7
"...pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..." (QS. Al-A'raaf: 96)
Daffa memerhatikan rumah yang baru dia tempati. Seluruh dinding dipoles cat yang rapi. Perabotannya sesuai dengan seleranya. Ada tanaman di beberapa sudut rumah yang terpapar cahaya matahari dari jendela. Aroma setiap ruangan nyaman setelah ibunya meletakan sejumlah aroma diffuser. Meski semua tampak sempurna, Daffa merasakan berbeda. Kekosongannya tidak berkurang, malah menumpuk.
"Gue harus apa untuk hidup normal?" pikirnya sembari bangkit dari kasur menuju jendela.
Jendela di kamarnya menghadap taman depan. Pagar rumahnya yang terbuat dari jari-jari besi memberinya akses pemandangan jalan di depan rumah. Langit masih samar menampilkan cahaya sang surya. Keramaian mulai merangkak di jalanan. Kendaraan roda empat dan roda dua melintas. Beberapa pejalan kaki tampak hilir mudik. Di seberang jalan, seorang anak laki-laki berlari.
Anak laki-laki?
Mata Daffa membesar. Dia ingat figur anak itu yang seketika membuatnya tersenyum. Dia bergegas keluar rumah, lalu berlari ke seberang jalan.
"Omar," panggil Daffa senang.
Omar yang sedang berdiri di belakang ibu-ibu berbalik. Dia melambai kecil pada Daffa dengan senyuman lebar. "Om Daffa!"
"Kamu lagi apa?" Daffa berjongkok dekat Omar.
"Mau beli nasi uduk sama bakwan. Om mau beli nasi uduk juga?"
Sesaat Daffa terdiam. Dia heran kenapa Omar mesti beli nasi uduk di warung Atun yang merupakan neneknya. Kemudian pencerahan itu datang melalui pernyataan Omar sendiri. "Om main ke rumah aku dong. Itu rumah aku. Ada banyak Paw Patrol. Aku kemarin beli Zuma sama Om Acha."
"Oh," desis Daffa sembari mengangguk. Dia paham sekarang. Selama ini dia telah salah menduga bahwa Omar adalah anak Asiyah.
"Om juga mau beli nasi uduk." Daffa berdiri, ikut mengantri giliran dilayani Atun dan Asiyah. Daffa memperhatikan gerak-gerik Asiyah membungkus pesanan pembeli.
Cantik, pikirnya.
"Om Daffa nggak solat ya?"
Perhatian Daffa beralih akibat tuduhan Omar yang memukulnya telak. Berat baginya mengakui telah lalai menjalankan ibadah kepada anak kecil.
"Om ikut aku aja solat di masjid sama Ustad Udin. Aku ama Om Acha sering solat di saf belakang abisnya Om Acha telat mulu bangunin aku. You know, solat di saf depan itu bagus. Kata Ustad Udin, cowok tuh paling bagus solat di saf paling depan. Om Daffa suka solat di saf mana?" Omar kembali mengoceh.
"Om suka di tengah," jawab Daffa tidak bertenaga.
"Nggak apa-apa sih di tengah. Kata Om Acha, yang penting tuh solat." Omar melompat ke depan saat barisan ibu-ibu di depan mereka selesai bertransaksi.
Daffa masih terdiam memandangi Omar. Ini adalah kali pertamanya mendapatkan nasihat dari anak kecil. Meski begitu, dia tidak merasa dipojokan. Malah timbul perasaan syukur ada yang mengingatkannya urusan ketuhanan setelah sekian lama.
"Mas Daffa mau pesan apa?" tanya Asiyah.
Daffa segera maju. "Saya mau nasi uduk dengan lauk..." Daffa memerhatikan pilihan lauk pendamping nasi uduk. "Telur balado dan tahu."
Asiyah membungkuskan pesanannya. Sembari menunggu, Daffa memerhatikan interaksi Omar dan Atun. Anak itu membawa tiga kotak makan yang diisi macam-macam makanan oleh Atun.
"Ini, Mas. Semuanya sepuluh ribu." Asiyah menyerahkan kantong plastik berisi pesanan Daffa.
"Oh, iya." Daffa tergagap. Dia buru-buru mengambil uang di saku celananya. Kemudian mengambil kantong itu. Sentuhan ujung jari Daffa pada jari Asiyah mengantar sengatan listrik kecil. Dia terpanah sedetik.
Di sisi lain, Asiyah tidak merasakan apapun akibat sentuhan tak disengaja tersebut. Perempuan itu sibuk mengambil kembalian.
"Ini, Mas." Asiyah mengangsurkan uang kembalian.
Tidak mau terulang kembali, Daffa mengambil uang itu hati-hati.
"Nyai, makasih! Assalamualaikum!" Suara seruan Omar menyentak Daffa.
Pria itu menoleh. Dia datang ke situ untuk mengenal Omar lebih dekat. Jadi, dia mengikuti Omar.
"Rumah kamu yang itu?" tanya Daffa.
"Iya."
"Omar!" Satu seruan mengalihkan perhatian Daffa dan Omar. Mereka menoleh ke satu arah. Seorang pemuda.
"Om Acha manggil aku. Dah dah, Om!" Omar berlari menghampiri pemuda itu.
Daffa membalas anggukan si pemuda, lantas kembali ke rumahnya. Dia belum banyak mengenal warga di sini. Namun dia tertarik pada info Omar soal solat Subuh di masjid. Mengapa dia yang lebih tua dari Omar mesti kalah dalam hal beribadah? Motivasi kecil tumbuh dalam hati Daffa. Dia ingin mempunyai satu rutinitas baru dalam hidupnya.
Telepon rumah berdering sewaktu Daffa masuk ke rumah. Dia bergegas ke ruang keluarga dan menyambar gagang telepon.
"Halo."
"Daffa, kamu baru bangun?" Suara ibunya.
Daffa menghela napas menyadari telepon yang masuk berasal dari ibunya. Dia meletakkan gagang telepon dan beralih ke fungsi loud speaker.
"Aku sudah bangun sejak sejam yang lalu. Ada apa, Ma?" Daffa membalas sembari membuka bungkusan nasi uduk.
"Mama pikir kamu belum bangun. Daf, kamu jangan lupa kalau hari ini kamu ada janji dengan Melia..."
Daffa tidak mendengarkan pertanyaan itu. Dia berlari ke dapur untuk mengambil sendok dan segelas air. Saat dia kembali, ibunya masih berbicara. Baginya, ibunya tengah mendikte hidupnya seperti biasa.
"Karena tempat janjian kamu dan Melia itu resto di Bogor, pakai kemeja santai saja. Jangan lupa bawa jaket. Siapkan payung di mobil. Terus, Melia suka bunga. Coba kamu mampir beli bunga dulu sebelum ke sana. Cari bunga yang cantik. Mawar bagaimana?"
"Aku akan minta florist yang atur bunganya, Ma," jawab Daffa dengan santai. Dia menyuap sarapannya. Masakan Atun selezat masakan neneknya dan Daffa senang bisa menikmatinya.
"Mama nggak mau pertemuan kali ini gagal. Mama capek nyariin kamu pasangan," keluh ibunya.
Daffa batal menyuap sarapannya lagi. Air wajahnya berubah kesal. Namun dia tidak berbicara.
"Daf," suara ibunya melunak. "Mama nggak bermaksud buruk dengan mengatur pertemuan kamu dengan perempuan. Kamu paham, kan?"
"Paham, Ma." Daffa mengangkat ponselnya dari meja. "Aku mau sarapan dulu. Kita bicarakan lagi nanti."
Dan dia mematikan teleponnya sebelum ibunya menanggapi. Daffa bersandar ke sofa sembari memikirkan konyolnya takdir sudah membawanya sampai tersesat sedemikian jauh. Daffa yang dulu tahu apa yang dia inginkan, dia butuhkan, dan dia usahakan. Daffa yang di sini tak lebih dari manusia tanpa harapan.
-o-
"Mas Daffa!"
Langkah Daffa yang hendak masuk ke mobil terhenti. Dia memutar badan. Asiyah setengah berlari menyeberang jalan.
"Ada apa, Asi?" tanya Daffa setelah Asiyah tiba di depan rumahnya.
"Ini buku catatan untuk uang kebersihan dan keamanan. Tadi pagi diantar sekretaris RT, tapi Mas Daffa nggak keluar pas dipanggil." Asiyah menyerahkan buku kecil.
Daffa menerima buku itu sembari tersenyum. "Kayaknya sekretaris RT datang pas saya sedang mandi. Makanya nggak dengar. Makasih."
"Sama-sama, Mas."
"Oya, Asi..." Ucapan Daffa mencegah Asiyah pulang. "Omar tinggal di sebelah rumah kamu?"
"Iya, Mas. Dia tinggal bareng Arsa, omnya."
"Arsa?" Daffa mengingat pemuda yang tadi pagi dia lihat. "Kalau boleh tahu, orangtua Omar dimana?"
"Mbak Ajeng sudah meninggal. Ayahnya Omar juga, Mas. Makanya, Omar tinggal sama Arsa. Kenapa? Mas tertarik sama Omar?"
"Dia lucu banget."
Asiyah mengangguk. "Bawel lagi," timpalnya.
"Awalnya saya pikir Omar itu anak kamu. Maaf." Daffa memutuskan untuk jujur.
"Anak saya?" Asiyah tertawa kecil yang anehnya terdengar sumbang di telinga Daffa. "Nggak mungkin, Mas. Sudah ya, saya mau balik. Nanti Ibu nyariin. Permisi, Mas. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Daffa memandangi kepergian Asiyah. Dia merasa ada yang salah yang tiba-tiba mengubah perangai perempuan itu menjadi kaku.
###
27/04/2021
Aku baru ngeh aku salah masukin tahun hahaha...
Asiyah itu nikahnya 9 tahun tapi kemudian cerai, sementara beda usia Asiyah dan Arsa itu 6 tahun. Kalau berhubungan sama tahun itu memang sering pusing deh.
Aku baca komen2 kalian pas ga nulis. Ada yang galau mau ikut kapal Asiyah-Arsa atau Asiyah-Daffa... Saranku, ikut kapal Missbek-Omar aja hahaha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro