Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19

"Oh, pengacara Yusuf sudah datang." Entah sejak kapan Dolgan ada di belakang Danil. Dia tersenyum menyambut kehadiran Yusuf.

Yusuf mengabaikan sapaan Dolgan dan malah bertanya, "Detektif Dolgan, apa yang mereka lakukan di rumahmu?"

"Akan kuberitahu jika kalian semua masuk."

"Guru--"

"Sudah, aku memang mempunyai janji dengannya. Kalian mau menyimak? Sudah lama rumah ini tak kedatangan tamu," ajak Dolgan datar.

Danil menatap kedua muridnya, Adit mengangguk dengan cepat, sedangkan Haris tetap menatap Ayahnya tajam.

"Baiklah, Guru."

Mereka semua masuk ke dalam rumah Dolgan. Yusuf duduk di bangku kayu—kursi ini khusus untuk para Klien Dolgan, sedangkan Danil dan yang lainnya duduk di sofa panjang.

"Ceritakan."

"Ah." Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Dolgan mempersilahkan Yusuf untuk bicara.

"Begini, aku ingin kau menyelidiki kasus mayat yang ditemukan dalam warnet. Mayat itu sudah meninggal tiga hari yang lalu, kemudian--"

"Membosankan." Dolgan memotong.

Yusuf terkaget. Bagaimana Detektif ini bisa bilang bosan, sedangkan dia baru mendengar beberapa kata dari mulutnya.

"Tapi, Detektif, kau baru sedikit mendengarkan."

"Sudah kubilang, membosankan. Kau bisa cari Detektif lain untuk kasus itu."

Yusuf terdiam. Bisa-bisanya dia mengunjungi detektif aneh seperti ini. Perasaan kesal mulai menyelimuti Yusuf. Dia segera berdiri dan berniat untuk segera pergi dari sana.

"Mau kemana?" tanya Dolgan.

"Kau bilang cari detektif lain, karena kau tak sanggup mengambil kasus ini. Maka dari itu, aku akan segera pergi." Yusuf merapikan jasnya.

"Kau tak ingin konsultasi kasus lain denganku? Bukannya ada tiga kasus yang berbeda dalam kopermu itu?"

"Ap-Apa!" Sontak saja Yusuf tak percaya. Bagaimana detektif ini tau soal tiga kasus yang di simpan di kopernya?

"Klien perempuan, bekerja di apotik, mungkin, bekas bibirnya masih melekat di lehermu. Kau tak ingin mengkonsultasikannya?"

"Bagaimana kau tau?" tanya Yusuf semakin terheran.

"Oh, haruskah aku menjelaskan juga kepadamu?" Nampak Dolgan yang sama sekali tidak berniat untuk memberitahu hal yang melelahkan seperti itu.

"Jika kau memberitahuku, mungkin aku akan mengkonsultasikan masalahnya padamu."

Dolgan menarik satu tarikan napas lalu berkata, "Tangan yang baru saja mencoba parfum baru, mungkin kau bertemu dengannya di sebuah tokoh parfum, di samping kanan lehermu, sangat jelas kalau itu adalah bekas bibir dari perempuan klienmu itu. Jangan tanya alasannya, karena akan sangat panjang. Pada intinya, aku hanya memerlukan kasus yang menarik, seperti kasus-kasus yang di tangani oleh Sherlock Holmes."

"Sherlock Holmes?" Yusuf membeo. Dia bahkan tak mengetahui seorang Sherlock Holmes.

"Katakan, apa yang klienmu itu keluhkan sampai-sampai mencium lehermu seperti itu?"

"Mencium?" Haris memotong. "Apa yang Ayah lakukan? Ayah masih berselingkuh berkedok klien?"

Yusuf menghadap Haris. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Haris. Sudah berapa kali Ayah katakan, ini hanya salah paham."

"Sudah sangat jelas, kalau--"

Adit dengan segera menahan Haris yang berniat berdiri, Adit tak ingin Haris termakan emosinya.

Haris melihat Adit yang menghadangnya.

"Dit."

Adit menggeleng. Dia berharap semoga Haris mengerti maksud dari gelengan kepala Adit barusan. Untunglah Haris mengerti dan tenang kembali.

"Ho, ternyata dia adalah ayahmu," kata Dolgan, "menarik juga. Sekarang, aku lebih tertarik masalah pribadi kalian ini ketimbang klienmu tadi."

"Guru, jangan mulai lagi." Danil mencegah. Kumat Dolgan muncul lagi. Dia memang suka ikut campur dalam urusan pribadi orang.

"Ayolah, Danil. Sudah setahun lebih aku tak bersemangat seperti ini."

"Hentikan, Guru."

"Apa-apaan kalian ini? Kalian tidak mencerminkan seorang Detektif sama sekali. Terlebih kau Haris, kenapa kau bersama mereka ini? Atau kau ikut-ikutan temanmu yang bernama Adit itu?"

"Untuk apa Ayah tau kepentinganku? Hari ini Ayah nampak berbeda."

"Kau bernada seperti itu kepadaku? Dasar anak tak tau di untung."

"Dasar--?!"

"Haris," panggil Adit, "jangan bersikap seperti itu kepada Ayahmu."

"Mereka anak muridku." Danil memotong, sontak saja Yusuf terkejut mendengar hal itu.

"Anak muridmu?" Yusuf membeo. "Kau bercanda? Haris sendiri bahkan tak pernah bilang ke aku jika dia menjadi anak didik detektif swasta."

"Sama seperti aku yang tak akan mengurusi apapun urusan ayah di luar, kuharap ayah juga seperti itu," kata Haris.

"Apa?! Bagaimana mungkin seorang ayah tidak mengurusi anaknya?" Yusuf membalas.

"Sudah, pengacara Yusuf. Perdebatan kalian ini hanya akan membuang energi kalian saja. Lebih baik kau putuskan, ingin mengkonsultasikan kasus klienmu tadi atau tidak?"

"Bukannya tadi kau bilang kasus itu membosankan?"

"Benar sekali, pengacara Yusuf. Tapi, karena kasus tadi, aku jadi ingin mengetahui sesuatu. Maka dari itu, aku berniat untuk mendengar detail kasusnya kembali."

"Kau yakin?" tanya Yusuf sedikit menyipitkan matanya.

Dolgan memajukan tubuhnya serius. "Ya."

"Tapi, aku tidak ingin kasus ini didengar oleh orang lain." Mata Yusuf mengarah ke Danil.

"Jangan seperti itu, pengacara Yusuf, aku menjamin mereka tak akan membocorkannya kepada orang lain." Dolgan meyakinkan Yusuf.

"Tetap saja tidak bisa. Kasus ini--"

"Kami permisi dulu, Guru. Ayo, Haris, Adit." Danil berjalan menuju pintu keluar.

Adit mengekori Danil, sedangkan Haris memandang ayahnya dengan wajah kesinisan sebentar, lalu menyusul Danil.

***

Sudah jam satu siang, sekarang waktunya Adit dan Haris belajar “Menganalisis para tersangka.” Terlihat Adit yang malas-malasan membaca fotocopy kasus di depannya, dia sesekali menguap kantuk.

Sedangkan Haris, tubuh mematung dan pikirannya entah kemana. Dia melamun, sudah sepuluh menit halamannya tak dibalik juga. Haris sedang memikirkan ciuman di leher ayahnya tadi. Pikirannya tak bisa melupakan kata-kata Dolgan.

Di lain ruangan, Danil terlihat sedang mencari sesuatu di deretan buku perpustakaannya. Danil berniat untuk mencari kasus lama yang sama persis seperti kasus mayat di warnet itu. Namun, kasus seperti itu cukup langkah.

"Kalau tak salah, kasus itu terjadi pada bulan November tahun 2005. Mana kira-kira bukunya? Buku pembunuhan ...."

Danil menyadari sesuatu. Dia baru ingat dengan beberapa hal yang ada di buku yang sedang ia cari ini. Ini saatnya untuk menggunakan istana pikiran itu lagi. Dengan cepat, Danil memejamkan matanya dan segera masuk ke dalam pikirannya.

"Rak buku nomor tiga, baris keempat dan di dekat buku “Mencari Jasa Kehormatan.”"

Danil membuka matanya lagi, dia segera menuju ke rak yang dia sebutkan tadi. Begitu dia sampai di sana, buku itu hilang dan tempatnya kosong. Danil terheran. Tidak mungkin istana pikirannya eror seperti ini.

"Berkas disebelahnya adalah...." Danil mengambil sebuah buku di sebelahnya dan ternyata benar, buku itu sama dengan isi istana pikiran Danil. Namun, kenapa buku yang Dani cari tak ada di tempatnya?

"Aneh." Danil heran sendiri.

Handphone Danil berbunyi. Sebuah pesan baru saja masuk. Dengan cepat, Danil melihat isi pesan itu.

Danil, hasil otopsi sudah keluar.
Cepatlah datang, sebelum Bagas dan Putri kembali.

S

Setelah membaca pesan itu, Danil segera beranjak pergi menuju kantor polisi tempat Sela berada. Untunglah ada taksi yang sedang lewat begitu Danil keluar rumah, Danil mengangkat tinggi tangannya dan taksi itu segera berhenti di depannya.

***

Sudah dua jam, ternyata Adit sudah tertidur di meja dengan buku dibawahnya. Matanya perlahan terbuka dan bangun. Dia mengedipkan matanya beberapa kali sebelum melihat ke arah Haris yang masih dalam posisi yang sama dua jam lalu.

"Haris," panggil Adit, dia berniat menyadarkan Haris.

Haris langsung tersadar dan segera menatap Adit. "Iya, kenapa?"

"Kenapa lo melamun tadi?" tanya Adit.

"Bukan apa-apa." Haris berbohong. Padahal, dia tadi terus saja berpikir keras tentang ciuman di leher ayahnya.

"Oh, ya sudah. Gue mau masak, laper. Lo mau?" tanya Adit sambil menguap.

Haris segera bangun dan berkata, "Gue aja yang masak. Kalau lo yang masak, bisa-bisa lo tambahin gula lagi."

"Dih, apaan sih, Ris. Ngungkit-ngungkit masa lalu kek gitu. Yang berlalu biarlah berlalu lah."

Haris tak menggubris perkataan Adit dan segera menuju ke arah dapur. Adit kembali ke posisi tiduran. Sepertinya tidurnya kurang. Kali ini, Adit hanya tiduran saja. Matanya masih memandang lurus ke arah jendela yang tirainya tertiup angin.

Sudah lima menit, tapi Haris tak kunjung kembali juga. Akhirnya, dengan perlahan Adit bangun dan berdiri di depan jendela berangin tersebut.

Pemandangan kota yang suram. Kabut asap dimana-mana, belum lagi suara klakson antara mobil dan motor. Untunglah, angin siang ini begitu dingin.

Tiba-tiba tercium bau yang tak asing dari dapur. Bau yang sangat menyengat hidung Adit. Dia segera menghadap ke arah dapur dan benar saja, aromanya semakin menguat saat dia menghadap ke sana.

Tanpa pikir panjang, langsung saja Adit berlari ke sana. Begitu masuk ke ruangan itu, terlihat Haris yang sedang memasak beberapa bungkus mie instan.

"Adit?"

"Aromanya enak banget. Lo tambahin apaan?" tanya Adit.

"Gak banyak. Cuma daun bawang, telor doang."

"Eh, cuma nambah itu doang aromanya seenak ini? Pasti rasanya enak."

"Pastinya. Dah, lo duduk aja sana. Bentar lagi gue sajiin," kata Haris.

"Oke." Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Adit berhenti. "Eh, ngomong-ngomong, Guru dari tadi mana ya?"

"Di perpustakaannya mungkin."

"Benar juga. Gue panggilin dulu ya."

"Oke."

Adit segera menuju ke sana.

Baru sedetik Haris meletakkan mangkuk berisi mie itu di meja makan, tiba-tiba saja teleponnya berbunyi dan terpampang nama 'Rumah'. Dengan segera Haris mengangkatnya.

"Tuan." Terdengar suaranya yang sedang panik.

"Ada apa, Bi?" tanya Haris heran.

"Nyonya, Tuan." Suara Bibi semakin panik saja.

"Ibu kenapa, Bi?"

"Nyonya jatuh dari tangga."

"Ha? Jatuh dari tangga? Kok bisa?" Haris jadi ikutan panik.

"Gak tau, Tuan. Sekarang Nyonya gak sadarkan diri."

Begitu mendengar ibunya tak sadarkan diri, Haris segera berlari dari sana. Jantung Haris langsung berdetak kencang dan perasaannya was-was. Dia benar-benar tak ingin terjadi sesuatu dengan ibunya.

"Dit, Guru gak ada di perpustakaan." Adit baru kembali. Dia terkejut melihat tak ada orang di dapur. Hanya ada mangkuk mie yang masih hangat di atas meja. Adit berpikir kalau Haris sedang ke toilet atau semacamnya, jadi, Adit segera duduk dan menyantap mie itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro