6. Perang Pertama
Waktu keluar dari dojang, Juna masih terengah-engah. Bukan karena habis berlari, tetapi karena kekesalan yang menumpuk dalam dadanya. Laki-laki berseragam putih abu-abu itu tidak mengungkapkan perasaannya dengan baik. Contohnya seperti perasaan cinta bertepuk sebelah tangannya pada Ara yang tak kunjung usai. Juna jarang sekali bisa mengekspresikan kekesalannya. Mungkin itu salah satu sifat yang ia warisi dari Bunda. Juna bisa terlihat baik-baik saja meski sebenarnya hati dan kepalanya sudah mau pecah.
Juna sedang menaiki motor matik hitam miliknya ketika teman latihannya datang. “Gue denger, lo keluar dari dojang?”
Jika Juna dalam mode normal, ia pasti akan menjawab dengan canda. Namun, kini laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu berlapis jaket itu hanya bisa diam dan menghela napas. Ia mengenakan helm tanpa menghiraukan temannya yang kelihatan masih ingin bertanya.
“Katanya ada pelatih baru dan mau buat kelas eksklusif. Eh, lo malah keluar gitu aja? Beneran?"
Wajah Juna memerah, ia membuang napas kasar dan menyalakan motornya dengan cepat. Sebelum ia tidak bisa mengontrol emosinya, Juna segera meninggalkan dojang. Laki-laki berjaket hitam yang tidak dikancing itu melaju dengan kencang. Ada sesak yang masih berkecambuk dalam dadanya. Perasaan marah seperti beberapa tahun lalu kembali ia rasakan.
Juna memilih untuk tidak pulang ke rumah. Ia malah duduk di pos ronda yang ada di dekat rumahnya. Ia mulai menatap mangga yang menggantung di dekatnya dan perlahan ingatan dari masa lalu kembali menghampirinya.
"Aku bakal keluar dari rumah ini!" Juna berteriak.
"Berani kamu langkahkan kaki keluar, jangan harap kamu bisa kembali."
Saat itu, Juna yang masih berusia empat belas tahun ketika ia memilih untuk benar-benar pergi dari rumah.
Juna masih ingat betul penyebab pertengkaran mereka saat itu. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas 2 SMP, ia juga mulai mengenal kegiatan selain taekwondo. Laki-laki berlesung pipi itu mulai tertarik untuk bermain alat musik. Juna mulai bolos latihan taekwondo untuk latihan band. Ia merasa kalau ia harus mengutamakan musik dibanding taekwondo. Tentu saja, Ayah sama sekali tidak mendukung hobinya saat itu.
Untuk pertama kalinya, Juna mengungkapkan keinginannya untuk keluar dari taekwondo dan ingin menekuni musik sebagai sesuatu yang dia sukai. Ia keluar dari taekwondo alasan ingin fokus dengan musik. Namun, mundurnya Juna saat itu bertepatan dengan turnamen nasional yang akan berlangsung.
Bunda sempat bertanya pada Juna tentang alasannya. Apakah ia benar-benar ingin mundur atau ia hanya mengalami kelelahan sesaat, tetapi Juna yang sedang dalam masa puber malah berteriak pada Bunda dan mengatakan kalau ia tidak ingin bicara dengan Bunda.
Kejadian itu sempat membuat suasana rumah menjadi dingin. Juna tidak lagi ikut sarapan bersama. Ia juga tidak lagi berlari pagi bersama Ayah. Saat Juna terang-terangan menolak untuk ikut turnamen, perdebatan mereka akhirnya pecah.
"Musik cuma menarik perhatian kamu sementara. Ayah nggak pernah larang kamu suka musik tapi nggak begini caranya." Laki-laki paruh baya itu sudah melipat tangan di dada. Tatapan matanya membuat image ramah hilang dari wajahnya.
"Aku nggak mau ikut turnamen." Juna berbicara pelan, tetapi tetap berpegang teguh pada pilihannya.
"Kamu salah satu atlet andalan, kamu nggak bijaksana kalau kamu mundur di tengah jalan begini. Gimana dengan tim kamu?"
Juna tidak menjawab, ia malah melotot. Kini ia merasa kalau pilihannya tidak dihargai.
Melihat situasi yang semakin memanas akhirnya Bunda mendekat. "Juna coba ngomong sama Bunda, kenapa kamu mau berhenti taekwondo?"
Tatapan Juna melunak. Matanya mulai berkaca-kaca. "Aku capek."
Bunda menggenggam tangan putranya. "Oke, kalau Juna capek, Juna boleh nggak ikut turnamen."
Wajah Ayah memerah. Suaranya kini diselimuti emosi. "Lina, kamu nggak boleh seenaknya ngambil keputusan seperti itu!"
Kini tatapan Ayah semakin tajam pada Juna. "Kalau kamu memang mau mundur dari turnamen ini, silakan mundur juga jadi anak Ayah."
Juna kembali diam dan hanya menatap mata Ayah dengan pelototan yang seolah mengeluarkan laser kemarahan.
"Kamu nggak bisa mempermalukan Ayah kayak gini. Berapa kali kamu bolos latihan? Ayah nggak pernah negur kamu. Berapa kali kamu pura-pura sakit? Ayah nggak pernah marahin kamu. Sekarang kamu bilang kamu mau berhenti latihan karena capek?"
Juna masih diam. Tangannya sudah terkepal. Ekspresinya juga menunjukkan kalau ia berusaha menekan emosinya.
"Kalau kamu benar-benar memilih untuk mundur. Silakan keluar dari rumah ini! Nggak ada tempat untuk anak nggak bertanggung jawab seperti kamu!" Emosi Ayah sudah meledak.
"Aku bakal keluar dari rumah ini!" Juna berteriak.
Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang Juna ucapkan sebelum keluar dari rumah.
"Oy, ngelamun aja. Awas kesambet. Pohon mangga ini ada hantunya, lho."
Seketika Juna ditarik kembali dari ingatan masa lalunya.
"Udah dibilangin jangan kebanyakan ngelamun. Kenapa sih, lo punya masalah hidup apa?" Ara datang dengan sekantung belanjaan yang Juna duga berasal dari warung klontong yang ada di dekat pos ronda.
"Berisik." Juna hanya melihat sahabatnya itu sekilas, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Arak berdecak. "Idih, sensi amat."
Setelah mengatakan kalimat mengejek, gadis berponi itu tetap duduk di sana tanpa mengatakan apapun. Ia malah terlihat sibuk menatap paving block.
"Ngapain lo di sini?" Juna bertanya setelah Ara tidak kunjung beranjak dari sana.
Ara menoleh kemudian tersenyum. "Kayaknya lo butuh ditemenin."
Juna tidak membalas senyum gadis itu. "Gue enggak minta ditemenin."
Ara menjitak dahi Juna. "Gue yang pengen memenin."
Mendengar jawaban Ara, laki-laki berlesung pipi itu tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menghela napas.
"Kalau udah siap cerita, gue siap dengerin." Ara kini menatap Juna. Jenis tatapan yang jarang ditunjukkan. Tatapan yang bisa membuat laki-laki di hadapannya berbicara jujur tanpa beban.
"Gue, ..." Juna menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "ribut sama Ayah."
"Terus?" Kini Ara sudah mengubah posisinya menjadi menghadap Juna.
Akhirnya, Juna menceritakan kejadian yang terjadi di dojang. Ia juga menceritakan ketidaksukaannya pada pria mengaku sebagai teman Ayah. Sepanjang mendengar cerita Juna, Ara tidak menyela laki-laki itu sama sekali. Namun, ketika Juna selesai menyampaikan ceritanya, Ara malah memukul kepala laki-laki itu.
“Makanya, kalau ngomong tuh dipikir dulu. Lo tuh, kebiasaan. Bukannya belain Sabeum, eh, Ayah. Posisinya lo yang salah. Sekarang gue tanya, tujuan lo ke dojang ngapain? Lo mau tanya alasan Ayah nyuruh lo berhenti latihan kan? Lo ke sana bukan untuk berantem sama Ayah.”
Juna terdiam.
"Kata orang, nggak semua pertanyaan ada jawabannya, tapi menurut gue semua pertanyaan pasti ada jawabannya. Pilihannya cuman dua, jawaban itu bisa lo ketahui atau enggak. Kalau cara lo kayak gini, gue yakin Ayah juga nggak akan mau cerita sama lo tentang alasannya nyuruh lo berhenti taekwondo." Getar ponsel Ara membuat kalimat gadis itu berhenti di sana. Ia mengangkat panggilan itu dan segera beranjak dari tempatnya.
Juna masih diam.
"Pulang sana lo. Dicariin Bunda nanti. Besok pagi, lo lari bareng Ayah, deh. Siapa tahu bisa baikan." Ara melambai. "Gue duluan, cabenya ditungguin Mama."
Juna hanya bisa menatap punggung Ara yang semakin lama semakin menjauh. Setelah gadis itu menghilang di balik pagar, Juna berbicara sendiri. "Mungkin Ara benar, guenya aja yang suka berlebihan."
***
Hari sudah gelap ketika Juna akhirnya memilih untuk pulang. Begitu membuka pintu, Juna langsung disambut oleh aroma lezat dari masakan Bunda. Juna langsung menuju ke dapur dan ia melihat Bunda yang tengah sibuk di depan kompor.
Mendengar bangku di meja makan bergeser, Bunda menoleh, kemudian tersenyum seperti biasa. "Juna udah pulang? Kok, tumben sampai malam?"
"Iya, tadi abis ngobrol banyak sama Ara." Juna hanya mengatakan setengah dari kebenaran karena ia hanya berbicara dengan Ara selama 30 menit dan duduk diam di pos ronda selama hampir 3 jam. Melihat Bunda tersenyum, Juna juga tersenyum hingga lesung pipinya tercetak dalam.
"Bunda, aku boleh tanya?"
Bunda tidak menoleh karena masih sibuk memotong wortel. "Boleh dong, mau tanya apa?"
Juna menautkan tangannya di atas meja, kemudian ia menatap punggung Bunda dengan serius. "Bunda, kenal Om Gio?"
Sebenarnya Juna ragu untuk menanyakan hal ini pada Bunda, tetapi ia benar-benar penasaran pada pria yang akhir-akhir ini sering sekali bertemu dengannya.
Tangan Bunda berhenti, Bunda menoleh tiba-tiba. "Siapa kamu bilang?"
"Om Gio, Bun. Ngakunya sih, temen Ayah." Juna berbicara santai. Ia bisa melihat perubahan ekspresi Bunda.
Bunda terdiam. Matanya membelalak seperti baru mendengar nama yang tidak ingin didengar. Bunda membeku di tempatnya. Matanya sempat tidak fokus, tetapi tidak lama kemudian, tatapan Bunda kembali pada Juna.
"Tadi aku ke dojang, mau ketemu Ayah, eh, malah ketemu Om itu lagi. Tadi kenalan, ngakunya teman dekat Ayah. Kalau dia temen deket Ayah, kok aku nggak kenal, ya?"
"Kamu ngomong apa aja sama dia?"
Juna bisa melihat kalau tangan Bunda gemetar dan matanya kehilangan fokus. Hal itu membuat gerak refleks Juna langsung bekerja. Ia bangkit dari kursinya dan menopang tubuh Bunda yang sepertinya bisa ambruk tiba-tiba.
"Bunda masih sakit? Nanti Juna aja yang nerusin masak. Kayaknya Bunda masih harus istirahat."
"Juna, janji sama Bunda." Bunda berbicara dengan suara bergetar. Mata Bunda mulai dibasahi air mata.
"Bun, Bunda kenapa nangis?" Juna jadi panik.
"Jangan dekat-dekat sama laki-laki itu." Mata Bunda terkunci pada Juna. Ada sesuatu yang membuat Juna sampai takut untuk mengatakan tidak.
"Iya, Bun. Aku nggak akan deket-deket sama Om itu. Aku juga nggak suka Om itu." Juna mengatakan kalimatnya dengan terburu-buru. Ia menarik kursi lain dan mengarahkan Bunda untuk duduk di sana.
Juna tidak bertanya lagi. Ia menyimpan semuanya sendiri. Ia tidak menduga kalau pertanyaan sederhana darinya bisa membuat Bunda hampir pingsan, tetapi ia tetap penasaran. Ia yakin kalau ada sesuatu yang tidak beres pada hubungan keluarganya dengan pria bernama Gio.
Setelah Bunda masuk ke kamar, Juna kembali terjebak dengan berbagai macam pertanyaan yang ada di kepalanya. Belum juga masalah dengan Ayah usai, kini sikap Bunda juga menimbulkan banyak pertanyaan. Sebenarnya, siapa Om Gio?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro