2
Pagi-pagi Adit dan Haris sudah ada di depan warnet untuk membayar hutang Haris kemarin, kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Danil. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di sana. Mereka menemukan alamat tersebut hanya bermodalkan Google Maps. Rumah lumayan besar serba putih itu hanya dihiasi beberapa bunga saja. Sebelumnya, mereka sudah membunyikan bel satu kali, tetapi tak ada jawaban.
"Coba sekali lagi," usul Haris.
Mendengar hal itu, Adit menekan tombolnya kembali.
Satu menit, lima menit, tak ada juga jawaban. Begitu Adit mau menekan bel lagi, barulah pintu terbuka dan nampak Danil di sela pintu, dia hanya menggunakan handuk saja. Tubuhnya yang sexy, membuat wanita mana saja yang memandangnya akan langsung jatuh hati padanya.
"Apa?" Danil membuka pintu sepenuhnya, dia menggaruk-garuk rambutnya yang sedikit basah dan berair.
"Maaf sebelumnya, apa ini benar rumah Detektif Danil?" tanya Adit ragu. Pasalnya, dia sudah beberapa kali menanyakan hal yang sama, tetapi dia malah salah alamat.
"Benar. Ada apa?"
"Begini." Haris menyambar. "Kami ingin menjadi muridmu, Detektif!"
"Ho, benarkah demikian? Apa kalian membawa persyaratan?" tanya Danil datar.
"Persyaratan? Tapi, di brosur...." Haris mengecek kembali brosur dan benar saja. Tak ada persyaratan di sana. "Di sini tak ada persyaratan."
"Tentu saja. Hanya aku yang menentukan persyaratannya." Danil baru menanggapi mereka dengan nada serius.
"Lalu, apa saja persyaratannya?" tanya Adit menyela.
"Sebelum mengetahuinya, aku ingin tahu, apa alasan kalian ingin jadi muridku?" tanya Danil.
"Jujur saja, aku butuh gajinya, dan aku akan menjalankan tugas sebesar apapun itu." Adit mengatakannya dengan sejujur-jujurnya.
Danil tak merespon tekad dari Adit dan malah beralih ke Haris. "Kalau kau? Haruskah kusuruh dahulu baru mau menjawab?"
"Ah." Haris sedikit gelagapan, dia tak mempunyai tujuan apapun di sini. Hanya sekedar mengikuti jejak Adit, dan untuk menghindari kuliah. "Kalau aku, untuk mencari pengalaman sebuah kasus untuk modal kuliah bidang detektif nanti."
"Hm." Danil mengelus-elus pelan dagunya. "Terdengar aneh, tapi baiklah, kuterima alasanmu."
"Kenapa hanya Haris? Bagaimana denganku?" Adit menyela dengan cepat.
"Alasanmu barusan terlalu realita. Percayalah, rata-rata seorang bos itu menyukai orang yang munafik. Contohnya Haris, alasanmu barusan itu hanya sebuah omongan belaka. Kau ke sini bukan untuk mencari modal kuliah detektif, 'kan? Kau ke sini hanya sekedar datang dan melamar. Tak ada alasan khusus kau di sini, 'kan?"
"Benar-benar hebat!" Haris memuji Danil dalam hati.
"Oy! Jawab."
"Ah, iya. Benar sekali, paman!" Haris menyahut.
Bagai terkena petir, Danil memegang jantungnya dan perlahan terduduk. Bagaimana mungkin seorang yang berusia 25 tahun di panggil 'Paman'? Danil lebih senang jika dia dipanggil Kakak, Abang, atau sejenisnya.
"Kenapa, paman? Ada yang salah?" Mereka menanyainya hampir bersamaan. Mereka sedikit terkejut dengan reaksi dari Danil.
"Bi-Bisakah kalian berhenti memanggilku Paman? Aku ini masih muda. Kurang pantas rasanya dipanggil Paman," usul Danil. Dia benar-benar berharap mereka mau menuruti perintahnya barusan.
"Tentu saja tidak bisa, Paman. Wajah om-om cabul, badan yang sexy, paman ini seharusnya dipanggil Om hidung belang, menurutku."
Haris memegang pundak Adit pelan. "A-Adit, aku tau kamu orang yang jujur, ta-tapi, gak gitu juga." Haris berusaha sehalus mungkin memberitahu Adit.
"Apa yang lo katakan, Haris? Memang benar kok dia itu om-om—"
"Hentikan!" Tangan Danil menutup mulut Adit dengan cepat. "Sekali lagi kau memanggilku dengan sebutan Om-Om, akan kuusir kalian berdua."
"Mmmfff." Adit berusaha melepaskan cengkraman tangan Danil dari mulutnya. Akhirnya, Adit berhasil melepaskan tangan Danil. "Maaf. Tak akan aku ulangi lagi."
"Bagus!" Danil menghembuskan napas lega. "Ayo masuk," ajaknya.
Mereka saling pandang, memberi kode 'Iya' kemudian memasuki rumah Danil.
Danil mempersilahkan mereka duduk di kursi tamu. Sementara Danil menyiapkan sesuatu di ruangan lain.
Bukan luarnya saja putih, tetapi dalamnya pun sama. Lemari yang dipenuhi oleh piagam penghargaan dan bermacam-macam piala. Mejanya hanya di hiasi oleh satu bunga mawar mainan. Sederhana namun enak dipandang, begitulah peribahasa yang cocok untuk menggambarkan suasana rumah Danil.
Saat Danil kembali, dia sudah mengenakan pakaian. Dia memberikan sebuah kertas dan pena untuk mereka. Danil duduk di depan mereka berdua.
"Baiklah, aku akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada kalian, dan kalian harus menjawabnya dalam waktu lima menit."
Mereka mengangguk bersamaan.
"Bagus. Pertanyaan pertama, apa yang harus kita lakukan jika kita mendapatkan kasus kehilangan benda? Nah, silahkan tulis jawaban kalian."
Mereka segera menulis di kertas masing-masing.
Lima menit pun berlalu.
"Baiklah, pertanyaan kedua," kata Danil secara tiba-tiba.
"Nanti dulu." Adit menyambar dengan cepat. "Aku belum selesai dengan pertanyaan pertama."
"Eh? Dulu aku bahkan menjawabnya dengan satu menit. Apa yang kau---" Danil terdiam seribu bahasa, dia tak melanjutkan lagi kata-katanya begitu melihat kertas jawaban dari Adit.
"Apa?" tanya Adit penasaran. Dia menatap tajam ke arah Danil yang sedang membuang muka. "Hhmmm."
Danil beralih ke Haris, meskipun tulisannya sedikit miring, tidak, itu sangat miring malah, setidaknya dia tau poin-poin penting yang harus dilakukan, meski ada sesuatu yang kurang.
"Selesai! Letakkan pena kalian," perintah Danil.
Dengan cepat mereka melepas pena di tangan.
"Pertanyaan kedua, sebutkan visi dan misi kalian. Masing-masing memiliki dua poin, tidak boleh lebih."
Keduanya kembali menulis. Kali ini tidak ada batasan waktu, sudah sepuluh menit berlalu, tapi mereka belum selesai juga menulis. Danil masih menunggu tinta hitam itu berhenti menari di atas kertas.
Haris sudah berhenti. Namun, Adit masih saja menulis dan terus menulis. Lembaran kertas itu sudah 75% terisi oleh tinta pena, tetapi Adit tak berhenti juga. Dua menit kemudian, kertas yang Adit tulis hampir penuh. Adit terdiam sebentar, kemudian mendongak ke Danil.
"Bisakah aku menulis di belakang kertas?" tanyanya polos. Danil dan Haris sedikit kaget mendengarnya.
"Tidak-tidak. Segera hentikan tulisanmu itu." Danil menolaknya mentah-mentah.
"Eh? Padahal ini sebentar lagi selesai." Adit mengeluh.
"Sudah, segera kumpulkan kertas itu kepadaku. Ingin membacanya."
Dengan cepat, keduanya memberikan kertas itu ke Danil. Setelah menerimanya, Danil langsung membaca punya Haris, meskipun Adit sudah meletakkan kertasnya di atas.
"Eh! Curang." Adit protes, tetapi Danil tak menggubrisnya.
Danil sibuk membaca tulisan pertama dari Haris, di kertas, Haris menjelaskan bahwa, hal pertama yang harus dilakukan ketika ada kasus kehilangan adalah mengumpulkan para saksi dan menanyai mereka satu per satu.
Jawaban yang setengah benar. Danil cukup puas dengan jawaban dari Haris. Danil sebenarnya tak mau memeriksa jawaban dari Adit, dia sudah mengintip sedikit tadi dan jawabannya benar-benar ....
Namun, Danil tetap memeriksanya juga. Dia tak ingin bocah ini akan menganggapnya pilih kasih. Begitu lembar berputar dan Danil sedang membaca jawaban punyanya, Adit terlihat senang dan yakin akan jawabannya tersebut.
Punya Adit hanya setengah yang dibaca. Danil tak sanggup lagi membacanya.
"Baiklah. Aku telah membaca jawaban dari kalian...."
"Boong! Punya gue pasti gak dibaca. Padahal, gue dah serius jawabnya," pikir Adit di dalam hati.
"... Kalian berdua aku terima. Tapi, dalam status sementara."
"Jadi, apa yang harus kami lakukan agar tidak sementara lagi?" tanya Adit menyela begitu saja.
"Anak ini, sabar dahulu. Dengarkan aku sepenuhnya. Status sementara kalian akan dicabut jika sudah menyelesaikan tugas pertama kalian."
Keduanya mengangguk paham. Mereka hanya sekedar paham, tetapi tak tahu harus apa setelahnya. Mereka berharap Danil segera melanjutkan omongannya.
"Hal yang harus kalian lakukan selanjutnya adalah menunggu kasus itu sendiri datang."
"Eh?" Mereka tak mengira akan seperti ini selanjutnya. Menunggu? Keduanya mengira akan banyak kasus menumpuk yang akan segera mereka hadapi.
"Yah ... padahal aku ingin segera memecahkan kasus sekarang juga." Adit mengeluh.
"Tidak bisa. Kasus yang diajukan sekarang bersifat tingkat narapidana. Kasus seperti itu belum bisa kalian tangani. Sabarlah menunggu. Untuk sekarang, kalian bisa pulang dan bilang ke orang tua kalian. Oh iya, jangan lupa minta tanda tangan orang tua kalian ya, untuk bukti orang tua kalian memberi ijin."
"Siap, Guru." Mereka mengatakannya hampir bersamaan. Setelah itu, mereka pulang ke rumah masing-masing
***
Besoknya, Adit datang terlalu pagi, jam enam tepat. Dia datang sendiri saking semangatnya. Karena, orang tuanya sangat mendukungnya tadi malam. Begitu mendengar gaji, bapak Adit langsung setuju begitu saja.
"Yosh! Saking semangatnya, aku sampai lupa menemui Haris. Tapi tak apa, paling sebentar lagi dia akan sampai." Begitulah yang dipikirkan Adit sekarang.
Dua jam kemudian, Haris tak kunjung datang juga. Adit sudah mulai bosan menunggu di depan rumah Danil.
"Nih Haris kemana dah, ditunggu kok gak datang-datang?" gumam Adit kesal.
Begitu Adit bangun, Haris langsung muncul.
"Nah, lo dari mana aja sih?" tanya Adit langsung.
Haris berjalan ke arah Adit dan menatapnya sambil tersenyum. "Gak papa, tadi macet aja. Gimana? Orang tuamu setuju?"
"Tentu saja. Begitu mereka mendengar gajinya, Ayah langsung saja setuju tanpa pikir panjang." Adit berbangga diri.
"Baguslah."
"Ris, bagaimana kalau kita tekan bel-nya sekarang? Aku udah bosan nungguin lo dari tadi," saran Adit.
"Emang udah berapa lama lo udah datang ke sini?" tanya Haris penasaran.
"Sejak jam enam tadi. Sorry ya, saking senangnya, sampai lupa ajak lo." Adit merapatkan tangannya meminta maaf.
"Gak papa kok, itu wajar. Soalnya lo membutuhkannya, kan? Lalu, bagaimana? Lo mau lanjut kuliah?" tanya Haris lagi.
"Kalau lancar seperti ini, gue pasti sanggup buat kuliah."
"Baiklah, kalau gitu, gue pencet bel-nya sekarang." Setelah mengatakan itu, Haris langsung memencet tombol bel-nya.
Tak lama berselang, pintu terbuka, dan terlihat Danil yang memakai jaket detektifnya. Jaket berwarna coklat itu dilengkapi dengan berbagai macam lencana di bagian dadanya. Danil hari ini memakai topi panjang khasnya, dan tak ketinggalan juga kacamata hitamnya—sebenarnya itu hanya untuk menyamar saja. Pakaiannya sedikit kusam, tetapi masih bagus untuk dipandang.
"Mari masuk," perintah Danil.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro