Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23

Andini sudah di amankan polisi. Dia tengah duduk di kursi sambil memegang gelas kopi. Tangannya masih sedikit gemetaran dan tatapannya kosong. Trauma.

Haris mendatanginya, membawakan beberapa bungkus makanan ringan yang mungkin bisa membantunya untuk sedikit tenang. Haris menyodorkan makanan itu kepadanya, tetapi Andini tak menggubrisnya. Kondisinya masih sama saja.

"Ambillah. Siapa tau, ini bisa membuatmu sedikit lebih tenang. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku hanya bocah tamatan SMA."

Tak ada respon.

"Guruku sedang menyelidiki mayat Paman itu, maukah Kakak membantu kami menemukan apa yang sebenarnya terjadi? Karena hanya Kakak yang tau semuanya."

"Tinggalkan aku sendiri," pinta Andini. Dia menatap Haris dengan wajah yang waspada. Sepertinya dia memang trauma berat dengan kejadian tadi.

"A ...." Haris tak jadi menjawab. Dia meletakkan semua makanan yang dia bawa di samping Andini. Lalu, Haris pun bergegas pergi dari sana.

Andini hanya menatap punggung Haris dengan mata yang aneh. Setelah menatap Haris, dia beralih ke makanan yang ada di sampingnya.

***

Danil sedang berada di ruang mayat bersama petugasnya. Danil hanya memperhatikan apa saja yang petugas itu lakukan ke mayat. Mulai dari memeriksa matanya, mengambil gambar pada luka sayatan di sekitar tangan dan jidatnya.

"Bagaimana?" tanya Danil setelah cukup lama mengawasi. Dia perlahan mendekat.

"Dia baru meninggal ya? Tapi, kenapa darahnya sudah berhenti total? Mungkin hanya butuh lima menit untuk sampai ke sini, tapi, darah di tubuhnya sudah ada mungkin sekitar tiga puluh menit sebelumnya."

"Hm, jadi ini memang benar pembunuhan?"

"Untuk sementara, iya. Aku akan memeriksanya lebih lanjut. Akan kukirimkan hasilnya padamu segera."

"Baiklah, aku akan berbicara dengan pelaku, tidak, korbannya." Danil segera keluar dari sana dan berniat untuk menghampiri Andini, tetapi dia tak menemukannya juga.

Di tengah pencarian, tak sengaja Danil melihat Haris yang sedang berbicara dengan seseorang. Dari punggungnya, Danil sudah tau itu siapa. Dia segera duduk di samping Haris.

"Guru," kata Danil begitu duduk.

Haris sedikit terkejut dan memerhatikan gurunya.

"Ya?" Dolgan tersenyum ramah kepadanya.

Mata Danil menyipit. "Apa yang Guru lakukan di sini?"

"Ah, itu. Aku sudah menjelaskannya pada anak muridmu ini. Terserah padanya mau percaya atau tidak yang aku katakan tadi."

"Jelaskan, Haris," perintah Danil.

Haris berhenti makan dan bersiap untuk menjelaskan. "Guru Dolgan ke sini sebab menyelidiki ayahku. Dia bilang, ada sesuatu yang harus dia selidiki untuk penyelidikan lebih lanjut mengenai ayahku. Dia juga bilang, petunjuknya ada di mayat itu, maka dari itu Guru Dolgan bertanya kepadaku tentang mayat itu dan aku pun menjelaskan semua yang aku tau. Setelah itu, Guru datang."

"Begitu. Terima kasih, Haris." Danil beralih menatap Dolgan. "Hasil pemeriksaan mayatnya belum keluar. Guru bisa menunggu di rumah, akan kuhantarkan nanti."

"Tenanglah, hasilnya akan keluar satu menit lagi."

"Apa? Guru sudah memprediksinya?"

"Tentu saja tidak, di belakangmu tadi, ada petugas perempuan yang baru saja mencetak sebuah berkas. Sejauh ini, hanya ada satu kasus yang mereka tangani. Kau boleh mengambilnya sekarang. Atau perlu taruhan lagi? Seperti dulu?"

"Tidak perlu. Aku akan mengambilnya sekarang. Guru tunggu di sini saja. Ayo, Haris." Danil beranjak dari duduknya dan segera menuju ruang mayat itu tadi. Haris hanya mengekorinya dari belakang.

Dolgan tersenyum kecil. "Sepertinya ini akan seru." Dia ikut-ikutan berangkat dan mengiri Danil dari jauh.

Danil mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk. Begitu pintu terbuka, terlihat petugas tadi sedang mengecek berkasnya.

"Halo?" kata Danil pelan.

Petugas itu menoleh dan tersenyum begitu mengetahui yang datang adalah Danil.

"Detektif Danil, lihat ini." Petugas itu menunjuk sesuatu di berkasnya.

"Apa itu?" tanya Danil begitu melihatnya.

"Cairan hitam di sayatannya. Menurut hasil laboratorium, itu adalah narkoba. Tetapi, tak diketahui jenis apa narkoba tersebut."

"Cairan yang sama." Danil bergumam sendiri.

"Apa maksudmu, Detektif?"

"Cairan ini juga di temukan dalam mayat yang kuselidiki kemarin."

"Benarkah? Lalu, apa itu sebenarnya?"

"Aku tak begitu tau. Mayat yang kuselidiki kemarin adalah imigrasi ilegal. Mungkinkah ada yang membawanya lalu melakukan uji coba pada orang-orang imigrasi ilegal ini?" Danil mulai menebak-nebak.

"Coba kau tanyakan saja pada Perwira Tegar. Dia adalah seseorang yang terkenal."

"Aku memang mengenalnya, tapi ...."

"Sudahlah, permusuhan antara Perwira dengan seorang Detektif Swasta itu sudah biasa. Aku sudah sering melihatnya. Begitu mereka bekerja sama, kasus yang awalnya mustahil di pecahkan pun bisa di hadapi. Maka dari itu-"

"Kita tak boleh menggunakan jasa seorang perwira." Dolgan tiba-tiba datang. Dia berdiri di dekat pintu sambil tersenyum kecil. "Semua orang boleh meminta bantuan perwira, tapi tidak dengan detektif swasta."

"Guru?" kata Danil.

"Pola pikiran kita berbeda Danil. Mereka selalu bisa bertingkah sesuka mereka. Begitu kasus tak selesai, mereka akan mengabaikannya dan mencari-cari alasan yang tak masuk akal."

"Tapi, Guru-"

Dolgan memandang Danil serius. Tak ada canda dan senyum lagi di wajahnya. "Semua sudah sesuai kodratnya. Kita memang di takdirkan untuk menjadi rival kepolisian. Jangan menentang itu, dan segeralah bersiap. Ada yang ingin kubicarakan kepada kalian."

Dolgan berjalan beberapa langkah, perhatiannya mengintip pada sosok mayat yang baru saja meninggal tersebut.

"Begitu," kata Dolgan setelah melihat mayat tersebut. "Semua sudah mulai terlihat, tinggal menyusunnya saja menjadi logika."

"Apa? Apa maksud Guru barusan?"

Rolgan menatap Danil sinis, "Ikutlah, jika kau ingin tau."

Setelah itu, dia meninggalkan ruangan tersebut dan melewati Haris dan Adit yang menunggu di luar ruangan. Mereka hanya terdiam melihat Dolgan berjalan sambil tersenyum penuh arti.

"Aku, permisi dahulu," kata Danil kepada petugas itu.

"Ah iya. Semoga Detektif segera menemui pelakunya."

Danil keluar ruangan dan disambut oleh Adit dan Haris.

"Guru?" kata keduanya hampir bersamaan.

"Kita ikuti Guru Dolgan, dia ingin menjelaskan sesuatu." Danil berjalan lurus, sedangkan keduanya membututi.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Guru?" tanya Danil begitu duduk di bangku. Dolgan sengaja memilih meja di pinggir sudut agar Danil dan yang lainnya leluasa berbicara sekaligus memancing seseorang.

"Itu, mayat tadi adalah teman ayah Haris." Dolgan memberitahunya dengan sebuah senyuman di bibirnya.

"Apa?" Haris terkaget. "Mayat itu adalah teman ayahku? Bagaimana bisa?"

"Aku akan menyimpulkannya begitu mendengar kisah darimu, Andini, sang korban." Dolgan sengaja menaikkan nadanya agar di dengar oleh Andini yang ternyata mendengar percakapan mereka. Dia duduk tak jauh dari sana.

Merasa ketahuan, Andini segera menoleh dan tanpa pikir panjang dia mendekat dan duduk di bangku kosong dekat mereka.

"Ba-Bagaimana kau bisa tau aku, Detektif? Mereka juga tak membicarakan tentangku." Andini merasa heran sekaligus takjub.

"Sebenarnya mudah saja, aku sengaja memilih duduk di sudut ruangan memang untuk memancingmu. Karena kau korban yang tak biasa."

"Eh?" Andini tertegun. "Apa maksud Detektif barusan?"

"Kau bilang memar itu disebabkan karena pukulannya sewaktu di mobil, tapi, memar itu sudah ada tiga hari yang lalu. Bau obat herbalnya masih kuat, kau tak bisa menyangkalnya. Selain itu juga, tidak ada luka memar terbaru sepanjang yang kulihat."

Andini menatap tajam Dolgan. "Kau mau kuperlihatkan memarnya? Dia mencoba untuk memperkosaku lagi hari ini."

Baru saja Andini ingin melepas rok kerjanya, dengan cepat juga Danil menahannya.

"Guru." Lagi-lagi Danil menghalangi. Danil merasa kalau Dolgan sudah keterlaluan kalau dia ingin melihat memar di sekitar area kemaluan Andini.

Dolgan hanya berdiam diri. Tatapannya mengikuti bola mata Andini. Dolgan merasakan aura yang berbeda darinya. Namun, karena kurangnya informasi, Dolgan hanya bisa menduga-duga saja seperti ini.

"Ada apa Detektif?" tanya Andini. Wajahnya sangar tapi matanya sudah berkaca-kaca. "Bukankah kau ingin melihat buktinya?"

"Sudah, duduklah," kata Danil, dia berusaha untuk menenangkan Andini yang masih dilanda trauma.

Andini luluh dan perlahan duduk kembali. Namun, hal itu tak membuat Dolgan merubah tatapannya. Adit dan Haris hanya diam dan memperhatikan pertikaian antara Danil dan Dolgan.

"Guru, ini kasusku, Guru sudah berjanji untuk tidak ikut campur dalam kasus Si Teror kan? Maka dari itu, aku minta dengan sangat agar Guru segera pergi dan tak mengusik kasus ini lebih dalam lagi."

Danil meminta dengan sangat.

"Danil, Danil. Lihatlah betapa polosnya dirimu. Ketakutan yang baru saja kau perlihatkan saja sudah membuatku tak percaya padamu. Selain itu juga, mau sampai kapan kau menjadi kuda berjalan Si Teror? Kenapa kau mengikuti alurnya?"

"Aku tau Guru mempunyai analisis yang hampir menyerupai tokoh kesayangan Guru itu, tapi, biarkan aku menyelesaikan semua ini dengan caraku sendiri."

Dolgan menyeruput secangkir kopi di depannya, kemudian berkata, "Jika aku meninggalkan kasus ini, itu tentu saja melanggar kesepakatanku dengan Ayah Haris."

"Kesepakatan? Apa yang Guru Dolgan katakan?" Haris mulai membuka suara ketika Ayahnya di seret ke dalam masalah ini.

"Salah satu kesepakatan kami adalah tidak memberitahumu. Jadi, maafkan aku." Dolgan tersenyum sekilas ke arah Haris.

"Lalu, bagaimana Guru bisa tau kalau korban kali ini adalah teman Ayah Haris?" tanya Danil.

Dolgan menghembuskan napas panjang. "Aku akan mengatakan semuanya, tapi tidak di sini. Ada seseorang yang mengikuti kita dari tadi. Kau juga boleh ikut Andini, itupun kalau kau mau."

Bagaimana Andini? Akankah kau masuk ke dalam jebakanku ini? Begitulah pikir Dolgan.

Jika Andini menolak, persen bahwa dia tersangkanya adalah 50%, sebab jika Andini menolak, dia pasti bisa merencanakan sesuatu sekali Dolgan menjelaskan semuanya.

Jika Andini menerimanya, persen dia tersangkanya juga 50%. Dia akan mengetahui semua informasinya nanti. Dia tinggal mengganti langkahnya yang tertebak dan bisa merencanakan rencana baru di hari esok.

Tentukan pilihanmu, Andini.

"Aku akan menyusul setelah berganti pakaian." Andini membuka suara setelah cukup lama berdiam diri.

Begitu.

Dia cukup berbahaya ternyata. Di antara kedua pilihan tersebut, dia masih bisa mencari celah untuk mengisi keduanya. Jika begitu, persentasenya adalah 100%. Tinggal membongkar trik kotor dan liciknya.

Dolgan tersenyum kecil. "Baiklah, aku tunggu sekitar 10 menit di cafe terdekat."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro