13
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berhari rayalah karena melihatnya, jika hilal hilang dari penglihatanmu maka sempurnakan bilangan Sya'ban sampai tiga puluh hari," (HR Bukhari).
♥
Asiyah kalah dalam perdebatan. Dia tidak sanggup berkata-kata saat Arsa memintanya menghargai tanggung jawab pemuda itu. Meski Asiyah masih agak berat hati. Selaku kakak, begitulah yang Asiyah pikir, dia pantas membantu meringankan beban Arsa tanpa pamrih.
Akhirnya, dia setuju mencoba menjaga Omar seharian untuk satu hari tanpa dibayar.
Hal tersebut barang tentu menggembirakan Omar. Anak itu senang duduk di belakang kursi Arsa dan mengoceh. Apalagi lawan bicaranya selalu mendengarkan, jarang mengkritik, dan cantik.
Kalau mengobrol bersama Arsa, Omar sering kena tegur, walau dia juga banyak tertawa karena Arsa punya selera humor yang sama dengannya. Hanya sedikit disayangkan, Arsa masih payah mengenai Paw Patrol.
"You will wait for me till the school end?" Omar mengonfirmasi.
"Nggak. Tante Asi punya pekerjaan di rumahnya. Nanti Tante Asi yang jemput kamu pulang," jawab Arsa. Dia tetap fokus mengendarai mobil.
"Kok Tante Asi sih? Nggak asik nih. Aku kan bilang Kakak Asiyah." Omar melipat lengan di depan dada dengan jengkel. Karena duduk di belakang kursi Arsa, dia tidak bisa mengekspresikan protesnya. Harusnya Arsa melihat muka sebal Omar dan meminta maaf.
"Oh, Kak Asiyah." Arsa tersenyum meledek. Bocah berambut mangkok itu sudah membesarkan hati Asiyah dengan pilihan yang dia gunakan. Arsa dapat melihatnya dari semu wajah Asiyah yang terpampang di spion tengah.
"Have you ever seen my school?" Omar beralih ke Asiyah.
"Never."
"You'll see it. My school is big with spacious playground. Ada best friends aku. Oscar and Oliver. They're cool."
Arsa sudah hapal obrolan Omar mengenai sekolah dan teman-temannya. Dia menyalakan pemutar musik pada mobil. Senandung lagu lawas relijius berputar.
"Lagu ini," Asiyah bergumam spontan.
"Do you like the song?"
"I like it. Lagunya bagus."
Omar mendesah, "Another old man."
"Kenapa?" Asiyah tersenyum geli melihat tingkah Omar di atas kursi anak.
"Om Acha punya old songs. Dia nggak tahu Selena Gomez, dia nggak punya lagu Better When I'm Dancing. Dia nggak pernah nonton video music. Such an old man. He's not padet."
"Update," ralat Arsa sembari melempar senyum ke Asiyah melalui spion tengah.
Asiyah tersenyum juga, lantas menoleh ke Omar dengan cepat. Arsa menelan kecut mengetahui senyum itu timbul sebab Omar, bukan untuknya.
"Old songs ada yang bagus. Kayak lagu ini. Maknanya dalam, ada ilmunya. Bagus buat kamu belajar," ucap Asiyah.
"That's it. You talk like someone. Belajar. Belajar. Belajar MELULU." Bibir Omar maju untuk menekan kata 'memulu'.
"Kamu mau menjadi orang dewasa yang bodoh?" timpal Arsa.
"We don't study everytime dong. I need more time to play."
Omar tidak melanjutkan ocehannya lagi. Dia terbawa suasana dan bernyanyi mengikuti lagu yang tengah diputar.
"Ada anak bertanya pada bapaknya. Buat apa berlapar-lapar puasa. Ada anak bertanya pada bapaknya. Tadarus tarawih apalah gunanya."
Asiyah senang mendengar nyanyian Omar. Dia pun mengikutinya, menyanyikan lagu itu bersama-sama.
"Lapar mengajarmu rendah hati selalu. Tadarus artinya memahami kitab suci. Tarawih mendekatkan diri pada Ilahi."
Arsa mengulum senyum menikmati duet di belakang kursinya. Asiyah, tahukah dia betapa besar guncangan yang telah ditimbulkan akibat bernyanyi santai bersama Omar? Jantung Arsa serasa didesaki jutaan bunga yang bermekaran.
oOo
"Dia yang akan menjemput Omar nanti siang, Miss." Arsa mengenalkan Asiyah pada guru kelas Omar.
Gendis tersenyum lembut. "Boleh tahu namanya, Bu?"
"Saya Asiyah."
Gendis beralih ke Arsa. "Kalau bisa, Bu Asiyah tetap menunjukan kartu antar jemput Omar supaya nggak ada salah paham saat penjemputan nanti siang. Apa bisa, Om Arsa?"
"Bisa. Nanti saya kasih kartunya ke Asiyah. Oya, Omar biasa panggil Kak Asiyah."
"Baik, Om. Kak Asiyah sampai jumpa nanti siang ya. Kalau nggak bertemu saya di lobi, datang saja ke kelas K-1."
"Iya, Miss Gendis. Terima kasih."
"Sama-sama."
Arsa dan Asiyah berdiam agak lama memerhatikan Gendis yang meninggalkan mereka. Kemudian Arsa yang mengajak Asiyah keluar dari lobi.
"Miss Gendis cantik, ya?" Asiyah berbicara setelah mereka meninggalkan bangunan sekolah menuju tempat parkir mobil Arsa.
"Menurut Omar, Miss Gendis cantik setiap hari Jumat." Arsa mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya.
"Kenapa begitu?"
"Dia punya alasannya. Tanya sendiri. Kamu punya waktu seharian mengobrol bareng Omar, asal selalu pastikan dia tidur siang dan mengerjakan PR."
"Aku heran kenapa anak TK sudah punya PR di usia yang mestinya mereka main-main aja. Minggu lalu Omar dapat tugas menghapalkan sight words. Aku kasihan," komentar Asiyah saat masuk ke mobil.
"Anak-anak TK nggak mungkin mendapatkan PR kalau nggak ada tuntutan dari tingkat belajar selanjutnya. Yang dipelajari Omar sekarang adalah bentuk tabungannya supaya bisa masuk jenjang berikutnya," balas Arsa.
"Bukannya SD nggak memasang kriteria calon murid bisa membaca, menulis, dan menghitung?"
Arsa mengangkat bahu. Dia memberikan senyuman tipis pada Asiyah yang kini duduk di sebelahnya. "Pertanyaan yang bagus, tapi bukan kapasitasku menjawab. Kamu punya kesempatan mencari tahu sistem di lapangan dan sistem di kertas pada pendidikan. Apakah sesuai?"
"Kamu pasti mikir aku punya banyak waktu luang untuk cari tahu seputar pendidikan." Asiyah menanggapi dengan setengah getir.
"Hanya menyarankan. Bukannya mengetahui lebih banyak bakal lebih baik. Oya, gimana kamu mau pulang?"
"Aku ngojek aja. Biar cepat."
"Ini." Arsa menyerahkan selembar kartu berbahan plastik. Pada kepala kartu terdapat tulisan DISMISSAL ID TAG. Ada foto Omar beserta profil singkat berupa nama, kelas, guru kelas, dan guardian. Nama Arsa yang tercantum pada detail guardian.
"Kartu ini yang dibilang Miss Gendis tadi?" Asiyah menerima kartu itu dan mengamatinya.
"Kalau kamu menerima tawaranku, aku bisa meminta sekolah membuatkan satu buat kamu. Kartu ini diperlukan untuk keamanan murid."
"Orang tua dan wali juga punya?"
"Suster, sopir, ajudan, dan semua orang yang bakal menjemput anak biasanya diminta menunjukan kartu ini. Ada murid yang dijemput kakeknya dan si kakek punya kartu ini."
"Keamanan sekolahnya boleh banget dicontoh."
"Biayanya yang jangan dicontoh," kelakar Arsa.
Asiyah meringis, "Mahal?"
"Setimpal sama yang didapat. Aku antar sampai halte dekat kantorku. Gimana?"
"Kayaknya tadi aku lihat halte di dekat sini. Aku bisa diturunkan di situ. Nanti tinggal pesan ojek."
"Dekat kantorku aja. Lebih aman karena ramai. Ada warung kopi. Kamu bisa jajan sambil menunggu."
"Kamu promosi warung kopi?" Asiyah menyipit. "Bukan warkop kekinian yang harganya melangit, kan?"
"Apa aku nggak terlihat seperti peminum kopi pinggir jalan yang gelasnya bekas akua?"
"Sekarang sih nggak. Kamu kayak eksmud."
"Kebutuhan untuk meyakinkan klien. Aku tetap pelanggan setia warteg dan nasi uduk Bu Atun."
"Kalau kamu berhenti langganan nasi uduk Ibu, awas aja."
"Nasi uduk Bu Atun ada peletnya, nggak bisa pindah warung," canda Arsa.
###
28/11/2021
Bukan nasi uduknya yang pake pelet, kamu yang udah mentok pesonanya Miss Bek, Ar 😝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro