Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

54

Bab 54

Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
(QS. Al A'la: 17)

"Kamu yakin?" Alis Asiyah menukik.

Arsa tengah memasang jam tangannya saat dia menjawab, "Aku biasa mendampingi Omar setiap ada acara sekolah. Ini bukan field trip pertama Omar ditemani aku. Kalau Bu Atun lebih membutuhkan kamu untuk membantu kateringnya, aku nggak masalah kalau kamu nggak ikut field trip Omar."

"Kamu bakal nggak kerja hari itu?" Asiyah mendekati Arsa. Dia sengaja datang pagi, membantu Omar membawakan sarapan yang dibeli dari warung ibunya, sekaligus membicarakan mengenai situasi pada hari Rabu minggu depan.

"Aku bisa kerja setengah hari. Masuk siang. Setelah selesai field trip, Bintang yang akan gantikan menjaga Omar." Arsa melirik ke Bintang yang duduk di meja makan. Pria itu sedang membantu Omar membuka nasi bungkus.

"Apa nggak merepotkan kamu dan Bintang?" Asiyah menjalin kedua tangannya di depan perut dengan gugup.

Arsa melirik gerak-gerik tangan Asiyah, lantas menyahut, "Kenapa bisa merepotkan? Kantorku bukan tempat yang menekankan pentingnya karyawan berada di balik meja sejak pukul sembilan pagi sampai lima sore. Bintang juga memiliki keperluan di sini pada hari itu."

"Santai aja, Kak."

Asiyah berpaling ke Bintang. Pemuda itu tersenyum memamerkan deretan giginya. Melihat jempol Bintang teracung ke atas membuat perasaan Asiyah lega. Mungkin dia terlalu berlebihan menyikapi pengaturan yang Arsa buat.

"Kalau memang begitu, saya minta tolong ya untuk menjaga Omar di hari Rabu," mohon Asiyah tulus.

Omar lantas memasang wajah kesal. "I'm fine without Om Binbin. You don't need him to watch over ME." Omar sengaja memberikan penekanan pada kata 'me' dan menunjuk wajahnya sendiri.

"Eleuh eleuh, big boy nggak mau dijagain. Yaudah lah biar Om main game sendiri." Bintang mengangkat kedua bahunya dengan acuh tak acuh.

"No no no no. I need you." Bibir Omar mengerucut. Tampak jelas dia menyesali ucapannya yang sebelumnya. "Om Acha nggak punya game Mario. Om Binbin aja yang punya game Mario," ujarnya memelas.

Bintang tersenyum pongah. "Emang cuma Om Binbin yang punya game Mario. Kalau gitu, boleh dong Om jagain kamu?"

"Boleh dong. Kan Om Binbin." Omar mengedipkan matanya dengan centil.

Arsa mendengkus dengan bosan. Asiyah lain lagi. Ini adalah pertemuan kedua kalinya Asiyah dan Bintang. Pertama kali sewaktu Bintang datang tiba-tiba ke masjid untuk bertemu Ustad Udin. Dari dua kali pertemuan itu, dia belum banyak mengenal Bintang dan bagaimana keakrabannya dengan Omar. Ketika melihat Omar bisa bersikap menggemaskan kepada Bintang, Asiyah terkejut. Anak yang diasuhnya memiliki banyak kebiasaan yang belum diketahui, namun menyenangkan melihat Omar bisa bertingkah kekanakan di depan orang dewasa.

"Ada yang bisa aku lakukan untuk bantu katering Bu Atun?" Arsa mengubah pembicaraan.

Asiyah menggeleng. "Ada saudara Ibu dan sepupu yang bantu. Ustadzah Hanifah juga bantu menyediakan kue. Kayaknya nanti Iis bantu Ustadzah."

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

Asiyah dan Arsa kompak menoleh. Bintang buru-buru menyambar segelas air putih di dekatnya dan menenggaknya hingga tandas. Omar yang duduk di sebelah Bintang menggeleng sembari berdecak.

"Makannya biasa aja. Nggak ada yang mau ambil makanan Om Binbin." Omar menepuk lengan Bintang. "Pelan-pelan. Chew your food slowly," lanjutnya bak orang tua. "Sloooooowly," Omar menekankan dengan bergoyang bagai arus air.

Bintang tersenyum miris. Dia mengangguk setengah hati. Omar yang puas kembali menyuap nasi uduknya.

Asiyah tersenyum menahan geli. Kemudian dia teringat sesuatu dan berbalik menghadap Arsa. "Kamu nggak terlambat mengantar Omar ke sekolah kalau jam segini masih di rumah?"

"Nggak masalah sesekali mengantar Omar lebih siang. Aku juga sudah menginfokan ke guru kelasnya," Arsa menjawab sambil mendekati meja makan. "Makan bareng, Asiyah?"

Asiyah menahan napas sekaligus jengkel. Dia masih asing dengan cara Arsa menanggalkan panggilan 'Kak' dari namanya. Namun dia enggan berdebat. Arsa terlalu lihai membalas argumennya dan itu menyebalkan setiap kali dia terkena tangkisan Arsa. Selain itu, hari ini masih terlalu pagi untuk memulai perdebatan dengan Arsa. "Aku harus kembali untuk bantu Ibu jualan," tolak Asiyah.

"Nanti sore, Bintang ke sini. Tolong berikan kunci rumah ke Bintang."

"Oh-oke." Asiyah melirik Bintang. Sadar diperhatikan Bintang tersenyum lebar.

Arsa dengan wajah datar menjawab kebingungan Asiyah. "Bintang mengaji bersama Ustad Udin. Dia perlu mandi sebelumnya jadi, berikan saja kunci rumah ini ke Bintang supaya dia bisa bersih-bersih."

"Ternyata Bintang murid baru Ustad Udin!" seru Asiyah senang.

Arsa dan Bintang bertukar pandangan heran.

"Ada apa?"

"Kenapa, Kak?"

Arsa dan Bintang berbarengan bertanya. Lagi-lagi mereka saling lirik.

"Aku dengar Ustad Udin punya murid ngaji ganteng. Cowok baru. Banyak yang nggak kenal. Biasa cewek-cewek ngomongin pas beli nasi." Asiyah terkikik mengingat kehebohan para perempuan muda yang tengah mengantri di depan warung sederhana ibunya.

"Baru kemarin sore ngaji, sudah diomongin aja." Bintang tertawa kecil. Ada rasa bangga juga malu di wajahnya.

"Omar itu. Omar!" seru Omar tidak terima. Dia menoleh ke Bintang dengan wajah serius. "Aku murid ngaji Ustad Udin ganteng," dia menegaskan.

"Murid ganteng itu Om Bintang. Kamu ngajinya sama kakak cewek," tukas Bintang. Dari senyumannya jelas-jelas terlihat dia sengaja meledek Omar.

"Bukan Kak Iis. Kak Iis ngajarin aku ngaji kan itu ada Om Binbin bikin Ustad Udin nggak bisa sama aku," elak Omar. Anak itu kesulitan merangkai kata sebagai serangan balik.

"Nggak ah. Kamu ngajinya sama Kak Iis," ledek Bintang lagi.

"Bukan! Ustad Udin!"

"Sudah, Omar." Arsa memegang puncak kepala Omar dan memutarnya menghadap depan. "Habiskan makanan kamu."

"Aku murid ngaji ganteng," gumam Omar, masih tak terima.

"Iya, kamu murid ngaji ganteng untuk Kak Asi. Cepat selesaikan makan kamu." Arsa mengangkat sebelah alisnya ke arah Asiyah saat menenangkan Omar. Spontan Asiyah mengulum senyum geli.

Asiyah mengundurkan diri dari situ. Membiarkan mereka bertiga menyelesaikan makan dalam tenang. Tawanya tersembur saat dia menginjak luar gerbang rumah Arsa. Dia telah menahan diri untuk tidak tertawa akibat sikap konyol Omar yang ingin disebut murid ngaji ganteng. Bisa-bisanya anak itu kepikiran sampai ke situ?

"Kamu senang sekali."

Asiyah berhenti. Dia tersentak ketika terlambat menyadari kehadiran Daffa. Malu rasanya terlihat sedang tertawa sendirian di pinggir jalan.

"Iya, habis ketemu Omar." Asiyah melirik apa yang ada di tangan Daffa. Sebuah bungkusan hitam. "Mas dari mana?"

Daffa menunjuk rumah Asiyah dengan muka geli. "Beli sarapan di sana."

Asiyah mendengkuskan tawa saking malunya. Dia tidak kepikiran bahwa Daffa yang berdiri di depan gerbang rumahnya baru saja keluar dari sana juga. Daffa tersenyum maklum.

"Kamu dari rumah Omar? Belum berangkat ke sekolah?" tanya balik Daffa. Lehernya memanjang berusaha mengintip ke balik gerbang rumah Omar yang ada di belakang Asiyah.

"Hari ini mereka mau berangkat agak siang."

"Oh gitu." Daffa mengangguk kecil, lalu bertanya, "Nanti siang kamu yang jemput Omar?"

"Iya."

Mulut Daffa terbuka lalu tertutup. Asiyah menunggu apa yang ingin dikatakan Daffa. "Hati-hati di jalan. Jalanan ke sekolah Omar sering macet," akhirnya Daffa berbicara.

Agak aneh diingatkan tentang macet oleh Daffa sementara Asiyah sudah sering lewat situ untuk menjemput Omar. Namun dia tetap menanggapi dengan sopan, "Saya biasa berangkat lebih awal di hari Jumat. Mudah-mudahan kami terhindar dari macet. Soalnya Pak Jaja perlu Jumatan juga."

"Oh gitu. Oke." Daffa menggosok tengkuknya. "Hati-hati di jalan."

Meskipun Asiyah merasakan keganjilan dari gerak-gerik Daffa, dia menahan diri untuk bertanya. Dia tidak ingin melangkahi garis privasi orang lain. Demi sopan santun, Asiyah balas bertanya, "Hari ini Mas Daffa berangkat kerja?"

"Iya."

"Hati-hati di jalan juga." Asiyah mengembalikan pesan baik yang diberikan Daffa bersama senyuman tulus.

"Makasih." Daffa mengulum bibir bawahnnya, lalu melambai. Dia menyeberang jalan menuju rumahnya.

Asiyah memandangi Daffa sesaat. Timbul rasa heran melihat gerak-gerik Daffa barusan. Kemudian dia menggeleng supaya pikiran jeleknya pergi. Tidak baik untuk mengurusi orang lain. Dia mesti bergegas membantu ibunya.

###
13/10/2023
Andai Asiyah tahu apa yang penulis dan pembaca tahu soal Daffa :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro