Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29

Bab 29

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mereka merasa khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.
(Q.S An-Nisa: 9)

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Loh, Iis?" Atun menyambut kedatangan Iis. Dia menariknya masuk ke rumah. "Sama siapa ke sini?"

"Sama Hilda. Dia lagi nungguin Kak Asi kunci rumah Arsa."

"Kak Iis!" Omar berseru girang.

"Halo, Omar. Kamu lagi apa?" Iis bergabung bersama Omar duduk di lantai, di antara banyak barang.

"Aku bawa ini, ini, ini, ini, ini." Omar menunjuk barang-barangnya.

"Di sekolahnya ada yang ultah, terus dia dikasih bingkisan banyak banget," Atun menjelaskan.

"Wah, yang ultah baik banget ngasih banyak ke Omar."

"Sekolah orang kaya emang beda." Atun mengambil sayur kangkung di lantai. "Ibu mau siangi ini, kamu temani Omar dulu ya. Mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, Bu. Iis cuma main sebentar."

"Nggak ngerepotin. Ibu buatkan es teh manis ya. Omar mau juga?"

"Mau, Nyaik!"

Atun pergi ke dapur. Tersisa Iis dan Omar di ruang tamu.

"Omar, hari ini Kak Hilda datang buat ketemu Omar," kata Iis.

"Oh." Omar menoleh sekilas, lalu balik sibuk memainkan legonya. "Om Acha told me about it."

"About what?" Iis terkadang mengikuti gaya bicara Omar yang berbahasa Inggris. Dia menjadikan itu sebagai kesempatan melatih bahasanya. Sebagai lulusan universitas, Iis mengakui kemampuannya berbahasa Inggris masih kalah dari Omar.

"Om Acha said Kak Hilda will say sorry to me. She's smart and wise. Like me." Omar menaikturunkan alisnya dengan jenaka.

Iis dibuat tertawa. Ada saja tingkah anak ini.

"Kamu mau memaafkan Kak Hilda?"

"Of course. Forgiveness is important to live in community. My teacher told me, we must forgive each other and theeeeen forget what we forgive," cerita Omar. "You make your heart dirty if you hold your angry."

"Teacher Omar benar banget. Memaafkan itu seharusnya berbarengan melupakan kesalahan." Iis mengingatkan dirinya untuk menyimpan ocehan Omar sebagai pelajaran. Ilmu bisa datang dari mana saja.

"Kak Hildanya mana? Kok nggak datang-datang?" Omar menengok ke belakang.

"Kak Hilda masih temani Kak Asi. Kamu sekarang dijemput Kak Asi di sekolah?"

"Iya. Pak Jaja yang bawa mobil aku. Kamu tahu mobil merah aku udah ke bengkel. Terus dipake jemput aku. Kalau pergi sekolah sama Om Acha."

"Senang dong diantar Om Arsa, pulangnya sama Kak Asi."

"Iya dong."

Atun kembali bersama nampan berisi dua gelas teh dingin dan stoples camilan. "Cuma ada kue ketapang. Iis cobain. Kemarin beli ini di pasar."

"Jadi ngerepotin."

"Nggak apa-apa. Ibu senang kalau kedatangan Iis ke sini. Rumah jadi sejuk."

"Kalau aku datang?" Omar menunjuk wajahnya penuh harap.

"Kalau Omar ... hm, jadi hepi."

Omar tertawa. "Nyaik bisa ngomong English."

"Bisa kalau satu kata aja. Nggak kayak Omar ngomongnya banyak."

"Aku sekolah pake English. Jadi, aku ngomongnya banyak."

"Nyaik jualan nasi uduknya nggak pake English. Jadinya nggak ngomong banyak," gurau Atun. Omar tertawa lagi.

Iis tersenyum geli melihat keakraban Omar dan Atun.

"Is, Asi benar kunci rumah Arsa doang? Kok lama?" tanya Atun.

"Is susul deh. Jangan-jangan ada sesuatu."

"Hati-hati," pesan Omar.

Iis membelai puncak kepala Omar lembut. Sulit untuk tidak menyukai Omar yang ramah dan ceria. "Iya. Tunggu sini sama Nyaik ya."

-o-

"Kak Asi. Kak!"

Asiyah mengusap air matanya tergesa sambil menghindari Iis.

"Kakak nangis?" Iis telanjur melihatnya.

"Nggak." Suara Asiyah serak khas orang habis menangis.

"Gimana bisa nggak? Suara Kakak parau gitu."

Asiyah menggeleng. Dia belum bisa berpikir lurus. Mencari alasan pun masih jauh dari kemampuan otaknya saat ini akibat campur aduk emosi yang menjejali hatinya.

"Mana Hilda, Kak?"

"Hilda pulang sama mamanya."

Mata Iis membesar. "Bu Munaroh ke sini?"

"Sama Bu Ifah."

"Apa jangan-jangan Kakak nangis karena Bu Munaroh?" Iis menarik lengan Asiyah untuk menghadapnya. "Pipi Kakak kenapa merah sebelah?"

"Ini...." Asiyah berpikir untuk berbohong. Hanya saja dia sedang malas mencari alasan. "Ditampar," lanjutnya lesu.

"Siapa yang tampar?"

"Mamanya Hilda."

"Gimana bisa? Ya Allah, Kak. Is minta maaf karena nggak ada saat kejadian. Maafin, Iis yang teledor."

"Iis, ini bukan salah kamu."

"Ini salah Iis. Kalau Iis nggak ajak Hilda ke sini, Bu Munaroh nggak akan kasar ke Kakak."

Asiyah terpikirkan sesuatu. "Kamu ajak Hilda ke sini sudah izin Bu Munaroh?"

Iis menggeleng. "Di rumah hanya ada Hilda. Memang ini waktu kami biasa ke masjid untuk bantu pengajian remaja."

"Bagaimana Bu Munaroh bisa tahu Hilda di sini?" Asiyah meneguk ludahnya sendiri.

"Rumah Hilda kan searah dari sini."

"Apa bisa ada kebetulan begitu?" gumam Asiyah. Dia tidak ingin berburuk sangka, tetapi matanya berlari ke arah kanan rumah Arsa. Tetangga lain yang pernah memanaskan kasus Arsa-Hilda.

"Kakak mikir apa?"

"Nggak. Nggak. Ayo ke rumah."

"Kak." Iis menahan pergelangan tangan Asiyah. "Aku benar-benar minta maaf."

Asiyah tersenyum lemah. "Kamu nggak salah. Mana kamu tahu bakal ada masalah kayak gini. Kakak mau cerita ke Ibu."

-o-

"Kurang ajar Munaroh. Seenaknya saja dia menampar kamu." Atun marah setelah mendengar cerita Asiyah. Mereka; Asiyah, Atun, dan Iis, berbicara di dapur demi menghindari Omar mendengar. Anak itu masih asik bermain di ruang tamu. Iis sengaja berdiri di ambang dapur untuk memastikan Omar tidak mencuri dengar obrolan mereka.

"Aku penasaran apa maksud Bu Munaroh yang menuduh Kak Asi ikut campur urusan Omar dan Harry. Gimana Bu Munaroh bisa tahu kalau Kak Asi melapor soal itu ke Arsa?" Iis menoleh ke Asiyah yang duduk di kursi dekat rak piring. Asiyah memegang handuk basah untuk mengompres pipinya yang kena tampar.

"Kamu nggak ngomong ke mamanya Harry? Atau Hilda yang ngasih tahu?" duga Asiyah.

"Hilda berhati-hati banget sama mamanya sejak kejadian tempo hari." Iis melirik Atun. "Yang mamanya melabrak Arsa."

Atun mengangguk. "Mungkin mamanya Harry yang kasih tahu."

"Aku nggak cerita ke mamanya Harry soal Kak Asi lapor ke Arsa. Aku hanya cerita tentang pertengkaran Harry dan Omar." Iis mendesah. "Dia malah marah dan bilang kalau masalah kecil nggak usah dibesar-besarkan."

"Gimana bisa dianggap masalah kecil kalau ada fitnah di dalamnya berkaitan Hilda dan Arsa. Apa mikirnya mamanya Harry?" Atun mendengkus kesal.

"Aku minta mamanya Harry minta maaf ke Arsa. Kayaknya karena itu dia marah. Dia ngerasa anaknya nggak salah." Iis menunduk dan bergumam, "Maaf, Kak Asi. Iis nggak bisa ngomong baik-baik ke mamanya Harry."

"Kamu bukannya nggak bisa ngomong baik-baik. Dia yang nggak bisa diajak ngomong baik-baik. Awal pindah sini baik-baik, sekarang tingkahnya menyebalkan karena bergaul sama Ifah dan Munaroh. Kalian harus jaga diri. Pilih-pilih teman itu nggak salah. Kalau salah berteman, rusak hidup kalian." Atun menasihati Asiyah dan Iis yang bersamaan mengangguk.

"Aku akan nanya Arsa. Kayaknya dia tahu alasan Bu Munaroh marah. Aku nggak mau dia tahu dari orang lain," kata Asiyah.

Iis dan Atun sama-sama setuju.

Asiyah berharap Arsa segera pulang dan mendengar ceritanya.

Iis berpamitan karena sudah waktunya mengajar di masjid. Atun mengantar Iis ke depan, lalu kembali beberapa menit kemudian.

"Asi, kamu melamun?"

Asiyah menurunkan handuknya. "Hanya masih kaget, Bu."

Atun meremas bahu Asiyah dengan lembut. "Ibu rasanya mau datangi Munaroh dan tampar dia. Kurang ajar mulut dan tangannya. Seenaknya menjelekkan hidup anak orang. Dianggapnya hidup anaknya saja yang bagus? Nggak sadar diri, dia bikin anaknya malu."

"Bu, Asi ada rasa bersalah ke Hilda. Tadi Asi bilang Bu Munaroh salah menilai perasaan Arsa ke Hilda. Karena termakan emosi, Asi jadi menyerang Hilda juga."

"Memangnya Munaroh hanya menyerang kamu? Dia nyerang Ibu dan bapakmu. Menurut kamu, kamu saja yang salah? Dia pun salah. Sudah. Ibu mau ngomong sama Pak Dimas nanti."

"Pak Dimas papanya Hilda?"

"Iya. Dia harus tahu ulah istrinya."

"Bu, apa-"

"Asi, kita berhak membela diri kita kalau nggak salah. Mereka nggak bisa seenaknya menyerang kita."

Asiyah membiarkan ibunya mengambil jalan untuk membelanya. Dia tahu ibunya mempunyai alasan baik.

###

22/08/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro