?"
Haris mengangguk. Dia memperhatikan keadaan sekitar. "Kita di mana, Guru?"
"Entahlah. Satu hal yang kita ketahui, pasti Si Teror yang membawa kita ke sini."
Seorang lelaki kekar datang dengan telanjang dada sambil menatap mereka datar dari balik jeruji besi. Kemudian, dia melempar sebuah HP ke mereka. HP itu sudah terhubung dengan sebuah panggilan.
"Halo?" kata seseorang di telepon itu. Suaranya seperti bocah perempuan yang kebingungan.
Bukannya menjawab, mereka malah saling pandang. Lalu, Danil mengambil telepon itu dan mendekatkannya ke telinganya.
"Halo?" Danil baru membalas.
"Paman, tolong aku!" Nadanya sedikit gemetar dan ketakutan.
"Ada apa? Kau terancam?"
"Tolong aku, Paman, di sini sangat sepi dan sunyi. Hanya aku yang sadar di sini. Semua orang pingsan, Paman. Tolong aku, Paman, tolong," katanya dengan nada yang memilukan.
"Tenanglah, kau tak akan kenapa-kenapa asalkan kau tenang. Percayalah padaku. Baiklah, sekarang, bisa kau ceritakan padaku apa saja yang kau lihat?"
"Semua orang tiba-tiba menghilang, Paman. Sesuatu menarik mereka! Aku di hutan, tapi aku tak bisa melihat apa-apa sebab gelap."
Telepon tiba-tiba berakhir.
"Detektifku." Tiba-tiba pria kekar tadi bicara. "Ini aku, Si Teror, pria ini adalah perantara antara kita. Kau akan berhubungan lagi dengan gadis itu jika kau bisa memecahkan setiap kasus. Satu kasus akan memiliki waktu sepuluh menit saja."
"Akan kumulai." Lanjutnya. Pria kekar itu melempar dua buah foto pria yang berbeda. "Alan Pardew, pria sederhana tapi sangat menakutkan jika dia melihat darah. Yang satunya, pria bertopi itu, Galang, seorang pembunuh berantai yang amat kejam dan kanibal. Di antara dua informasi tadi, ada satu informasi yang salah. Apakah itu? Nah, detektifku, jawablah. Waktu 10 menit dari sekarang."
Telepon yang di genggam Danil otomatis membuat waktu mundur sepuluh menit dari sekarang.
"Guru, teleponnya." Haris memperingatkan.
Danil melihat telepon itu dan berdecak kesal. Lagi-lagi dia harus memainkan permainan dari Si Teror.
"Guru, yang mana informasi tersebut?"
Danil tak menggubris perkataan dari Haris tersebut dan malah bertanya ke Si Teror. "Apa yang akan terjadi jika aku tak menjawab pertanyaan itu?"
Pria kekar tadi menjawab, "Kedua orang itu akan mati, beserta dengan anak kecil itu."
Danil berdecak, dalam hatinya, dia benar-benar muak mengikuti permainan dari Si Teror. Tapi mau bagaimana lagi, jika kehendaknya tak di ikuti maka, akan ada orang tak bersalah akan mati. Benar-benar sial.
"Semakin kau diam, maka waktu mundurnya akan di percepat," kata pria kekar tadi.
"Cih, sialan. Baiklah Danil, sekarang berpikirlah dengan tenang. Mari selamatkan orang-orang yang tidak bersalah itu."
Danil menghela napas dan menghembuskannya dengan kasar. Dia menatap kedua foto tersebut dan menganalisisnya.
Foto pertama, Alan, dari bola matanya dia tak seperti yang disebutkan tadi. Dia juga tidak terlihat seperti seorang pemarah. Kemudian, foto kedua, Galang, dia memang seorang pembunuh berantai jika dilihat dalam foto. Lantas, apakah persoalannya semudah itu? Tentu saja tidak. Si Teror tak akan memberikan pertanyaan bodoh seperti ini. Pasti ada yang salah, tapi apa? Benarkah Alan seorang pemarah? Benarkah Galang seorang pembunuh berantai? Ah, sialan.
"Waktumu hanya dua menit lagi."
"Apa?" kata Danil tak percaya.
"Semakin kau diam, semakin cepat waktunya berjalan."
"Informasi yang salah adalah Alan. Dia bukan seorang pemarah, jadi, informasi yang menyebutnya menakutkan adalah informasi palsu."
"Kau yakin?" Nada pria kekar itu sedikit mencurigakan.
Danil segera mengetahui kalau jawabannya itu salah. Pikirkan lagi, Danil. Analisismu barusan itu salah. Analisis kembali. Pikirkan lagi, pikirkan lagi!
"Lima...."
Danil menyadari sesuatu, dia menghadap ke pria kekar itu. "Informasi yang salah adalah Gilang!"
"Empat...."
"Dia memang pembunuh berantai...."
"Tiga...."
"Dia juga psikopat gila."
"Dua...."
"Tapi, dia bukan seorang kanibal."
"Satu ... habis." Pria kekar itu tersenyum.
Telepon itu berdering kembali. Dengan cepat, Danil menjawabnya. "Halo?"
"Kenapa Paman mematikan teleponnya? Aku sangat ketakutan di sini. Tak ada seorang pun di hutan ini. Tolong aku, Paman, tolong!"
"Maafkan, Paman. Baiklah sekarang, apa saja benda yang ada di sekitarmu?"
"Beberapa peralatan makanan yang berjatuhan dengan sebuah kain lebar."
"Apa? Sebelumnya, apa yang kau lakukan sebelum menelpon?"
"Aku dan keluargaku sedang piknik di pinggiran hutan...."
"Lalu?" tanya Danil penasaran.
Panggilan pun kembali berak.
"Pertanyaan kedua," kata pria kekar itu tiba-tiba. Dia kembali melempar sebuah foto, kali ini di sertai sebuah pistol api. "Pilih salah satu dari kedua foto itu dengan menembaknya. Yang kau pilih akan selamat dan dalam batas waktu ini, kau boleh bertanya apapun padaku. Aku akan menjawab dengan jujur."
Danil melihat foto tersebut. Terlihat Ayah Haris di salah satu foto tersebut. Haris yang melihatnya sontak terkejut dan tak percaya.
"Ini adalah ayahku, dan ini ... Ayah Adit?" Haris terbelalak. Dia benar-benar terkejut melihatnya.
"Apa? Ayah Adit? Bagaimana mungkin aku memilih di antara keduanya?" keluh Danil dalam hati.
"Waktunya sama, 10 menit. Di mulai dari sekarang."
Telepon itu menghitung mundur lagi.
"Aku akan bertanya langsung kepadamu. Siapa kau sebenarnya?" tanya Danil.
"Adikmu," jawabnya.
Danil sontak saja tak percaya. "Apa yang kau maksud? Adikku telah meninggal."
"Maksudmu ... Adel? Ya, dia memang adikmu, begitu juga dengan aku."
"Apa?"
"Bukan hanya membuangku, ternyata kalian melupakan kehadiranku juga."
"Apa maksudmu? Aku hanya memi--" Danil tersadar sesuatu. "Michelle? Kau adalah Michelle? Tidak, tidak mungkin kau Michelle. Dia telah dinyatakan meninggal oleh polisi bertahun-tahun yang lalu."
"Ayah Haris lah yang membuat informasi palsu itu. Dengan begitu, dari sana dia menerima gaji kotor."
Danil sedikit geram tapi dia tahan. "Kenapa kau membunuh Adel?"
"Dia selalu jahat padaku. Menarik rambutku, merusak bajuku, hanya mentang-mentang aku ini adalah anak angkat orang tuamu."
Danil semakin geram. "Hanya karena itu?"
"Aku juga yang membunuh kedua orang tuamu. Ayah ... tidak, Paman itu sengaja melepasku saat kita bermain petak umpet. Sebab itu aku membunuh keduanya. Sedang Bibi itu, dia jarang sekali memperhatikanku, kalian mengadopsiku hanya karena rasa kasihan bukan? Inilah wujud pembalasan rasa kasihan kalian itu."
Mendengar hal itu, Danil marah dan menggenggam erat jeruji itu dan berteriak di depan pria kekar tadi. "Dasar laknak! Aku tak akan--"
"Hei, tenanglah. Waktumu akan habis dengan bacotanmu itu."
Danil tersadar kalau dia mempunyai batas waktu. Saking penasarannya dia sampai melupakan hal terpenting itu. Danil melihat telepon dan tersisa hingga dua menit lagi.
Danil menghela napas dalam-dalam dan kembali stabil. "Pertanyaan terakhir. Jika aku tak memilih keduanya, akankah mereka berdua...."
"Tentu saja. Sama seperti awal tadi, keduanya akan mati beserta anak tersebut."
"Baiklah, aku sudah memilih."
Haris benar-benar terdiam di sini. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk mencegah Danil agar memilih ayahnya dia tak berani. Mulutnya berat dan seluruh badannya gemetar.
Danil menoleh ke arahnya. Haris berpikir kalau Danil tak akan menyelematkan ayahnya sebab Yusuf sudah ikut campur dalam masalah keluarga Danil.
Namun, ternyata Haris salah. Danil tak berpikir demikian. "Baiklah, aku sudah memilih ... aku akan menukar kedua nyawa tersebut dengan nyawaku!"
"Tidak, Danil!" Si Teror nampak panik. Semuanya tak berjalan sesuai rencananya.
Danil mengarahkan pistol itu di pelipisnya dan bersiap-siap untuk menembak, lalu tiba-tiba dia di serang dengan alat kejut listrik. Semua anggota badannya tak bisa di gerakan. Pandangannya juga tak begitu jelas. Perlahan dia menutup mata.
Terlebih Haris memanggil namanya histeris beberapa kali sebelum dia ikut pingsan juga.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro