Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

60

Bab 60

Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.
(QS. An Najm: 45)

Iis memandang punggung lebar Bintang. Kemudian menundukan pandangannya. Detak jantungnya telah membuatnya jumpalitan dan semakin memburuk saat Endah dengan luwes bercakap bersama Bintang. Sungguh Iis tidak bermasalah dengan keakraban singkat yang dijalin Endah dan Bintang. Dia hanya sedikit kesal terhadap dirinya sendiri; terhadap rasa penasarannya dan terhadap perhatian yang tiba-tiba muncul kepada seorang pria asing. Iis telah belajar agama bertahun-tahun. Dia mempelajari batasan seorang muslimah kepada lawan jenis. Panutannya adalah Sayyidah Fatimah Az Zahra, seorang perempuan sholehah yang dapat menjaga hati dan dirinya. Keinginannya besar untuk menjadi seperti Sayyidah Fatimah. Dia ingin menjadikan suaminya kelak sebagai cinta pertama dan terakhirnya.

Kendati dirinya sadar, reaksi-reaksi kecil dalam dirinya menimbulkan kecemasan. Perempuan itu cerdas. Dia tahu apa yang tengah terjadi dalam hatinya. Dan kecemasan itu menjalar. Dia kesulitan mengatur ekspresi tiap berdekatan Bintang, meskipun akalnya mengingatkan untuk bersikap ramah. Sungguh, bukan maksudnya bersikap dingin. Iis hanya tidak ingin apa yang bergemuruh dalam dadanya sampai ke orang itu.

Sore yang hangat terasa berat untuk dinikmati. Biasanya Iis paling suka berjalan kaki menuju masjid sembari menikmati langit selepas Ashar. Langkahnya berat, agak tersendat, dan pendek. Harapannya hanya satu, yakni segera tiba di masjid dan berpisah dengan Bintang.

"Om Binbin, ngaji yang bener."

Suara Omar menyentak Iis. Kepalanya terangkat. Atap masjid yang berwarna merah menjulang di hadapan. Seketika senyumannya terurai. Wajahnya yang kaku melunak. Perasaan lega hadir diselingi sebersit kesedihan. Iis tahu alasan kesedihan itu. Dia melirik Bintang yang berjongkok di depan Omar.

Pemuda itu mencubit pipi Omar saat berkata, "Omar ngaji yang bener."

"Iih, sakit." Omar menepis tangan Bintang, lalu memegangi kedua pipinya dengan cemberut. "Aku ngajinya bener. Om ngaji yang bener biar cepet pintar terus baca Quran sendiri."

"Iya, iya. Siap, Bos." Bintang memberi hormat ala tentara.

Omar menirukan penuh gaya. Dadanya membusung dan berdirinya tegap.

Bintang tertawa kecil. Dia kembali berdiri, lalu menghadap Endah dan Iis. Spontan Iis mengalihkan pandangannya ke kanan. Ada rasa malu bertemu pandang dengannya. Bintang melirik sekilas gerak-gerik Iis sebelum beralih ke Endah. "Nanti saya yang jemput Omar. Kami mau sholat Maghrib di masjid. Nggak apa-apa?"

"Bisa kok. Biasanya kami sholat Maghrib di masjid juga," jawab Endah.

"Makasih."

Endah mengangguk singkat. "Nyantai aja, Om Binbin."

Bintang menyengir, lantas beralih ke Omar. "Om masuk, ya?"

"Bye." Omar melambai.

Bintang mengacak puncak kepala Omar menyebabkan Omar menjerit kesal. Bintang berjalan cepat menghindari amukan Omar bersama tawa. Iis menyaksikan Bintang dan Omar yang lari ke masjid diam-diam. Dia mengamati ekspresi Bintang yang bebas dan bahagia. Kemudian beristigfar dalam hati.

Endah menyikut lengan Iis ringan. "Ayo," bisiknya.

Iis berjalan dengan kepala menunduk. Dia begitu malu. Malu terhadap perasaan yang tumbuh di hati seorang muslimah yang belum menikah.

"Bintang lucu, ya?" kata Endah di tengah jalan mereka menuju pintu selatan masjid, pintu menuju bagian mengaji anak-anak dan area sholat wanita.

"Kenapa mikir begitu?" tanya Iis setengah tertarik setengah waspada.

"Beda aja sama Arsa. Bintang kayak lebih santai, lebih supel, dan nggak bikin lo terintimidasi."

"Kenapa dibandingkan sama Arsa? Nggak enak kalau didengar mereka."

Endah menoleh. "Supaya nggak jadi dosa, nanti gue sampaikan ke Arsa dan Bintang tentang gue yang menilai karakter mereka."

"Nggak begitu, Ndah. Setiap orang nggak bisa dibandingkan."

Endah memandangi Iis agak lama. Iis membesarkan matanya keheranan.

"Nggak jadi deh." Endah menggeleng kecil. Dia melepas sandalnya dan masuk ke masjid duluan.

Iis diam memandangi Endah. Ada kalanya dia tidak mengerti apa yang ada dalam benak Endah. Temannya yang satu itu sangat ceria yang mana keceriaan itu menutupi isi hatinya.

-o-

"Kalo baca Juz Amma, gampangan?" Ustad Udin bertanya.

Bintang menutup buku Juz Amma tanpa latin dan terjemahan. Dia tersenyum lebar saat menjawab, "Iya, Tad." Dia girang sekali menyelesaikan baca Juz Amma. Kemarin dia digodok Al Baqarah tak sampai 20 ayat dan kepalanya terasa bakal meledak saking banyaknya harakat maupun tajwid yang salah. Sementara Juz Amma seperti membuka catatan lama. Dia mengingat surah-surah yang dia baca sehingga menolongnya melewati kesalahan harakat dan tajwid.

"Kalo gitu, besok kita lanjut Juz Amma lagi. Lanjutin surah Al Humazah." Ustad Udin berwajah sama cerahnya dengan Bintang. "Lu bisa ngaji besok?"

"Kayaknya bisa, Tad."

"Insya Allah bisa, gitu jawabnya. Jangan kayaknya kayaknya. Kabarin gua kalo lu nggak bisa."

Bintang mengangguk. Dia tidak terpancing emosi oleh koreksi yang diberikan Ustad Udin. "Insya Allah, Ustad."

"Ngomong-ngomong, lu bagus juga hapalan surah pendek. Dulu pernah ngaji?"

"Pernah pas kecil."

Ustad Udin mengangguk. Tangannya mengelus jenggotnya yang tipis dan kelabu. "Selain ngaji baca Quran, lu boleh nanya-nanya soal agama."

Bintang melirik ke sebelah kiri. Masjid bagian jamaah pria masih sepi. Hanya ada beberapa bapak-bapak yang duduk sambil mengaji sendiri-sendiri merapat di sisi lain ruangan. Kemudian dia menjilat bibir bawahnya.

"Lu bingung apa?" Ustad Udin menunggu.

"Kalo saya nanya tentang hubungan saya sama pacar saya, Ustad ngasih solusi ngaji. Saya jadi ragu mau nanya," aku Bintang.

Ustad Udin tertawa. Suaranya renyah untuk ukuran seorang kakek bertubuh kurus kecil. "Lu takut gua suruh pindah ke Mekkah kalo nanya yang lain?"

Bintang tersenyum malu.

"Gua nawarin lu ngaji Quran karena di Quran banyak kebaikan." Ustad Udin menepuk bahu Bintang ringan. "Pelan-pelan lu bakal belajar kebaikannya Quran. Insya Allah kalo kita panjang umur, kita bisa belajar banyak, kita bisa menalar agama kita."

"Agama bisa dinalar, Tad?" Bintang meragu.

"Kenapa agama nggak bisa dinalar?" tanya balik Ustad Udin.

"Tapi..." Bintang menelan kata-katanya kembali.

"Karena Allah ghoib, lu ngerasa agama lo nggak bisa dikorek rasionalitasnya?"

Bintang tercekat. Ucapan Ustad Udin tepat sasaran.

"Justru Allah ingin manusia pakai nalarnya untuk mempelajari agama. Di Al Quran yang diturunin sama Allah, ada membahas kelahiran manusia, ada membahas tata surya, otak, sampe sidik jari. Islam dan Al Quran nggak pernah bertentangan sama ilmu pengetahuan. Al Quran nggak hanya membahas fikih. Al Quran juga membahas fenomena-fenomena alam. Allah mau manusia menalar semua itu biar nih kesadaran kita bangkit. Kita sadar Maha Besarnya Allah Subhanahu wa ta'ala. Keimanan kita meningkat dari nalar kita. Makanya, kita dianugerahkan akal buat mikir. Agama bisa pakai akal sehat." Ustad Udin menunjuk pelipis kanannya menggunakan telunjuk kanan.

Bintang baru kali ini mendengar agama sedekat itu dengan ilmu pengetahuan. Selama ini yang dia tahu agama adalah soal ibadah. Jika dia lalai, neraka ganjarannya. Jika dia rajin, surga hadiahnya. Belum pernah dia mendengar seseorang memberitahunya bahwa kitab suci agamanya membahas tentang ilmu pengetahuan.

"Kenapa banyak penceramah cuma bahas dosa dan pahala?" Bintang sedikit gentar saat bertanya.

Ustad Udin memandang langit-langit masjid. Badannya bersandar pada dinding. "Banyak penceramah yang bahas fikih karena lingkupnya ke kehidupan muslim sehari-hari. Lu mikirnya penceramah cuma bahas dosa dan pahala. Pendapat lu nggak salah karena kata dosa dan pahala sering disebut. Tapi kalo lu simak baik-baik dengan kerendahan hati, ada niatan baik yang coba dibagikan lewat dakwah itu. Lu diingatkan sama pencipta lu."

"Tapi kayaknya nggak adil banget buat manusia yang berdosa masuk ke neraka. Setan yang dibuat dari api kalo masuk neraka, mana ngerasain siksa api neraka kayak manusia?" Bintang mulai berani berargumen.

Ustad Udin menurunkan pandangannya dari langit-langit masjid. Tatapannya diliputi kilat-kilat geli dan bibirnya mengulas senyum tipis. "Lu pernah lihat tanah lempung?"

"Pernah. Yang kayak lumpur, tapi lebih padat, kan?"

"Ya, kayak gitu dah. Jadi lu tahu ya gimana tanah lempung."

Bintang mengangguk.

"Misal gua ada tanah lempung segenggam di tangan gue nih." Ustad Udin mengangkat telapak tangannya membentuk mangkok. "Terus gua lempar ke lu. Apa rasanya?"

"Sakit." Bintang terdiam setelah menjawab ragu-ragu.

Ustad Udin masih tersenyum. Dia menunggu dengan sabar Bintang yang tengah menalar jawabannya.

"Karena manusia yang diciptakan dari tanah bakal kesakitan kalo dilempar tanah, apa itu ... setan juga bakal sakit kalo disiksa di api neraka?" Bintang menarik kesimpulan dari analogi yang diberikan Ustad Udin.

Ustad Udin tersenyum lebih lebar. "Nah, udah pinter. Jangan ragu sama kekuasaan Allah."

Bintang mengulum senyum. Timbul kebanggaan atas kemampuannya berpikir dan kepuasaan terhadap jawaban Ustad Udin. Kemudian dia teringat soal Arsa. "Ada perintah berpakaian rapi ke masjid, Tad?"

"Ada lah. Lu ngapelin anak cewek orang aja pengen tampil cakep. Masak berkunjung ke rumah Tuhan nggak cakep. Cek Al Araf ayat 31. Kita diminta berpakaian yang indah pas ke masjid. Maknanya pakai baju lu yang rapi, wangi, bagus, tapi nggak berlebihan."

"Nggak berlebihan kayak gimana, Tad?"

"Jangan yang kelip-kelip bikin mata jamaah lain silau. Jangan yang wanginya dari seratus meter udah kecium. Jangan yang berlebihan lah. Pake nalar. Agama lu bisa dinalar sama akal sehat."

"Baik, Tad."

"Masih ada lagi apa lu mau ngopi? Ustad Jamal bawa kopi enak nih."

"Nggak usah, Tad. Makasih. Saya mau jemput Omar."

"Lah, nggak sholat Maghrib berjamaah?"

"Sholat, Tad. Saya cuma mau jagain Omar sehabis ngaji."

"Ya udah. Sono dah. Ntar bosen tu anak nungguin."

-o-

Iis mengira dia telah bisa lega setelah Endah yang mengambil tanggung jawab menyerahkan Omar ke Bintang. Ketika anak kecil berambut mangkok itu berteriak memanggilnya dari teras masjid, Iis tahu dia terpaksa berhadapan Bintang.

"Kenapa, Omar?" tanya Iis. Dia tergopoh-gopoh keluar dari area jamaah wanita masih dalam mukena.

"Baju aku kotor. Om Binbin sih..." Omar mendelik ke Bintang dengan jengkel.

Iis melihat noda kecokelatan di baju koko warna putih gading yang dikenakan Omar. "Baju Omar kenapa bisa kotor?"

"Omar makan mi ayam, tapi basonya lompat pas ditusuk," Bintang yang menjelaskan.

"It's your fault. You must know Chase is a German Shepherd. The bulldog one is Rubble," erang Omar.

Iis mengernyit. Dia tidak mengerti.

Bintang maju. Iis membelalak karena terlambat menyadari betapa banyaknya jarak yang terpangkas antara dirinya dan Bintang. Dia bahkan bisa menghidu aroma yang menguar dari pria itu.

"Kami ngobrolin Paw Patrol. Intinya aku ngeledekin Omar dan dia kesal. Bisa minta tolong hubungi Kak Asi dan minta dibawakan baju ganti untuk Omar?" kata Bintang yang berekspresi bersalah.

Iis mundur, terlalu gegabah dan tidak sadar bahwa dia baru saja memelototi Bintang. "Oke. Tunggu di sini." Iis setengah berlari masuk ke masjid. Dia bersyukur bisa menjauhi Bintang sebelum debaran jantungnya sampai ke telinga pria itu.

Iis menelepon Asiyah. Kurang dari lima belas menit kemudian Asiyah datang bersama pakaian ganti Omar. Iis mengintip Asiyah yang berbicara bersama Bintang dan Omar melalui jendela. Dia tidak berani bergabung bersama mereka di teras itu. Dia terlalu gugup dan semakin waswas. Karena ini adalah pengalaman pertamanya menaruh minat pada seseorang.

"Lo yang manggil Kak Asi?" tanya Endah. Perempuan itu baru datang setelah lama ke kamar mandi. Iis menduga Endah bertemu seseorang di tengah jalan dan berbicara lama. Andai Endah yang ada di situ lima belas menit yang lalu, Iis tidak perlu berhadapan dengan Bintang dan menjadi berdebar.

Iis menggeleng. Tak sepantasnya dia berpikiran demikian kepada Endah.

"Bukan lo yang manggil?" Endah memastikan.

Iis tersadar responsnya salah. Dia menjawab, "Gue yang manggil."

Endah tidak bertanya lagi. Dia hanya duduk di sebelah Iis. Mereka berdua diam dilatarbelakangi lantunan sholawat. Keduanya memiliki isi pikiran yang berbeda.

###
21/08/2024

I'm back!!
(⁠✿⁠^⁠‿⁠^⁠) yuk kembali berlayar di kisah Asiyah

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro