22
Di kamar, Danil sudah duduk di depan laptopnya sekarang, dia tengah menonton hasil rekaman CCTV yang di ambilnya semalam. Danil mempercepat videonya sampai sepuluh kali, lagi pula, hanya dia yang beberapa kali mondar-mandir di dapur dari kemarin, itupun di pagi hari saja.
Sampai rekaman selesai, tak ada hal ganjil atau aneh yang terjadi. Semuanya nampak normal dan tidak ada kejadian yang janggal. Apa Danil terlalu cepat memutar videonya? Atau memang ada yang janggal?
Seseorang mengetuk pintu kamar Danil, ternyata itu adalah Adit yang membawakan secangkir kopi. Danil memandang Adit sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya.
"Bagaimana, Guru?" tanya Adit sembari meletakkan kopi itu dekat Danil.
"Terima kasih. Sayang sekali, tak ada hasil."
Adit mendekati layar laptop, ikut memperhatikan. Adit tak sengaja melihat bayangan di sisi kiri layar, karena video berputar dengan cepat, bayangan itu pun langsung hilang.
"Guru melihat bayangan tadi?" tanya Adit.
"Bayangan apa?" Danil tak mengerti.
"Tadi, di sini." Adit menunjuk tempat bayangan tadi. "Coba Guru mundurkan videonya."
Danil mengikuti saran Adit, dia juga penasaran bayangan apa yang di maksud Adit barusan. Dia memundurkan video itu, dan tak lama Adit menyuruhnya menghentikan videonya.
Dengan cepat, Danil menekan tombol spasi. Dan benar saja, ada bayangan di tempat Adit menunjuk tadi. Danil memperbesar layar ke sana dan bayangan itu adalah bayangan manusia, sedikit kurus dan berambut panjang.
"Mungkinkah itu Kak Sela?" tanya
"Kau ini, selalu saja mengaitkan semuanya dengan Sela. Kau benar-benar berpikir seperti itu?"
"Yah, soalnya Guru hanya dekat Kak Sela doang," balas Adit dengan nada menggoda. "Ya sudahlah, Guru, aku pulang dahulu. Terima kasih untuk penginapannya semalam. Kasur itu benar-benar empuk."
Adit keluar ruangan, lalu segera pulang. Kamar yang ditempati Adit adalah kamar Adel, biasanya Danil selalu membersihkan kamarnya. Meskipun, kamar itu tidak di huni siapapun.
Danil teringat dengan kenangan yang terjadi di kamar itu, tawa dan canda Adel terngiang-ngiang di telinga Danil sekarang. Suara tawa yang Danil rindukan. Hanya Adel keluarga terakhir Danil, namun, hal itu sudah direnggut oleh pembunuh itu. Danil bertekad akan menemukannya secepat mungkin.
***
Pagi ini, Haris sedang menyamar dan mengikuti ayahnya dari belakang. Yusuf nampak bergegas cepat menuju sebuah cafe, Haris masuk juga dan pura-pura memesan kopi. Dia sesekali memperhatikan ayahnya yang seperti menunggu seseorang.
Tak butuh waktu lama, seorang wanita tiba-tiba muncul dan duduk di hadapan Yusuf. Dia memandang Yusuf sinis, terlihat juga Yusuf seperti mengkhawatirkan sesuatu. Suara Yusuf sedikit kecil sehingga membuat Haris tak tau apa yang mereka bicarakan. Wanita itu memberikan sebuah amplop pada Yusuf dan segera pergi meninggalkan cafe tersebut.
Yusuf menyimpan amplop itu dan segera meninggalkan cafe juga. Baru saja Haris ingin berangkat, tiba-tiba pelayan memanggilnya.
"Tuan? Kopi Anda sudah siap," kata pelayan tersebut.
"Iya, akan ku--"
Saat Haris menoleh, ayahnya sudah hilang entah kemana. Haris berdecak kesal. Cepat sekali ayahnya hilang. Apa yang sebenarnya Ayah lakukan?
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan itu.
"Bukan apa-apa. Letakkan saja kopinya di sini, aku mau ke toilet dulu sebentar."
Yusuf di tarik paksa oleh wanita tadi. Tenyata, dia pura-pura pergi dari sana dan menyeret Yusuf ke tempat yang sepi.
"Kenapa kau menyeretku ke sini?"
"Ada yang ngikutin lo, Om. Dari tadi, orang itu terus menerus ngeliat kita pas di cafe tadi."
"Ha? Orang ngikutin, Om? Om gak ngerasa di ikutin."
Wanita itu menghela napas. "Terserah Om, deh. Yang pasti, surat amplop itu wajib sampe ke tujuan."
"Tentu saja. Surat ini tak kalah penting bagiku. Kau tenang saja," kata Yusuf meyakinkan wanita itu.
***
Danil masih memperhatikan rekaman itu. Sudah dua jam berlalu, tapi dia tak menemukan bayangan lain di rekaman itu. Dia menurunkan speed videonya, tetapi hasilnya tetap nihil. Di tengah fokusnya Danil, tiba-tiba teleponnya berdering.
Dengan cepat, Danil menjawabnya tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Halo?"
"Unch, Detektifku. Kau masih hidup ya. Sebenarnya, aku ingin kau hidup lebih lama sih. Biar aku dapat mengikatmu sambil menyiksamu seperti Adik kecilku itu."
"Kau lagi? Si Teror?"
"Hm, nama julukanku jelek sekali, Detektif. Tak bisakah kau memberikan nama yang lebih baik lagi? Si Teror? Itu benar-benar tak cocok sama sekali denganku."
"Kau tunggu saja, aku akan menangkapmu dan akan memastikan kau akan membayar semua yang kau perbuat selama ini!"
"Uhhh, aku suka ini. Kau kembali memakai cara lamamu. Ayolah, lakukan menyelidikanmu dengan cara yang sama seperti dulu. Mencurigai siapapun, memarahi siapapun, dan menuduh orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Itu adalah masa-masa paling menggairahkan bagiku."
"Ternyata benar, kau adalah seorang wanita!"
"Sebagai seorang pembunuh, itu tidaklah penting. Ngomong-ngomong, selamat atas keberhasilanmu mengenai mayat di warnet itu. Sepertinya, narkoba di langit-langit itu jatuh karena angin."
"Mustahil! Jika narkoba itu memang di langit-langit, seharusnya dia tak berada di selipan."
Si Teror tersenyum. "Baguslah jika kau menyadarinya. Tapi, untuk game satu ini cukup berhenti di sini saja, next."
"Apa maksud next-mu barusan?" tanya Danil mulai tak tenang.
"Tentu saja ke permainan selanjutnya, Detektif. 10 menit setelah ini, kau akan menerima telepon dari seorang perwira yang menyuruhmu untuk membereskan kasus pembunuhan. Kekasihnya terbunuh dan si wanita masih hidup. Good luck, My detective."
Telepon pun berakhir.
Danil terlihat kesal, lagi-lagi dia dipaksa untuk bermain dalam permainan Si Teror. Jika itu terjadi 10 menit lagi, berarti, ada enam lokasi yang memungkinkan terjadinya pembunuhan itu.
Semua itu berpusat ke kantor polisi yang di tempati Sela. Ke barat, ada sebuah cafe. Ke timur, ada rumah makan. Ke Utara, ada sebuah mall, dan ke selatan, taman bermain.
Dari semua itu, kira-kira di mana pembunuhan itu akan berlangsung? Kemungkinan di taman sangatlah kecil, karena ramai orang . Lalu di rumah makan, ini bisa saja terjadi, si pelaku mengambil pisau dapur dan melaksanakan pembunuhan. Di mall, banyaknya petugas keamanan, mungkin juga bukan. Lalu di cafe? Tempat ini cukup bagus jika di melakukan pembunuhan. Baiklah, Danil harus segera berangkat sebelum kejadian itu terjadi.
Danil memakan waktu cukup lama untuk pergi ke sana, tapi untunglah masih ada tiga menit lagi. Danil segera masuk ke dalam cafe tersebut dan terlihat Haris yang tengah duduk seorang diri di sana.
"Guru?" panggil Haris. Dia melambaikan tangannya.
Danil yang melihat Haris pun segera menuju ke arahnya. "Haris? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Guru sendiri? Aku baru saja mau berangkat ke tempat Guru. Karena sebentar lagi jam masuk kerja."
"Kau bisa bekerja sekarang. Aku sedang membutuhkan asisten."
"Tentu saja, Guru. Katakan, ada apa?" Haris sudah siap.
"Si Teror menghubungiku. Dia bilang, akan ada pembunuhan sepuluh menit setelahnya dan ini sudah tujuh, tidak, ini sudah delapan menit. Kita harus segera menemukannya."
"Baik, Guru. Jadi apa yang harus kita lakukan?"
"Berpencar, aku akan mencari di luar sekitar cafe, dan kau cari di toilet dan dapur. Bisa saja pembunuhannya terjadi di sana."
"Baik!"
Keduanya berpencar sesuai rencana. Danil memeriksa sekitaran cafe, di sela-sela belakang cafe, tapi tak menemukan apapun selain kotak sampah yang menumpuk. Begitu juga dengan Haris, dia memeriksa toilet, tapi tak ada orang baik di toilet pria maupun wanita. Toilet itu benar-benar kosong.
Haris bergegas ke dapur, memperhatikan jikalau ada orang lain selain koki yang memasak, tetapi hal itu juga percuma. Seseorang berteriak tak jauh dari sana. Dia terus menyebut nama orang itu beberapa kali.
"Andini!" teriaknya. "Andini, di mana sih lo?"
Haris menghampirinya, siapa tau dia dapat informasi.
"Kenapa, Kak?" tanya Haris.
"Eh, pelanggan, ngapain di dapur?" Dia malah nanya balik.
"Baru balik dari toilet. Kalau boleh tau, Andini ini kenapa, Kak?"
"Andini, dia harus segera menghantarkan pesanan ini ke meja pelanggan. Tapi, aku panggil dari tadi si Andini-nya gak nyaut-nyaut. Padahal, baru hari pertama kerja juga. Mana cuma dia lagi pelayannya hari ini."
"Oh, begitu. Aku bantu boleh, Kak?"
"Serius kamu?"
"Ya, sekalian aku kembali ke kursiku."
"Ya udah, makasih ya sebelumnya." Dia memberikan dua cangkir kopi ke Haris. "Dua kopi ini hantarkan ke meja nomor sembilan."
"Siap, Kak."
Haris segera meletakkan kopi itu di meja nomor sembilan, tetapi anehnya tak ada orang yang duduk di meja itu. Mungkin pegawai tadi salah memberi nomor, dia juga terlihat kewalahan.
Danil masuk cafe kembali. Saat melihat Danil, Haris segera mendatanginya.
"Bagaimana, Guru?"
"Tidak ada apa-apa selain sampah! Bagaimana denganmu?"
"Sama. Aku hanya menemukan seorang pelayan yang hilang entah kemana. Padahal, ini hari pertamanya bekerja."
"Dia membolos mungkin." Danil menjawab singkat.
"Mungkin Guru benar."
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan perempuan dari arah parkir. Mendengar hal itu, mereka langsung bergegas ke sana tanpa pikir panjang.
Setibanya mereka di sana, terlihat darah di salah satu mobil yang parkir di sana. Mereka mendatanginya dan mengetuk kaca mobil.
Kaca mobil itu perlahan terbuka dan terdapat pria yang tak sadarkan diri dengan banyak darah di sekitarnya. Di sampingnya, ada perempuan pelayan tadi yang penuh dengan lebam di sekitar tubuhnya. Wajahnya sangat ketakutan dan badannya gemetaran.
"Bisa kau jelaskan semua ini?" tanya Danil khawatir. Sepertinya inilah kasus yang dimaksud Si Teror itu sepuluh menit yang lalu.
"Maafkan aku, maafkan aku." Hanya itu yang keluar dari mulut pelayan itu.
"Kak Andini, 'kan?"
Dia mengangguk cepat.
"Dari mana kau tau namanya Andini?" tanya Danil heran.
"Saat aku mencari di dalam cafe, ada Pelayan lain yang mencari orang namanya Andini, kakak itu bilang, hanya Andini seorang yang bertugas hari ini. Selain itu, Kak Andini juga yang mengantarkan kopiku sebelumnya. Jadi, bisa kusimpulkan kalau dia lah Kak Dini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro