Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

62

Bab 62

Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
(QS. Al Balad: 17)

"Om Acha!"

Sambutan Omar membuat semua perempuan yang tengah berkumpul di meja makan menoleh. Asiyah yang pertama berdiri dan menghampiri Omar yang berada di luar. Beruntungnya baik Atun, Ami, dan Endah tengah berpakaian rapi disertai hijab yang menutup kepala sampai ke dada. Tak ada satu pun perempuan di ruangan itu yang harus tergopoh ke dalam kamar untuk menyambar jilbab dan memakai pakaian yang menutup aurat.

"Assalamu alaikum," sapa Arsa dan Bintang berbarengan.

"Waalaikumsalam," jawab Atun, Ami, dan Endah.

"Pizza masih ada, mau makan di sini?" Atun segera berdiri.

"Nggak, Bu. Pizza itu saya kasih untuk dimakan sama Ibu, bukan buat saya," tolak Bintang.

"Kami datang karena penasaran apa alasan Omar nggak pulang setelah mengantar pizza." Arsa melirik ke meja. Senyumnya merekah melihat alasan tersebut bukanlah pizza. "Ternyata dia bantu di sini."

Omar tersenyum malu. Di samping Ami yang tertawa, Endah menggeleng kecil. Atun yang menanggapi, "Omar mau nemenin kami ngobrol. Dia nggak bantu potong-potong, Ar."

"Kalau Omar bisa bantu, kenapa nggak minta tolong Omar." Arsa menepuk puncak kepala Omar sekali. "Tenaganya banyak setelah diberi sarapan nasi uduk."

"Nyaik nggak ngasih aku pegang pisau," kata Omar.

"Bahaya. Pisaunya tajam," Atun menanggapi.

Omar cemberut. Arsa menarik tangan Omar menuju salah satu kursi di sebelah Atun. "Saya boleh bantu, Bu? Potong-potong tempe sudah jadi skill sejak SD," kata Arsa.

"Boleh. Tapi mending kamu istirahat aja, Ar. Capek kamu tuh kerja Senin sampai Jumat."

Arsa menduduki kursi, lalu memangku Omar. "Kalau capek, saya pasti istirahat. Sekarang belum capek. Masih bisa bantu sedikit-sedikit." Arsa memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Omar. "Kamu mau coba potong-potong tempe?"

Mata Omar membesar dan dipenuhi binar antusias. Kepalanya mengangguk saat menjawab dengan lantang, "MAU!"

Arsa tertawa kecil. Tangannya seakan disetel untuk mengacak puncak kepala Omar. "Minta izin dulu sama Nyaik. Kamu mau bantu potong tempe dibantu sama Om."

Omar berpaling ke Atun. Tatapannya dipenuhi harap. "Nyaik denger, kan? Om mau bantu aku motong tempe. Boleh, ya? Ya! Ya! Ya!"

Atun memandang Omar dan Arsa bergantian dengan sepasang alis yang bertaut. Kemudian perempuan itu mendesah. Dia mengalah pada tekad Omar dan kepercayaan diri Arsa. "Boleh, tapi harus perhatiin Om Arsa. Jangan sampai tangan kamu keiris pisau."

"Yes, Sir!" Omar memberikan hormat ala tentara.

"Cuci tangan dulu," Arsa mengingatkan.

Mereka berdua turun dari kursi untuk mencuci tangan di dapur. Bintang yang berdiri di antara para perempuan celingukan tanpa tahu mau berbuat apa. Bukan dia yang mengusulkan datang ke rumah ini.

"Duduk, Bin. Suka peyek, nggak?" Asiyah menunjuk kursi kosong.

Bintang duduk di sebelah Endah. Dia tersenyum sekilas pada Endah dan Ami. "Tempenya banyak banget. Mau dimasak apa?" Bintang berbasa-basi.

"Mau buat kering tempe," Endah yang menjawab. "Bi Atun terima katering acara orang. Ini salah satu masakan yang disiapkan lebih awal."

"Acaranya Rabu, kan?" Bintang mengingat obrolan Asiyah dan Arsa tempo hari.

"Iya, tapi beberapa makanan harus dicicil supaya pas dekat hari H nggak repot. Mau coba ini." Endah memindahkan stoples peyek kacang ke dekat Bintang. Dia kembali melanjutkan memotong tempe tipis-tipis.

Arsa dan Omar selesai mencuci tangan. Mereka duduk di kursi yang tadi. Asiyah beralih ke dapur setelah memastikan semua orang ingin minum teh manis hangat.

"Omar pernah pakai pisau?" tanya Arsa.

Omar mendongak untuk melihat Arsa. "Pernah. Miss Gendis has two knives. One is pink and another is blue. I used the blue one. We cut tofu and cooked tofu with sweet soy sauce."

"Alias semur tahu," celetuk Endah.

Atun dan Mia yang tak mengerti ocehan Omar bertukar pandangan heran. Omar tergelak. "Yes, it is."

"Pisau itu bisa bermanfaat untuk orang tergantung cara pakai dan niatnya." Arsa bicara lagi. "Kalau yang pegang tahu caranya pegang pisau dengan baik, pisau bisa dipakai untuk memotong. Kalau yang pegang punya niat baik, pisaunya dipakai memotong sayuran yang bisa dijadikan masakan. Contohnya, Nyaik Atun yang memakai pisau untuk menghasilkan makanan yang enak. Kalau yang pegang pisau nggak tahu cara pakainya, tapi punya niat baik, apa yang akan terjadi?"

"Apa?" Omar menyimak.

"Tangan yang pegang pisau bisa terluka karena salah memegang." Arsa membuat garis imajinatif pada jari mungil Omar.

"Keiris?" tebak Omar.

Arsa mengangguk. "Kalau yang pegang pisau tahu cara yang benar menggunakan pisau, tapi punya niat nggak baik, apa yang akan terjadi?"

"Apa?"

"Pisau ini bisa jadi senjata yang membahayakan orang lain."

"Like criminals stab people." Wajah Omar serius sekali saat berbicara.

"Contohnya begitu. Menurut Omar, itu baik?"

"Nah. Nggak boleh jahat, nanti masuk neraka. Aku nggak mau pakai pisau bikin orang sakit."

"Benar. Tapi saat ini Omar belum tahu caranya pakai pisau meski punya niat baik membantu Nyaik. Salah pegang pisau, bisa-bisa kamu yang terluka. Terus kamu harus apa?"

"Pegangnya hati-hati."

"Dan fokus." Arsa menyentuh dagu Omar.

Omar mengangguk. Arsa mulai menunjukkan cara memegang pisau dan mengiris tempe. Omar memerhatikan, lalu mempraktikan sendiri dengan serius. Anak berambut mangkok itu telah menyedot perhatian seluruh orang dewasa dengan ketekunannya belajar hal baru. Atun melirik Arsa dengan kebanggaan yang merekah dalam hati. Dia telah melewati tahun demi tahun melihat anak dari tetangganya tumbuh dari bocah cengeng menjadi pria dewasa yang dapat dipercayakan tanggung jawab. Betapa besar kebanggaan kedua orang tua Arsa andai kata berkesempatan melihat anak laki-laki mereka telah tumbuh menjadi pria dewasa yang baik.

"Haaah! Capek!" keluh Omar. Dia meletakan pisau ke atas talenan dan bersandar pada badan Arsa.

"Kamu baru motong setengah papan tempe dan sudah kecapekan?" Arsa mengambil alih pisau yang dipakai Omar dan melanjutkan pekerjaan yang ditunda si anak.

"Pisaunya kegedean. Berat. Tangan aku capek. Nih lihat." Omar memamerkan telapak tangannya yang kemerah-merahan.

"Duh tangan Omar kayaknya besar sebelah." Endah menggoda Omar. Semua orang dewasa dapat melihat niat usil Endah.

Omar menanggapi serius. "Nggak! Tangan aku nggak besar sebelah. Ini sama." Omar merapatkan keduanya dan membandingkan ukurannya.

Mia menggeleng melihat tingkah anak perempuannya yang kekanakan. Endah mengeles, "Oh, nggak tambah besar. Ya udah kalo nggak besar sebelah."

"Om, my hand is fine. Right?" Omar memohon persetujuan Arsa.

Arsa menggenggam tangan Omar, lalu diarahkan kedua telapak tangan si kecil menghadap ke atas, dan berdoa, "Allahumma inni a'udzubika minal hammi wal hazan, wa a'udzu bika minal 'ajzi wal kasal, wa a'udzu bika minal jubni wal bukhl, wa a'udzu bika min ghalabatid dain wa qohrirrijaal. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan gelisah, aku berlindung dari sifat lemah dan malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari sikap pengecut dan bakhil, dan aku berlindung kepada-Mu dari hutang dan penindasan orang." Pada ujung doa, Arsa mengernyitkan hidungnya ke arah Endah. (HR. Bukhari)

"AAMIIN!" Omar berseru. Wajahnya meledek Endah karena dia memiliki teman sekubu, tak seperti Endah yang sendirian.

"Duh, mainnya pakai doa dari hadist," gumam Endah.

Mia melirik putrinya. "Masih lebih baik berdoa dari hadist. Bukannya itu cara Rasulullah menunjukkan kebaikan ke umatnya."

"Aku bukannya mempermasalahkan hadist itu, Ma. Aku males berhadapan sama ahli hadist yang perlawanannya pakai yang dia sudah kuasai. It's unfair." Endah menirukan gaya bicara Omar sembari memutar matanya ke atas.

"Kalo gitu balas pakai doa dari Al Quran dong," sahut Atun bercanda.

Endah memicing ke Atun, lantas beralih ke Arsa yang terang-terangan menantangnya lewat sepasang alis yang naik dan senyum meremehkan. Siku kiri Endah mendorong lengan Bintang yang duduk di sebelahnya. Dalam gaya memerintah dia berujar, "Tangan lo begini." Dia memamerkan sikap tangan saat berdoa.

Bintang yang kebingungan mengikuti tanpa banyak bertanya. Dia belum mengenal Endah sehingga agak kaget saat perempuan itu berbicara bossy.

"Robbanaa laa tuzigquluu banaa ba'da izba'da izhadaytanaa wahablanaa min ladunka rohmatan innaka intalwahhaab. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi," doa Endah. (QS. Ali Imran: 8)

Endah melempar lirikan pedas yang buru-buru Bintang sahuti, "Aamiin."

Arsa tidak mengacuhkan kebanggaan di wajah Endah. Dia menghadap Mia. "Anak Uwak Mia masih belajar tafsir Quran?"

Mia terkikik. Dia menepuk bahu Endah pelan. "Masih, alhamdulillah. Anak ini masih istiqomah belajar, walau ustadzahnya sering dibikin geleng-geleng."

"Lihat kalian berdua lempar-lemparan doa kayak gini, bikin ingat waktu kalian masih SMP. Masya Allah, Ustad Udin berhasil didik murid-muridnya." Atun terkenang masa lalu. Pandangannya berlari ke kejauhan seakan ada film yang terputar di ujung sana dan hanya dia seorang yang bisa menontonnya.

"Lo dan Endah teman SMP?" Bintang tertarik.

"Unfortunately, yes," jawab Arsa berbarengan Endah membalas, "Sialnya, iya."

"Wow, kompak gitu jawabnya." Bintang memandang Arsa dan Endah bergantian.

"Boro-boro." Endah bergidik. "Karena bocah satu ini, ngaji sore kayak kompetisi."

"Bukan gue yang salah. Sejak awal Iis yang bikin ribut waktu itu," Arsa menepis.

"Kalo lo ngalah dikit sama cewek, semuanya nggak kayak pembantaian Ustad Udin. Ngaji bisa woles. Cukup hapalan ayat Kursi, doa sehari-hari, dan juz amma."

"Kok gue harus ngalah? Iis yang nantang."

"Biarin aja Iis nyombong dikit sama kemampuan hapalan Quran dia. Toh, dia anak Ustad Jamal. Lebih pintar agama, wajar. Lo pakai ikutan hapalan Quran."

"Bentar. Bentar. Ini gimana awalnya sih?" Bintang bukan maksud melerai. Dia terpancing pada satu nama yang disebut Arsa dan Endah.

"Awalnya Arsa yang salah." Endah mengacungkan telunjuk ke muka Arsa.

"Iis yang salah," Arsa masih berkeras.

"Intinya gini." Endah menarik bahu Bintang supaya menghadapnya. "Ngaji kami awalnya biasa aja. Baca quran, dikoreksi tajwid, dan hapalan surah pendek. Sampai suatu hari, Iis minta setor hapalan Quran dia ke Ustad Udin. Dari situ, si Arsa ikutan hapalin Quran dan ikutan nyetor hapalan ke Ustad Udin. Otomatis, ngaji santai itu berubah jadi medan perang. Kami hapalaaaaan Quran, nyetor hapalan, terus bedah terjemahannya. Semua itu karena satu cowok."

"Bukan gue, Ndah. Iis yang waktu itu nantangin." Arsa tak terima.

"Lo nggak bisa banget ngalah sama cewek. Hukum cewek ke cowok itu sederhana, cewek selalu benar dan kalo nggak benar ya tetap dianggap benar. Sesimpel itu dan kita bisa ngaji santai. AUW!" Endah menggosok belakang bahunya yang dipukul ibunya.

"Ngaji santai, terus kapan pintarnya? Sudah benar Iis dan Arsa hapalan Quran. Kamu jadi ikut hapalan Quran," omel Mia.

Omar terkikik sambil menutupi mulutnya. Dia senang melihat Endah ditegur Mia.

"Rame banget. Terdengar dari dalam. Arsa dan Endah saling mendoakan?" Asiyah datang bersama senampan besar berisi beberapa gelas dan teko yang corongnya mengebulkan asap.

Senyumannya yang merekah dibalas sikap dingin orang-orang dewasa. Hanya Omar yang menanggapi tanpa beban, "Om Acha sama Kak Endah pamer bisa doa."

Seketika itu pula senyum Asiyah mengering. Dia telah salah bicara.

###

09/09/2024

Update lageeee...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro