Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1

Pagi ini, di sebuah sudut rumah, seorang pria duduk di kursinya dengan ditemani secangkir kopi panas. Pria itu hanya duduk termenung sambil menunggu cahaya mentari muncul lewat jendelanya. Dia adalah Danil Cakra. Pria berumur 25 tahun, satu-satunya detektif swasta muda di negeri ini, Indonesia.

Danil berasal dari Palembang, tetapi tinggal di Jakarta. Pasalnya, di Jakarta pertolongan detektif swasta lebih banyak digunakan ketimbang kota lainnya. Meskipun persaingannya banyak, itu tak membuat Danil patah semangat. Dia bahkan bersaing dengan adil. Dia tak pernah mengurusi urusan detektif lain. Yang dia pikirkan hanya mencari orang yang benar-benar membutuhkan jasanya.

"Hari ini, masih dengan cahaya yang sama, Adel." Danil bergumam pada dirinya sendiri.

***

Di lain waktu, terlihat dua orang murid yang baru saja merayakan kelulusan tingkat SMA mereka, di pinggir jalan raya. Dengan memakai baju SMA yang di coret-coret, mereka sepertinya mendebatkan sesuatu.

"Gue ranking 10 besar!" kata Adit, membanggakan dirinya.

Adit, cowok yang lumayan ganteng namun kotor, dia jarang membersihkan dirinya. Rambut yang ditegakkan keatas dan pipi yang sedikit berjerawat.

"Halah, 10 besar hasil nyontek aja bangga. Gue nih, ranking 15, hasil dari usaha sendiri," balas Haris.

Haris, cowok ganteng alah ke Korea-korean. Rambut hitam Two Block-nya mempunyai ciri khas tersendiri. Kelebihan Haris adalah sudah mempunyai beberapa mantan pacar, sedangkan Adit belum pernah pacaran sama sekali.

Mereka berdua sudah berteman sejak SD. Meski keduanya sering adu mulut karena hal yang sepele, hal itu tak pernah membuat pertemanan mereka putus.

"Btw, lo mau kemana sehabis ini?" tanya Adit ditengah jalan.

"Ya pulanglah, capek nih badan. Terkuras energi gue nemenin lo jalan-jalan gak jelas kek gini." Haris membalasnya dengan ketus.

"Eh, biasa aja, dong balasnya! Lagian ya, maksud gue bukan itu. Habis SMA, lo mau kemana? Kerja kek, kuliah kek."

"Haha!" Haris malah tertawa. "Gue tau kok maksud dari pertanyaan barusan, cuma, gue lagi mau ganggu lo aja." Haris kembali tertawa.

"Ap-Apa?! Awas aja lo, Haris, gue balas nanti perbuatan lo." Adit meringis kesal.

"Gimana mau balas gue, kalo lo aja udah bocorin informasi kek gitu. Haha!" Haris tertawa lebih keras lagi. "Dit, lo mau balas gue, 'kan? Boleh, kok, tapi ... harus sampai ke depan warnet lebih dulu daripada gue!" Haris memotong start.

Adit terkejut dan segera mengejar, "Awas lo Haris!"

***

Setelah menikmati secangkir kopi tadi pagi, Danil bergegas keluar rumah dengan memakai motor sewaan Kopling merahnya. Hari ini, dia ingin segera membuat iklan lowongan murid. Dia sudah menyiapkan ini sejak dua tahun lalu. Mencari seorang murid untuk membantunya memecahkan misteri pembunuhan adiknya, Adel.

Kasus pembunuhan yang sudah ditutup 3 tahun lalu. Polisi sudah memeriksa kasus ini selama 4 bulan, tetapi tak menemukan petunjuk apapun. Hanya ada beberapa saksi, tetapi petunjuk dari mereka tak begitu berarti.

Setelah 20 menit berkendara, tibalah Danil di sebuah warnet. Dia ingin mencetak brosur lowongan ini sebanyak empat lembar saja.

Tak perlu banyak-banyak, jika memang ada yang berminat, pasti akan datang sendiri. Begitulah yang dipikirkan Danil saat mencetak brosur-nya.

"Berapa, Mas?" tanya Danil kepada petugas warnet.

"Lima belas ribu saja, Mas,' jawab petugas itu.

Danil menyodorkan sejumlah uang dan petugas itu menerimanya dengan senyuman. Tak lama, Danil pergi dari tempat itu. Namun, sebelum pergi, dia memasang satu brosur di pinggir warnet itu.

Secara kebetulan, Adit dan Haris baru saja datang saat Danil berlalu pergi dengan motornya. Mereka ngos-ngosan setelah berlari sekuat tenaga. Tentu saja Haris yang menang duluan, sebab dia memotong start.

"Cu-Curang, lo!" Adit menarik napas panjang.

"Ha! Yang penting, menang." Haris membalas di tengah ngos-ngosannya.

"Minum, y-yuk. Haus nih," ajak Adit. Kebetulan di sebelah warnet ada warung es tebu.

"Ayo." Mereka bergegas memesan minuman es tebu ini.

Masing-masing dari mereka membayar lima ribu rupiah untuk satu kantong es tebu. Setelah membayar, mereka duduk tak jauh dari sana. Mereka menikmati es tebu ditengah teriknya matahari pagi.

"Eh, Ris, lo belum jawab pertanyaan gue." Adit memulai pembicaraan.

"Yang mana?" Haris kembali menyeduh es tebu.

"Sebelum kita kejar-kejaran tadi." Adit kembali mengingatkan.

"Sebelum gue jawab, gue mau denger dulu, lo mau kemana."

"Gue? Lo udah pasti tau gue ngapain sehabis SMA ini." Adit menyeduh es tebunya sebelum kembali bicara. "Keluarga gue yang serba kekurangan, untung aja SPP bisa lunas, kalau enggak, ketahanan pasti ijazah gue nanti."

"Dit, meskipun keluarga gue terbilang cukup kaya, jangan memandang itu sebagai perbedaan kita. Lo tau kan, kita udah sama-sama dari SD sampe sekarang. Semua itu real kehendak gue sendiri. Gue gak pandang status keluarga."

"Ya elah, lo baperan banget. Kek cewek tau gak?" Adit mengganggap bahwa ucapan Haris barusan hanya untuk menyemangatinya saja.

"Dit, gue serius ini. Bagaimana kalau kita cari lowongan pekerjaan sama-sama?" usul Haris.

"Emang keluarga lo mau nerima keputusan lo barusan? Lo tau kan, tamatan SMA sekarang itu rata-rata cuma jadi babu orang? Lo mau gitu jadi babu sementara masa depan cerah udah menunggu lo di depan mata?" Lagi-lagi Adit mengelak. Dia menundukkan kepalanya.

"Kita coba dulu, Dit. Lo kok cepat amat nyerahnya? Lo bukan Adit yang gue kenal."

"Untuk kuliah, jujur Ris, keluarga gue gak mampu. Kalau lo mau kuliah, gue gak papa. Yang penting, jangan lupain gue kalau udah sukses nanti." Adit tersenyum kecil ke Haris.

"Ah, sudahlah. lupain masalah itu. Sekarang, main warnet kuy? Lo bersedih kek gini juga gak bakal merubah sesuatu. Lebih baik kita happy-happy sekarang. Skuy, login PB."

"Benar juga kata lo, Ris, sedih gak akan menghasilkan apapun. Skuy, login."

Mereka segera memasuki warnet dan duduk di bangku komputer yang sedang kosong. Memesan waktu main selama 120 menit, dan beberapa cemilan kecil untuk menemani mereka bermain nanti.

120 menit telah berlalu. Mereka sudah men-log out kan akun mereka, dan bersiap-siap untuk pergi. Sebelum itu, mereka harus membayar warnet sebesar enam ribu untuk 120 menit tadi.

"Eh, Ris, duit gue hilang tiga ribu." Haris meraba-raba saku celana dan bajunya.

"Yang bener, lo? Jatuh pas main tadi kali." Adit menduga-duga.

"Bentar, ya, gue cari dahulu." Haris kembali ke bangku mereka sebelumnya dan mencari di sekitar sana. Namun, tak kunjung ketemu juga. Dia malah menemukan brosur di tanah. Agak sedikit usang dan berdebu, tetapi Haris tetap saja mengambilnya dan membacanya.

"Lowongan pekerjaan, di cari orang untuk menjadi murid detektif swasta. Gaji ... 5 juta per kasus?" Manik mata Haris membesar begitu membaca jumlah gaji tersebut. Nominal itu terbilang cukup besar, karena UMR di Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat juta saja.

Haris segera kembali ke tempat Adit sebelumnya. Dia bergegas dengan cepat. Begitu dia mau kembali, dia secara tak sengaja melihat Adit menyerahkan sesuatu kepada petugas warnet tersebut. Dari jauh, terlihat uang sepuluh ribu selembar diserahkan. Dengan cepat, Haris kembali dan menahan uang itu.

"Stop, Dit." Haris memegang pergelangan tangan Adit. Menahannya menyerahkan uang tersebut.

"Eh?" Adit sedikit terkejut kemudian memandang Haris dengan cepat. "Gimana? Duit lo udah ketemu belum?"

"Belum, tapi gue nemuin ini." Haris melepas genggamannya dan segera menunjukkan brosur tadi ke Adit. "Gimana? Bagus, 'kan?"

"Bentar, bentar. Gue belum selesai baca nih." Adit menyambar brosur itu dengan cepat.

"Jadi bayar gak, kalian ini?" sela si petugas warnet.

Adit berhenti membaca dan kembali berniat menyerahkan uang itu, tiba Haris lebih dahulu menyodorkan arlojinya.

"Pegang, ini buat jaminan. Besok gue bayar," kata Haris, menyerahkan arloji itu ke tangan petugas warnet.

"Benar ya? Kalau besok gak bayar, gue jual nih arloji," ancam petugas warnet. Meski begitu, dia begitu senang saat memandang arloji tersebut. Sebab arloji itu terlihat sangat mahal. Itu adalah arloji pemberian Ayah Haris saat dia berulang tahun yang ke-15.

"Ris, lo yakin mengadaikan barang yang bagus kek gitu?" tanya Adit.

"Habis mau gimana lagi. Duit gue hilang, terus barang yang bisa gue gadaikan cuma arloji itu doang."

"Kan masih ada duit gue. Pake aja dulu." Adit menawarkan uangnya kembali.

"Gak papa, Dit. Besok gue tebus tuh arloji. Ingat ya, Bang, kesepakatannya. Kalau besok udah Abang jual, gue tuntut nih warnet."

"Buset, kecil-kecil udah pandai mengancam. Ya udah, gue tunggu besok."

Adit dan Haris langsung pergi dan duduk dipinggir warnet tersebut. Mereka kembali membaca brosur tadi.

"Ris, ini emang menggiurkan, tapi ... lo yakin bisa jadi detektif? Secara, kan kita gak pernah mengungkap kasus apapun." Adit nampak ragu.

"Mudah itu, Dit. Toh, di sini tertulis kalau kerjanya sama sang detektif langsung. Jadi, pasti sebagian besar dia yang berperan. Kita mah santai, cuma duduk dan menyiapkan apa aja yang diperlukan si detektif doang."

"Lo tau dari mana kalau kita cuma duduk-duduk manis doang? Lo dah pernah kerja di sini?" tanya Adit, dia meragukan apa yang Haris bilang barusan.

"Eh, lo jadi sahabat gak ada percaya-percayanya sama gue. Tenang aja, gue jamin itu. Paman gue dulu ikut kelas detektif. Dan kerjanya cuma duduk sambil mikir doang."

"Yang bener lo?"

"Ya elah, udah percaya mah gue." Haris benar-benar yakin. Dia percaya kalau menjadi murid detektif akan semudah dan semulus yang dia kira. Padahal ....

"Ya udah, jadi kapan kita akan mendatangi alamat ini?"

"Lusa gimana? Besok gue mesti ke makam nenek gue," saran Haris.

"Oke."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro