Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26

Jantung Danil berdetak kencang seakan ingin meledak. Dia begini sebab korban selanjutnya adalah Ayah Haris. Dari tadi dia mondar-mandir tak tenang di rumahnya. Meski dia belum begitu dekat dengan Adit dan Haris, entah kenapa dia seakan sudah lama dekat dengan mereka.

***

"Huh! Segar banget abis mandi."

Adit keluar dengan handuk melingkar di pinggangnya. Tak jauh dari sana, terlihat Ibu Adit yang sedang mengupas bawang di meja makan—kamar mandi rumah Adit dekat dengan dapur.

"Masak apa, Mak?" tanya Adit sambil mendekat.

Tanpa menoleh, Ibu Adit menjawab, "Adikmu pengen dibuatin sup ayam kemaren. Untunglah hari jni harga ayam lagi turun, makanya Emak buatin sekarang."

"Emang gak bisa langsung beli aja gitu, Mak?" Adit menyarankan.

"Hus! Masakan sendiri itu lebih enak daripada beli punya orang. Kamu Emak suruh belajar masak gak mau. Alasannya karena pekerjaan perempuan."

"Hehe, kan emang bener, Mak." Adit tertawa cekikikan. "Ya udah lah, Mak. Adit mau ke kamar dulu. Siapa tau, Adek ada PR."

"Hm," kata Ibu Adit yang artinya 'Iya'.

***

Haris duduk di pinggir kolam, dengan memutar lagu Pop di headset-nya. Dia tengah membaca buku cerita fiksi. Nampaknya Haris amat penasaran dengan cerita tersebut.

Di sampul bukunya, terlihat ilustrasi dua orang sedang memegang pisau dengan banyak darah di baju dan sekitarnya.

Tak lama, Haris melibat halaman dan menutup bukunya. Dia benar-benar takjub dengan buku yang baru saja di belinya online beberapa hari yang lalu.

"Buku best seller memang yang terbaik. Jalan ceritanya benar-benar menarik dan membuat pembacanya jadi ketagihan. Gue harap, bakal ada season atau jilid duanya." Haris bergumam sendiri.

Haris berniat untuk masuk rumah, tapi dia tak sengaja melihat ibunya di dalam rumah dengan wajah kusut serta beberapa kali berdecak karena teleponnya tak diangkat.

Karena Haris merasa ada yang salah, dia buru-buru masuk ke rumah dan segera menghampiri ibunya.

"Ada apa, Bu?" tanya Adit sambil memegang bahu kanan ibunya.

Ibu Haris menoleh dan sedikit terkejut dengan kehadirannya. "Eh, Adek. Ini loh, ayahmu belum pulang-pulang, telepon juga gak diangkat-angkat. Ibu jadi khawatir sama ayah."

"Paling lembur lagi, Bu. Ibu kayak gak kenal Ayah aja." Haris menjawab dengan enteng.

"Tapi, Dek, perasaan Ibu gak enak akhir-akhir ini. Entah kenapa, pikiran Ibu selalu kepikiran ayahmu terus."

Karena melihat Ibunya se-cemas ini, Haris akhirnya menanggapinya dengan serius. "Perlu kita laporkan ke polisi, Bu?"

"Ini belum dua puluh empat jam, Dek. Ayahmu terakhir bisa dihubungi jam 12 siang tadi, sebelum makan siang." Ibunya memberitahu.

Haris berpikir kemudian mengusulkan, "Bagaimana kalau kita minta bantuan Guruku? Dia seorang detektif swasta. Aku sudah memecahkan kasus beberapa kali bersamanya."

"Gurumu? Kok Ibu gak pernah tau, kalau kamu punya Guru seorang detektif?" tanya Ibu Haris.

"Sebelumnya maaf, Bu, karena gak pernah cerita. Tapi, aku dan Adit memutuskan untuk bekerja menjadi murid dari seorang detektif swasta. Aku gak bisa kuliah kalau teman terbaikku gak kuliah juga."

"Sudah berapa lama?"

"Kurang dari sebulan."

"Lalu, bagaimana dengan pendidikanmu, Dek. Ibu ngerasa kalau Adit temanmu itu gak akan bisa kuliah...."

Haris memotong dengan cepat, "Bisa. Adit pasti bisa kuliah. Dengan gaji kami lima juta per kasus, aku yakin Adit pasti sanggup untuk kuliah. Dia sedang menabung sekarang."

"Apa? Lima juta per kasus? Ibu tidak salah dengar? Bagaimana mungkin bisa setinggi itu."

Tak aneh kalau Ibu Haris kaget dengan gaji sebesar itu. Pasalnya, upah yang biasanya di dapatkan detektif swasta hanya berkisar antara dua sampai tiga juta saja.

"Sudahlah, Bu. Aku akan menemuinya sekarang."

Haris segera pergi tanpa menunggu jawaban dari ibunya. Dia segera memesan taksi online dan berangkat saat taksi itu sampai di depan rumahnya.

***

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Danil. Haris langsung mengetuk pintu beberapa kali dan menunggu. Selang beberapa detik, terlihat Dolgan yang membukakan pintu tersebut.

"Masuklah, kami memang sedang menunggumu."

Haris masuk dengan Dolgan di belakangnya. Haris menuju ruang tengah, yang ternyata sudah duduk Danil di salah satu sofa-nya.

"Guru?" sapa Haris langsung.

Danil menoleh, tampak wajahnya sedikit cemas. "Haris, kenapa kau ke sini malam-malam?"

"Tentu saja untuk membicarakan ayahmu. Iya, 'kan?" jawab Dolgan duluan yang baru masuk ruangan.

Keduanya menoleh ke arah Dolgan.

"Iya. Dari mana Guru Dolgan--"

"Stt. Dari raut wajahmu sudah ketahuan. Memang seperti inilah skenario yang diinginkannya. Kita selangkah dibelakangnya."

Haris mendekat. "Apa yang Guru Dolgan katakan barusan?"

"Sebentar lagi akan ada--"

Tiba-tiba handphone Danil berdering, masuk sebuah SMS.

"--orang yang mengirimmu alamat."

Danil melihat isi SMS itu.

Jl. X Cafe malam, No. 10

Si Teror

Haris ikut membaca SMS itu juga dan tak mengerti sama sekali.

"Apa maksudnya? Apa di alamat itu ayahku berada? Lalu, kenapa kalian seolah sudah tau semua yang akan terjadi?"

"Aku sudah menjelaskan semuanya pada Danil. Cepatlah ke sana sambil ceritakan semuanya," perintah Dolgan.

Danil nampak geram, dia menggenggam teleponnya dengan erat. Lalu berkata, "Ayo pergi, Haris."

Tanpa membantah, Haris mengikuti Danil pergi ke tempat yang ada pada SMS tadi.

Mereka pergi ke tempat tadi dengan taksi. Sesuai perintah Dolgan, Danil perlahan-lahan menceritakan semuanya.

"Haris. Aku akan menceritakan semuanya. Tapi aku tak tahu kenapa ayahmu terlibat dengan semua ini."

Haris nampak menyimak dengan serius.

"Kejadiannya berawal dari sebuah pesta dihadiri adikku, Adel. Si Teror itu memberinya sebuah racun, menurut polisi yang menanganinya. Tak hanya itu, dia juga menikam Adel dengan pisau yang sudah di olesi bisa ular. Adel ditemukan tak jauh dari pesta itu di pinggir jalan. Saat itu pelakunya pasti mengajak Adel keluar sebentar dan saat itulah dia menikamnya."

"Adel baru ditemukan paginya. Delapan jam sejak racun dan bisa itu mulai menyebar. Tubuh Adel sudah membiru sebagian...."

Tak disangka, air mata Danil menetes di tengah ceritanya.

"Aku saat itu baru beberapa hari masuk kuliah di luar kota, bergegas pulang kemari. Di sanalah, aku bertemu dengan Perwira Tegar. Detektif yang menyelidiki kasus Adel. Namun, sudah berbulan-bulan tak ditemukan juga pelakunya. Semua orang yang mengikuti pesta itu sudah di interogasi, tapi tak satupun melihat seseorang yang mengajak Adel keluar. Sebab itu, kasusnya di lupakan dan ditutup sementara sampai ada bukti baru. Sebab itulah, aku ingin merekrut murid untuk membantuku menangkap pelakunya."

"Dan di saat itulah, Guru merekrut kami." Haris menambahi.

"Benar sekali. Kau ingat kasus penguntit itu, dia salah satu tersangka kasus kematian Adel. Dari catatan penyelidikan, sepertinya dia mengetahui sesuatu tentang Si Teror. Tapi, tak kusangka dia sudah di lenyapkan dulu oleh Si Teror. Dan juga, mayat yang kalian temukan itu, mayat itu berasal darinya. Sepertinya dia sedang menguji coba sesuatu di mayat itu dan sengaja mengirim mayat itu kepadaku."

"Apa arti mayat itu, Guru?"

"Dia ingin menunjukkan kepadaku, jika tak mengikuti permainannya, maka aku akan berakhir sama seperti mayat itu. Sebab itulah aku mengikuti permainannya saat bersama Sela. Lalu, tak lama setelah masalah itu, muncullah Andini. Entah dari mana Guru Dolgan tau kalau dia adalah Si Teror. Dia bahkan tak bisa membuktikannya, lantas kenapa dia terus menuduh Andini? Bagaimana menurutmu, Haris?"

Haris berpikir sebentar. "Menurutku, kita harus waspada Guru. Dia, Guru Dolgan tak akan mengatakan atau menekankan sesuatu tanpa sebab. Bisa saja yang Guru Dolgan mengatakan yang sebenarnya, meski dia sebenarnya sangat misterius."

"Begitu ya."

"Lalu, bagaimana tanggapan Guru Dolgan tentang ayahku yang hilang?"

"Dia bilang, ayahmu adalah target terakhirnya. Tapi, dia tak menjelaskan kenapa ayahmu terlibat dalam hal ini."

Taksi tiba-tiba berhenti. Ternyata mereka sudah sampai pada alamat yang di SMS tadi. Tak lama, mereka turun dan Danil pun memberikan sejumlah uang pada sopir taksi itu. Tak lama, taksi itu pergi.

"Cafe ini?" tanya Haris.

"Mau langsung masuk?" tanya balik Danil.

Haris mengangguk.

Mereka masuk cafe itu. Di dalamnya hanya ada pria yang duduk di meja mereka masing-masing. Semuanya pria tanpa terkecuali. Suasananya sedikit aneh, tapi tiba-tiba ada seorang pelayan yang mempersilahkan mereka melewati sebuah lorong gelap. Tanpa pikir panjang mereka langsung melewati lorong tersebut.

Ditengah-tengah lorong, saat mereka mendekati seorang penjaga, dia langsung membukakan pintu untuk mereka.

"Untuk kami?" tanya Haris.

Tapi penjaga berjas hitam itu tak menjawab. Tanpa basa-basi, Danil langsung masuk ruangan itu diikuti Haris belakangnya.

Ruangannya gelap, Danil segera meraba dan menekan tombol untuk menghidupkan lampunya. Begitu lampu menyala, terlihat seorang perempuan berkacamata hitam duduk di sofa. Sontak saja Danil dan Haris menjadi terkaget.

"Siapa kau?" tanya Haris.

Perempuan itu perlahan menoleh sambil melepaskan kacamatanya. "Kalian ingin kejelasan bukan?"

"Katakan dahulu, siapa dirimu."

"Bapak Danil, kukira kau akan langsung mengenalku. Beradu pandang di tempat kerja itu memang mengaksikan, kan?" kata perempuan itu tersenyum manis.

"Apa maksudmu?" Danil tak mengerti sama sekali.

"Terima kasih sudah belanja di tokoh X." Perempuan itu meniru wanita kasir yang melayani Danil kemaren.

"K-Kau wanita kasir waktu itu?" kata Danil terkejut.

Perempuan itu menghela napas. "Detektifku ini memang bodoh ternyata. Lalu, siapakah ini?"

Dia melepas lensa matanya dan mengubah ekspresi wajahnya seperti ketakutan. "Maafkan aku, maafkan aku."

"Kak Andini?" kata Haris langsung mengenali.

"Ah, langsung ketahuan ya. Ternyata ingatanmu lumayan bagus. Lalu, siapa aku sebenarnya?"

Danil geram dan berkata, "Kau pasti Si Teror, benar kan?"

"Wow, Detektifku. Kukira kau tak akan mengenali aku secepat ini. Sebab kau bodoh, sih. Lantas, siapa identitas asli dari Si Teror? Identitas asliku? Namaku yang sebenarnya dan kenapa aku membunuh mereka sambil menari-nari?"

"Karena kau sudah gila! Otakmu pasti sudah tak berfungsi lagi sampai membunuh mereka yang tak bersalah kepadamu."

Si Teror menatap Danil dengan tatapan yang sangat menyeramkan. Seakan dia tersinggung dengan ucapan Danil barusan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro