Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

تَبَارَكَ ٱلَّذِى جَعَلَ فِى ٱلسَّمَآءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَٰجًا وَقَمَرًا مُّنِيرًا
Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (Al Furqan: 61)

"Bentar. Bentar deh. Aku mendadak linglung. Kamu mau aku jadi pengasuh Omar?"

"Kalau kamu bersedia."

Asiyah memandang Arsa dengan sorot heran dan ngeri. Dia menyukai Omar dan tulus mau membantu menjaga anak menggemaskan itu, tetapi membayangkan dibayar untuk perbuatan baik adalah hal yang berbeda. Asiyah sepertinya dapat menduga alasan Atun menolak dibayar Arsa.

"Aku bakal bersedia bantu jaga Omar. Tapi, Ar, kamu nggak perlu bayar. Aku dan Ibu ikhlas membantu karena kami menyukai Omar," tutur Asiyah.

Arsa mengangkat bahu dengan santai sambil berujar, "Aku anggap itu penolakan. Kalau begitu, Omar akan ikut ke kantor atau dititipkan di penitipan anak."

"Ar, aku nggak nolak tawaran kamu. Yang aku nggak setuju adalah pembayarannya. Aku nggak usah dibayar," tukas Asiyah.

"Yang aku tangkap, kamu keberatan. Tawaranku adalah menjaga Omar dan mendapatkan bayaran. Bukan salah satunya."

Asiyah heran menghadapi sikap keras kepala Arsa. Yang dia ingat, Arsa adalah anak penurut dan manis. Bukannya pria yang memberikan opsi ya dan tidak tanpa mengindahkan alasan lawan bicara.

"Bukannya tawaran itu seharusnya menyesuaikan dengan keinginan pemberi dan penerima tawaran?" Asiyah membalas. Dia mulai tersulut, tetapi sikap Arsa tenang dan tidak mungkin dia balas dengan amukan. "Kamu inginnya A dan B, sementara aku mau A dan C. Kita masih bisa mencari kesepakatan yang adil."

"Seperti?"

Asiyah terdiam memikirkan opsi lain yang pas untuknya. Dia memahami alasan Arsa yang ingin membayar jasa menjaga Omar. Di lain pihak, Asiyah tidak mau menerima pembayaran.

"Kamu bisa sedekahkan uang yang mau kamu beri ke aku," usulnya.

Alis Arsa terangkat. "Kenapa harus aku? Uang itu hak kamu, sedekahkan sendiri."

Astagfirullah, sejak kapan Arsa jago membalas ucapan orang tua? pikir Asiyah sambil menghela napas.

"Kamu nggak usah bayar aku, cukup rutin beli nasi uduk Ibu setiap pagi. Gimana?"

"Tanpa disuruh, aku langganan jualannya Bu Atun."

"Pokoknya, aku nggak mau dibayar untuk menjaga Omar," tegas Asiyah yang buntu bagaimana menghadapi Arsa.

"Oke, kalau begitu." Arsa mengangguk kecil bersamaan bahunya diangkat.

"Kamu setuju nggak bayar aku?" Asiyah kembali bersemangat.

"Omar bakal ikut ke kantor sampai aku menemukan penitipan anak yang cocok."

"Ar!" seru Asiyah jengkel.

"Ya!" balas Arsa dengan nada bercanda.

"Aku serius nggak mau dibayar."

Arsa diam memerhatikan. Asiyah yang semula ingin berargumen batal karena ditatap sedemikian intens. Kecanggungan dirasakannya sekarang.

"Coba dipikirkan dulu. Nggak usah terburu-buru menolak," kata Arsa. Kemudian dia keluar dari mobil.

Asiyah mengikuti. Aneh jika dia masih duduk di mobil orang lain.

"Ar," Asiyah menutup mobil dan memutar tumit menghadap Arsa, "sejak tadi, kayaknya kamu nggak manggil aku kakak kayak biasa?"

"Karena aku nggak mau lagi manggil kakak kayak biasa." Arsa tersenyum lebar. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," desis Asiyah masih agak linglung. Tampaknya Arsa manis dalam ingatannya telah tumbuh menjadi pria berbeda. Sosok yang susah dihadapi, nilainya.

Asiyah meninggalkan rumah Arsa. Magrib segera tiba dan sudah sepatutnya dia telah sampai di rumah.

Sebuah sedan hitam mewah berhenti di seberang rumahnya. Asiyah mulai familiar dengan kendaraan itu. Milik Daffa. Jendela di sisi pengemudi turun dan Daffa meneriakan namanya. Asiyah menunggu di depan rumahnya dengan sabar. Daffa turun dari mobil, lalu menyeberang jalan.

"Ini buat kamu dan Bu Atun," kata Daffa begitu tiba di hadapan Asiyah. Dia menyodorkan tas kertas berlogo rumah makan terkenal.

"Terima kasih, Mas. Dalam rangka apa membagikan makanan?" Asiyah menerima tas itu.

"Nggak ada dalam rangka apa-apa, hanya berbagi ke tetangga baik aja. Selama ini Bu Atun sering mengirim makanan. Sesekali bergantian," jawab Daffa santun.

"Jangan dijadikan beban kalau Ibu bagi-bagi makanan. Kami hanya tinggal berdua. Masak sering kebanyakan, makanya berbagi makanan ke tetangga. Ibu pasti senang dapat kiriman makanan dari Mas Daffa. Sekali lagi, makasih ya, Mas Daffa."

"Iya, terima kasih kembali. Titip salam buat Bu Atun."

"Loh? Nggak mampir sebentar?"

Daffa tahu tawaran itu hanyalah basa-basi. Lingkungannya tinggal ini cukup agamis. Para lelaki berangkat beribadah di masjid dan majelis taklim ibu-ibu sangat aktif. Berkebalikan kompleks mewah tempat tinggal orang tuanya. Daffa tidak boleh melanggar aturan bermasyarakat bahwa menjelang magrib, tidak boleh mampir ke rumah tetangga. Meski berat ditolak, Daffa berhasil menggeleng.

"Kalau begitu, Asi masuk ya," Asiyah berpamitan.

Daffa mengangguk seraya tersenyum. Dia masih memandangi figur Asiyah yang berjalan melewati pekarangan asri milik Bu Atun, lantas lenyap di balik pintu.

Asiyah, perempuan itu telah memancing rasa penasaran dalam diri Daffa. Perasaan tertarik pada lawan jenis.

Daffa menarik napas panjang. Dia berbalik dan menyeberang jalan.

"OM DAFFAAAA!"

Daffa berputar. Dia yakin mendengar namanya dipanggil, tetapi tak seorang pun di sekitar situ.

"LOOK UP, OM! I'M HERE!"

Daffa mendongak. Senyum terbit di wajahnya menemukan Omar melambai dari jendela lantai dua rumah yang persis di sebelah kanan rumah Bu Atun. Rambut anak itu tidak lagi terlihat seperti mangkok dan menampilkan seluruh wajahnya yang putih. Dia memakai bathrobe berwarna merah.

Tangan Daffa terangkat. Perasaan hangat timbul dalam hatinya.

"SOLAT YUK, OM! USTAD UDIN NGGAK HOLIDAY SOLAT MAGRIB JAMAAH!" Omar memegangi tralis jendela. Pipinya menempel pada tralis, sementara bibirnya menonjol di antara dua batang besi tempa.

Daffa mendengkuskan tawa melihat sosok Omar. Dia mengangguk sekali, lalu mengacungkan jempolnya.

"MASJIDNYA OVER THERE, NEAR THE GATE. SAF DEPAN YA. JANGAN DI BELAKANG KAYAK OM ACHA. MEN SHOULD TAKE THE FRONT ROW. REMEMBER?"

Daffa tidak dapat lagi menutupi rasa geli. Dia tertawa di balik tangan yang menutupi mulut. Bocah ini selalu bertingkah bak orang dewasa.

"Oke," jawab Daffa. Dia tidak akan berseru menyamakan suara Omar karena perbuatan anak itu sudah mengundang perhatian tetangga mereka.

"PAKE PARFUM-"

Mulut Omar dibekap dari belakang. Arsa muncul di jendela. Pria itu tersenyum sungkan pada Daffa.

"Maaf, Mas," kata Arsa dengan suara tak menjangkau telinga Daffa. Namun gerak bibirnya cukup menjelaskan.

Kemudian jendela itu ditutup dan Omar tak terlihat lagi. Tetangga yang keluar dari rumah kembali ke dalam. Daffa masih di situ. Dia memandang jendela itu sedikit agak lama, lalu melirik rumah Bu Atun.

Dia penasaran pada Asiyah dan menyukai interaksinya bersama Omar.

Rasa hampa yang dulu menyelimuti hatinya perlahan terangkat semenjak mengenal mereka.

Daffa tersenyum kecil dan segera memasukan mobilnya ke carport. Dia tak sabar pergi solat Magrib berjamaah.

Untuk pertama kalinya, Daffa bersemangat menyambut datangnya waktu solat dan pergi ke masjid.

Masya Allah, seorang anak telah membuka hati seorang pria dewasa untuk beribadah.

###

29/09/2021

Nah, Mas Daffa datang tuh. Yang kangen ama Mas Daffa, angkat tangan 🖐

Yang cinta Omar, kasih goyang 💃

Yang kurang duit, perbanyak sedekah ☺️🙏 Insya Allah bakal dilipatgandakan rejeki kamu. Aamiin.

Salam hangat,

Miss Bebeklucu (•ө•)♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro