Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Wulan, dia adalah korban dari kasus penguntit itu. Dia wanita kantoran biasa. Statusnya saat ini sedang jomblo, dan penampilannya bisa dibilang cukup menarik.

Danil secara tiba-tiba meminta Wulan untuk mengatur pertemuan mereka sore ini di sebuah cafe. Tak lama Wulan menunggu, Danil muncul seorang diri di pintu masuk, sedangkan yang lainnya menunggu di luar sambil menyamar. Mereka masuk saat Danil sudah dekat meja Wulan.

"Selamat sore, Wulan," kata Danil sembari duduk.

"Sore juga, Detektif." Wulan bangun sebentar. "Ada apa, Detektif? Kenapa tiba-tiba ingin bertemu?"

"Ah, bukan masalah serius, Nona Wulan. Aku hanya ingin mengoreksi beberapa hal tentang pelaku saja darimu. Mungkin saja, bisa tambah meyakinkan." Danil mengambil posisi terbaiknya.

Tangannya digenggam rapat di permukaan meja, pandangan lurus menatap Wulan, bahu yang begitu tegap, dan mata Danil mengikuti kemana manik Wulan melihat.

"Ah, begitu." Wulan mengangguk beberapa kali. "Jadi, apa yang ingin kau lakukan sekarang, Detektif?"

Danil tersenyum tipis setelah mendengarnya, kemudian berkata, "Aku punya beberapa pertanyaan untukmu, kuharap, kau menjawabnya dengan jujur."

"Tentu saja, Detektif."

"Menurutmu, kenapa penguntit itu mengikutimu?" tanya Danil, dia mulai melontarkan pertanyaan.

"Entahlah. Menurutku, aku hanya korban acak darinya. Dia tau aku jomblo dan dia mengincar hal itu. Mendekatiku dengan cara menguntit seperti itu."

"Mustahil." Danil membalas dengan cepat. "Seperti yang kita tahu, pelaku tidak pernah terlibat kasus penguntit apapun sebelum ini. Lantas, kenapa dia jadi penguntit hanya gara-gara ingin mendekatimu? Aku telah memeriksa beberapa mantannya, dan semuanya bersaksi kalau pelaku tidak pernah melakukan hal mencurigakan yang mengarah ke ciri-ciri seorang penguntit...."

"Wah, nampaknya Detektif terlalu semangat dalam hal ini. Lagi pula, sifat orang itu bisa saja berubah-ubah detektif. Jika hari ini dia menjadi orang baik, bisa saja dia menjadi jahat besoknya--"

"Jika dia korban, bisa jadi dia menjadi pelaku sekarang." Danil memotong dengan cepat, membuat Wulan langsung menatapnya tajam.

"Apa-apaan maksud Detektif barusan? Kau mencurigaiku?" tanya Wulan kasar.

"Itu adalah sebuah perandaian," jawab Danil, dia tetap tenang meski Wulan sudah mulai emosi.

"Tetap saja. Aku minta apa alasannya, kenapa kau mengatakan perandaian itu di hadapanku?"

"Oh, maaf Nona Wulan, tapi Andalah yang memulai perandaian tadi. Saya tidak bisa menyebutkan alasannya karena saya hanya meneruskan perandaian Nona barusan."

"Benar juga." Wulan berbisik kepada dirinya sendiri.

"Pertanyaan kedua, jika pelaku meninggal, apa yang akan kau lakukan?" tanya Danil cepat. Dia tak memberi Wulan waktu.

"Apalagi? Tentu aku senang. Aku akhirnya bisa bebas dari penguntit itu. Aku sudah muak dengan wajahnya itu." Wulan tersenyum senang, tetapi menurut Danil, senyum Wulan barusan memiliki arti lain.

"Pembohong! Dari senyummu saja sudah menunjukkan ciri-ciri seorang pembohong. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan, Wulan? Apa yang membuatnya tersenyum lagi?"

"Bagaimana Detektif?" tanya Wulan setelah tersenyum. "Masih ada urusan denganku? Aku harus segera pulang sekarang."

"Oh, silahkan. Aku sudah selesai. Kau bisa pulang sekarang." Danil mempersilahkan Wulan untuk pergi.

Wulan mengambil tas di sebelahnya kemudian bangun. "Aku permisi dahulu, Detektif."

"Iya, silakan."

Wulan meninggalkan Danil yang tetap duduk di bangkunya. Begitu Wulan sudah meninggalkan cafe, Danil menoleh dan memberi sebuah kode. Tangannya membentuk tanda 'O' dan diangkat tinggi.

Melihat kode dari Danil dalam cafe, Sela, Adit, dan Haris segera menuju Danil.

"Bagaimana?" tanya Sela begitu sampai di meja Danil. Dia bahkan belum duduk.

"Sebelum itu, silahkan duduk dulu, Sela. Beberapa orang sedang melihat kita sekarang," kata Danil.

Sela melihat sekitarnya dan benar saja, beberapa pasang mata melihat ke mereka. Dengan segera, Sela langsung duduk, diikuti Adit dan Haris secara bergantian.

"Begini, Sela. Dalam pertemuan singkatku dengan Wulan barusan, aku mengetahui bahwa dia adalah wanita yang cukup berbahaya. Kata-katanya bagaikan pedang bermata dua. Bisa menyerang siapa saja yang berhadapan dengannya, begitu juga sebaliknya. Pedang itu bisa saja menjadi senjata makan tuan, asal dipergunakan di saat yang tepat."

"Lalu, siapa yang akan kamu interogasi lagi, Danil? Apa ini benar-benar akan membuahkan hasil?" Nampaknya, Sela belum melihat maksud dan tujuan Danil.

"Suami Wina."

"Apa? Suami Wina? Bukannya dia tak terlibat dalam kasus ini?" tanya Sela lagi tak mengerti.

"Terkadang, orang bersih, tidaklah sebersih yang kita pikirkan, Sela. Pepatah itu sudah sering kamu dengar saat sekolah kepolisian lalu, 'kan?" tanya balik Danil.

"Tapi itu melanggar nilai poin ketiga yang berbunyi, bersikap positif terhadap teman satu pihak dan curiga terhadap tersangka."

"Cih, sudahlah Sela. Aku tak ingin berdebat seperti dulu lagi. Kamu selalu memuja-muja poin itu sedangkan aku berpikir logis dan rasional." Danil bangun dari duduknya kemudian dia segera pergi dari cafe itu.

"Guru, tunggu." Adit segera bangun juga dan menyusul Danil. Begitu juga dengan Haris.

"Guru, memang seperti ini ya, hubungan Guru dengan Sela?" tanya Adit yang sudah berjalan di belakang Danil.

"Hubungan?" Danil membeo. "Dari awal hubungan kami memang seperti ini."

"Hubungan Guru dan Kak Sela terdengar aneh. Kadang sering malu-malu, kadang-kadang serius, kadang-kadang juga bertengkar seperti ini." Haris menjelaskan maksud Adit barusan.

"Kalian baru beberapa kali menemuinya, dari mana kalian dapat kesimpulan aneh seperti itu?"

"Guru sendiri," jawab Haris cepat.

"Aku?" Danil nampak tak percaya. "Tapi aku belum mengajarkan apa-apa pada kalian."

"Mengikuti dan melihat Guru menganalisis sesuatu, sudah memberikan pelajaran yang berharga bagiku. Apalagi, semua analisis Guru itu sesuai dengan buku bacaanku."

"Bacaan lagi?" Adit menyela. Hebat sekali Haris bisa bilang seperti itu pada Danil. Hanya melihat Guru menganalisis saja, Haris langsung paham? Bukannya itu seperti Cheat dalam game?

"Iya."

"La-Lain kali, gue akan meminjam bukumu itu."

"Boleh, kok," kata Haris tersenyum

***

Danil sudah tiba di kediaman Wina. Dia mendapatkan alamat itu dari Perwira Tegar. Tanpa menunggu lama, Danil segera mengetuk pintunya.

"Permisi."

Pintu terbuka tak lama setelahnya. Saat terbuka, muncullah seorang lelaki berumur sekitar tiga puluh tahunan. Pandangannya datar, rambutnya sedikit acak-acakan, baju kaosnya penuh dengan noda, dan juga, kantong matanya yang mulai menghitam.

Sangat jelas kalau lelaki ini sangat berduka atas meninggalnya Wina, sang istri. Semangat hidupnya seakan sudah mati, meski begitu, dia hanya melampiaskannya pada minuman keras saja.

"Dengan Bapak Herman?" tanya Danil tak lama setelah lelaki itu berdiri di tengah pintu.

"Iya. Ada apa?" jawab Herman datar. Dia berpikir kalau Danil dan kawan-kawannya ini adalah seorang penagih hutang yang datang kepadanya beberapa hari lalu.

"Bisa kita masuk saja, Pak? Ini sedikit privasi," tawar Danil.

Tanpa pikir panjang, Herman mempersilahkan mereka masuk. Meskipun nanti di dalam mereka macam-macam, Herman tinggal mengambil linggis yang ia sembunyikan dekat kursinya duduk nanti.

"Terima kasih, Pak Herman."

Danil beserta rombongannya memasuki rumah Pak Herman. Rumahnya sangat kotor dan sangat berantakan. Sampah makanan di mana-mana, lantai rumah yang sedikit kerat karena sudah beberapa hari tidak di pel.

"Silahkan duduk," kata Pak Herman begitu sampai di ruang tamu.

"Oh iya." Danil dan yang lainnya duduk di sofa masing-masing.

"Ada apa kemari?" tanya Pak Herman begitu semuanya sudah duduk.

"Begini, Pak--"

Herman memotong ucapan Dengan cepat, "Sudahlah, jangan pakai basa-basi, ini soal hutang kan?"

"Terima kasih karena Bapak sudah tau maksud tujuan kami. Jadi, kapan kira-kira Bapak Herman akan membayar hutang-hutang itu? Bos kami sudah tak bisa menunggu lagi," kata Danil.

Adit merasa terkejut dan hendak bicara tapi di hadang oleh Haris. Dia menggeleng pelan ke Adit.

"Maaf sebelumnya, bisa beri saya waktu lagi? Saya--"

"Sayangnya tidak bisa lagi, Pak Herman. Bos saya sudah tak menerima penolakan lagi. Lebih baik, Bapak pikirkan solusinya sekarang."

"Saya sudah tak punya uang. Apalagi yang bisa saya pakai untuk membayar hutang-hutang itu?" Pak Herman terlihat sudah menyerah. Benar-benar tak ada rasa semangat hidup dalam dirinya.

"Informasi," kata Danil tersenyum.

"Informasi?" Pak Herman membeo tak mengerti.

"Benar sekali. Satu-satunya cara yang bisa Bapak lakukan sekarang adalah memberiku informasi yang Bapak ketahui."

"Tapi, informasi seperti apa yang bos kalian inginkan?" Pak Herman tampak ragu.

"Oh, sangat sederhana. Bapak hanya perlu menceritakan tentang istri Bapak sesingkat mungkin."

"Istri, ku? Kenapa dengan Istriku? Dia tak terlibat dalam hutang-piutang ini. Dia sudah meninggal--"

"Justru sebab dia meninggal, aku meminta informasinya dari Bapak, kalo orangnya ada, sudah lama aku bertanya langsung padanya," kata Danil memotong dengan cepat.

"Tapi--? Baiklah. Meski ini sangat tidak ingin aku beberkan. Wina, dia adalah seorang perempuan yang cantik. Kecantikannya benar-benar telah membuat luluh hatiku. Hanya perlu waktu empat bulan untuk mengenalnya, Wina benar-benar perempuan yang sangat cocok untukku. Mulai dari kepribadiannya, sifatnya dan juga wajahnya. Dia benar-benar bidadari surgaku." Entah kenapa, Pak Herman langsung semangat begitu menceritakan tentang istrinya.

"Lewatkan bagian itu. Langsung ke intinya saja. Misalnya, apa ada yang mengganggu hubungan kalian saat pacaran atau semasa menikah?"

"Rintangan dan halangan itu selalu ada dalam setiap hubungan. Wulan, mantan pacarku itu, dia selalu saja mengganggu Wina. Sejak kami bertengkar hebat sebelum saya memutuskan hubungan dengannya, dia tak henti-hentinya mengganggu kehidupanku."

"Wulan? Maksudmu wanita ini?" Danil menunjukkan sebuah Poto pada Herman.

Herman melihatnya dengan seksama, kemudian menjawab, "Iya. Ini Wulan, mantanku. Kamu atau bosmu itu ada hubungan apa dengan Wulan? Apa dia mengirim kalian untuk membunuhku?"

"Orang bodoh macam apa yang di suruh membunuh dalam rumahnya sendiri. Terlebih lagi, CCTV yang terpasang rapih di beberapa sudut ruangan. Dan juga, Pak Herman, Anda tak perlu menyembunyikan linggis dibawah meja Anda. Penjahat tingkat olong pun tau kalau ada linggis di sana."

"Kau, mengetahui semuanya? Bagaimana caranya kau mengetahuinya?" Pak Herman terkejut bukan main.

"Benar-benar bodoh, kenapa juga aku harus menjelaskan hal yang rumit seperti itu kepada orang sepertimu? Yang langsung patah semangat saat sang istri meninggal. Orang hidup, harus melanjutkan hidupnya, sesulit atau sepahit apapun hidup itu. Ayo, pergi. Informasi darinya sudah lebih dari cukup untukku."

Danil bangun dari sofa dan segera menuju pintu keluar, sebelum melangkah ke luar, dia setengah menoleh ke arah Pak Herman, nampak sekali kalau Pak Herman ini terkaget-kaget dengan analisis Danil barusan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro