23. Latihan Keras
Hari pertama di dojang setelah resmi diterima kembali membuat Juna sangat bersemangat. Ia langsung menuju dojang setelah pulang sekolah. Begitu menginjakkan kaki di dojang, ia langsung mengganti baju seragamnya menjadi dobok. Setelah mengenakan dobok, Juna mulai melakukan pemanasan.
Setelah melakukan pemanasan, Juna mulai menyusun corong marka jalan sebagai alat latihannya. Ketika Juna menyusun corong tersebut, Ayah masuk ke ruang latihan. Pria jangkung itu melipat tangan di dada. Begitu melihan Ayah datang, Juna langsung berdiri siap dan membungkuk memberi hormat.
"Sudah pemanasan?" Ayah bertanya dengan suara keras.
"Sudah, Sabeum." Juna mengangguk dan tersenyum bangga karena ia sudah melakukan pemanasan tanpa disuruh.
"Oke, latihan hari ini full fisik. Silakan lari sprint 50 kali, lari zig zag 50 kali, lompat kodok 50 kali, lompat dada 50 kali, dan tendangan target 100 kali. Kalau sudah, lapor saya. Saya tunggu di sini." Ayah menarik kursi yang ada di sudut ruangan dan duduk di sana.
Meski terkejut dengan jumlah latihannya yang cukup banyak, Juna tetap melakukannya. Setelah menyelesaikan lari sprint dan lari zig zag, kecepatan Juna perlahan menurun.
"Speed, Juna. Speed." Ayah berteriak dari sudut ruangan.
Juna menaikkan kecepatannya, pada set terakhir tendangan Juna semakin lemah. Entah karena terlalu lama beristirahat, atau karena ia sudah terlalu lelah. Pada tendangan ke lima puluh, Juna kehilangan keseimbangan. Kepalanya tiba-tiba terasa sakit seolah terhantam batu besar. Pandangannya kabur, benda yang ada di sekitarnya mulai berbayang.
Juna memegang target yang sebelumnya ia tendang sebagai tumpuan. Tidak tahan dengan sakit kepalanya, Juna akhirnya terduduk karena sudah tidak sanggup berdiri. Ia memejamkan matanya lama. Ketika ia membuka mata, Ayah sudah bediri di depannya dengan tangan di depan dada.
"Baru latihan dasar, kamu sudah nyaris pingsan. Masih mau lanjut?" Ayah berbicara dengan nada seolah mengejek.
Tidak hanya kepala yang sakit, kini Juna juga merasakan sesak di dadanya. Ia tidak menduga kalau Ayah yang selama ini sangat mengkhawatirkannya, berubah menjadi sosok yang begitu tidak peduli padanya. Biasanya Ayah akan terlihat panik ketika melihat Juna sakit, tetapi kini, Ayah kelihatan baik-baik saja ketika Juna hampir pingsan.
"Istirahat lima menit." Ayah berlalu begitu saja. Meninggalkan Juna sendirian di ruangan tak berpenghuni itu.
Juna tidak pindah dari tempatnya hingga Ayah kembali masuk. Namun, kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Begitu melihat Ayah, Juna langsung berdiri.
"Lanjutkan 50 tendangan lagi, setelah itu kamu boleh pulang." Ayah menyerukan perintah itu dan segera pergi setelah mengatakannya.
Juna melanjutkan 50 tendangan dengan tempo yang amat lambat. Ia masih sempat merapikan tempat itu sebelum berganti pakaian.
Saat melewati lobi, Juna melihat Ayah yang tengah memandang ke luar melalui pintu kaca dojang.
"Sabeum, aku izin pulang." Juna berbicara pelan, takut mengganggu Ayah yang kelihatan sangat serius.
"Kalau kamu mau berhenti silakan. Kalau kamu nggak bisa mengikuti latihan dari saya, silakan keluar." Ayah berbicara tanpa menatap Juna.
"Aku nggak akan pernah berhenti." Juna menjawab yakin.
Juna meninggalkan dojang dengan langkah gontai. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laki-laki yang mengenakan seragam sekolah dibalut jaket itu tiba di rumah dengan wajah pucat. Kedatangannya disambut seruan heboh dari Bunda.
"Kamu kenapa, Juna?" Bunda langsung menopang badan Juna yang bisa tumbang kapan saja.
"Nggak apa-apa, Bun. Kayaknya kecapean. Udah lama nggak latihan.
"Astaga, badan kamu panas banget. Ini pasti karena hujan kemarin. Kamu langsung istirahat aja, ya. Nanti Bunda belikan obat."
Juna melewati malamnya ditemani sakit kepala yang tak kunjung sembuh. Panas tubuhnya juga masih tetap tinggi. Namun, ketika bangun tidur, ia mendapati kalau suhu tubuhnya sudah turun. Ia hendak melakukan lari pagi, tetapi Bunda sudah menghadangnya di depan pintu kamar. Akhirnya, Juna mengalah. Khusus hari itu, ia tidak melakukan lari pagi.
***
Dengan kondisi badan yang belum pulih betul, Juna tetap berangkat latihan seusai sekolah. Ia berangkat ke dojang bersama Ara. Gadis itu kekeuh ingin melihat latihan dari kelas senior. Lagipula, Ayah Juna juga mengenalnya meski kini ia tidak aktif lagi sebagai atlet.
"Selamat sore, Sabeum." Ara menyapa Ayah dengan ceria.
Ara memang masuk lebih dulu. Juna menyusul setelah ia memarkirkan motornya. Ketika Juna masuk, untuk pertama kalinya setelah satu bulan, Juna melihat Ayah tersenyum.
Senyuman ramah yang sudah lama Juna rindukan. Ayah tersenyum hingga kedua Lesung pipinya tercetak dalam. Matanya juga menyipit ketika melihat arah melambay dengan ceria. Juna ingat ayah memang menyukai Ara. Dulu ayah pernah bilang pasti akan menyenangkan jika punya anak perempuan yang ceria seperti Ara.
"Selamat sore, Sabeum." juna menyapa sambil tersenyum. Iya kira ayah akan membalas dengan senyum tetapi yang ia dapat hanya tatapan sinis.
"Ara mau lihat Juna latihan?" ayah bertanya dengan nada yang berbeda pada. Ada suaranya adalah nada ramah yang biasa ayah gunakan di rumah.
" nggak sih sebenarnya aku udah kangen banget mau main ke sini. Bolehkan sebelum aku ikut lihat?"
"Tentu, boleh." ayah mengangguk kemudian berjalan mendahului mendahului mereka ke ruang latihan.
Juna mengganti pakaiannya dengan dobok. Ia mengangguk dan tersenyum ketika melihat Ara melambai ke arahnya. Juna sudah melakukan pemanasan tanpa disuruh. Langkah itu sudah menjadi langkah wajib baginya ketika memulai latihan.
Setelah Juna selesai melakukan pemanasan, Ayah datang mendekat dan memberikan arahan. "Oke, latihan hari ini full fisik lagi. Saya rasa kamu sudah tahu. Silakan lari sprint 50 kali, lari zig zag 50 kali, lompat kodok 50 kali, lompat dada 50 kali, dan tendangan target 100 kali. Kalau sudah, lapor saya."
Ayah kembali ke kursi yang ada di sudut ruangan dan duduk di sana. "Pertahankan kecepatan kamu, Juna!"
Meski jumlah latihannya cukup banyak, Juna tetap melakukannya dengan sungguh-sungguh. Setelah menyelesaikan lari sprint dan lari zig zag, kecepatan Juna masih stabil. Kini ia mampu mengatur ritmenya.
Setelah hampir satu jam, Juna berhasil menyelesaikan set latihan tersebut. Ia menghampiri Ayah dan melakukan laporan. "Sudah selesai, Sabeum."
"Kamu boleh istirahat 10 menit. Setelah itu, lanjutkan dengan latihan dengan jumlah yang sama!" Ayah berbicara lantang.
"Iya, Sabeum."
Setelah mendengar jawaban Juna, Ara menganga tidak percaya. Memang mereka biasa melakukan latihan fisik yang berat, tetapi melakukan semuanya dalam satu waktu adalah sebuah kesalahan. Belum lagi ditambah dengan jumlahnya yang tidak masuk akal.
Tubuh Juna sudah dibanjiri keringat ketika laki-laki itu datang menghampiri Ara. Gadis itu langsung mengulurkan botol minum Juna.
"Gila, lo nggak lagi kerja rodi, kan?" Ara memperhatikan tubuh Juna yang sudah basah oleh keringat.
"Enggak, lah. Kayaknya gue tahu kenapa Ayah larang gue ikut kelas senior." Juna berbicara setelah meneguk minumnya.
"Kenapa?" Ara bertanya polos.
"Karena latihannya bikin gue hampir mati. Gila, napas gue udah nggak teratur. Kaki gue juga sakit banget." Juna meluruskan kakinya.
"Perasaan Yohan dulu nggak gini-gini amat." Ara melihat Juna yang sudah kehabisan energi.
"Mungkin gue spesial." Juna tersenyum bangga.
"Yang spesial tuh, pake telor. Lo mah kayaknya emang perlu dididik biar bener."
Juna tertawa. Tawanya yang cukup keras membuat gema di ruangan itu. Tidak lama setelahnya, Juna kembali melakukan latihan padat itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro