19. Chaos
Juna masuk ke rumah melalui pintu belakang. Ia sudah menjinjing sepatu olahraganya dan mengikat jaketnya di pinggang. Setelah meletakkan sepatu di rak, langkah Juna terhenti karena Bunda sudah duduk dan menatapnya seolah telah menantinya sepanjang pagi. Juna berdiri kaku karena mata sayu Bunda tidak beranjak darinya.
"Juna, Bunda boleh ngomong sebentar?" Bunda bertanya dengan suara yang masih sama lembutnya.
Bukannya menjawab laki-laki yang hampir kuyup oleh keringat itu malah menatap ke arah lain. Ia berusaha berjalan melewati meja makan dengan langkah yang kikuk.
"Bunda mau ngomongin soal Ayah kamu."
Kalimat Bunda mampu membuat Juna menghentikan langkahnya seketika. Laki-laki yang kini mengenakan kaos tanpa lengan itu menoleh.
"Bunda mohon. Bunda perlu ngomong sama kamu." Kini suara Bunda terdengar putus asa.
Setelah berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya Juna menahan egonya dan memilih untuk duduk di depan Bunda. Ia membiarkan tangannya tertaut di bawah meja, kemudian matanya sibuk menatap lapisan kayu meja makan.
"Ayah kamu telepon Bunda, dia minta kamu untuk nggak datang lagi ke dojang." Bunda menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Sejujurnya, Bunda nggak begitu suka kalau kamu ikut taekwondo. Nilai sekolah kamu bagus, kamu bisa punya banyak cita-cita, tapi enggak dengan atlet taekwondo. Kau mau dengerin Bunda kan, Juna?"
Juna diam. Baru saja ia meyakinkan diri untuk kembali bangkit berdiri dan menghadapi ayahnya agar bisa tetap latihan, kini Bunda seolah menarik paksa tangannya untuk berbalik dan tidak melakukan hal itu. Juna merasakan sesak yang membuatnya kehilangan kemampuan berbicara. Kakinya hendak melangkah, tetapi tangannya kini dirantai.
"Ayah kamu nggak suka kamu datang ke dojang. Bunda juga nggak suka kamu ikut taekwondo. Jadi, kamu nggak ada alasan untuk tetap ikut taekwondo. Bunda mau kamu fokus belajar."
Juna tertawa kecil. Ia merasa kalau hidupnya sangat lucu. Juna mengangkat kepalanya dan menatap Bunda lurus. "Sejak kapan Bunda nggak suka aku ikut taekwondo?"
Pertanyaan tidak terduga dari Juna, membuat Bunda tergagap.
"Bunda nggak bisa bohongin aku, aku bukan anak kecil lagi. Kalau Bunda memang enggak suka aku ikut taekwondo, seharusnya Bunda ngelarang aku ikut sejak aku umur lima tahun. Bukan sekarang! Bukan di saat aku udah menentukan pilihanku."
Juna bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju kamarnya, tetapi tiba-tiba ia ingat satu hal. Laki-laki berkaos tanpa lengan itu berbalik kemudian berkata, "Kalau Bunda nyuruh aku berhenti taekwondo supaya nggak ketemu sama Ayah, itu enggak akan berhasil. Walaupun tanpa taekwondo, aku akan tetap nemuin Ayah terus."
Juna melanjutkan langkahnya dengan pasti. Ia masuk ke kamarnya dengan membanting pintu, kemudian Juna segera mandi. Ia sudah tahu apa yang perlu dilakukan.
Hari Minggu biasanya jadi salah satu hari terpadat di dojang. Pada hari itu, biasa diadakan kelas tambahan bagi yang melewatkan kelas di hari biasa atau bagi yang butuh latihan tambahan. Pada minggu keempat setiap bulannya, selalu diadakan pertandingan lokal pada setiap kelas umur.
Kini yang didapati Juna hanya gersangnya halaman dojang. Tidak ada lagi jajaran kendaraan yang biasa terparkir di sana. Anak-anak yang selalu meramaikan tempat itu juga menghilang tanpa jejak. Juna mendapati kalau kata-kata Yohan mungin benar. Ia memarkirkan motor matik hitamnya di parkiran dojang. Hanya satu motor yang ada di sana dan Juna mengenali motor itu.
Juna berdiri lama di depan pintu kaca yang jadi satu-satunya jalan masuk utama ke dojang. Sebuah kertas yang berisi tulisan 'TUTUP' membuat laki-laki berjaket abu-abu itu ragu menyentuh gagang pintu. Namun, keputusannya sudah bulat. Ia harus tetap masuk dan bertemu Ayah untuk menyampaikan maksudnya.
Juna memberanikan diri untuk mengetuk pintu kaca. Ketukan yang pertama tidak mendapat jawaban. Laki-laki berjaket abu-abu itu kembali mengetuk dengan lebih keras. Lagi-lagi ketukannya tidak mendapat jawab. Akhirnya, Juna mencoba untuk mendorong pintu tersebut. Ternyata pintunya tidak dikunci. Dengan ragu, Juna melangkah masuk. Langkahnya yang terlalu hati-hati sehingga membuatnya terlihat seperti maling yang tengah mengendap-endap.
“Ayah.” Juna berseru pelan.
Laki-laki yang masih mengenakan kaus hitam berlapis jaket itu celingak-celinguk. Ia melihat satu per satu ruangan yang dilewati. Namun, ia tidak menemukan Ayah.
“Ayah.” Juna kembali berseru. Kini suaranya sedikit lebih keras dari sebelumnya.
Tanpa sadar, Juna melangkah semakin jauh menuju ruang kelas senior. Biasanya Ayah akan ada di sana. Juna membuka pintu pelan, kemudian ia menyisir ruangan itu. Namun, ia masih tidak menemukan pria paruh baya itu.
Ketika Juna meraih kenop pintu, pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Juna langsung disambut dengan wajah lelah Ayah. Wajah yang sudah hampir satu bulan tidak Juna lihat dari jarak dekat itu kelihatan semakin tua. Seolah 10 tahun umurnya telah bertambah. Kantung mata Ayah semakin menggelap. Matanya juga sayu seperti kurang tidur.
Ketika mata mereka bertemu, Juna tersenyum hingga kedua lesung pipinya tercetak dalam, tetapi Ayah membalas senyuman itu dengan tatapan tidak suka.
"Kamu nggak ngerti kata-kata saya sebelumnya?" Ayah bertanya dengan nada yang tidak menyenangkan.
Ayah menggunakan kata ganti saya. Hal itu membuat pria yang ada di hadapan Juna terasa semakin jauh. Meski tubuh mereka berdekatan, Juna merasa kalau Ayah menjauh darinya.
"Aku mau latihan lagi." Juna berbicara sambil mengepalkan tangannya.
"Kamu sudah enggak terdaftar di dojang ini. Selamanya kamu nggak akan diterima lagi di sini. Sekarang silahkan angkat kaki dari tempat ini!"
"Aku mau latihan lagi." Juna kembali mengulang kalimatnya.
Wajah Ayah memerah. Kini mata sipitnya menatap Juna tajam. "Saya udah nggak punya urusan sama kamu, terserah kamu latihan lagi atau enggak."
Dada Juna kembali terasa sesak. Ia tidak menduga kalau akan mendengar kalimat ini secara langsung. Tangan Juna masih terkepal kuat. Ia menahan diri untuk tidak menangis. Juna hampir menangis bukan karena ia cengeng, tetapi karena ia merasa kesal. Ia kesal, kenapa ia harus terjebak di antara kedua orang tuanya. Jelas Juna tidak bisa membenci salah satunya.
"Kamu nggak dengar kata-kata saya? Keluar dari tempat ini!" Ayah berseru kasar. Kata-katanya dilapisi emosi yang mampu Juna rasakan hanya dengan mendengar.
Napas Juna semakin tidak teratur. Ia menatap mata Ayah dan hanya menemukan tatapan tidak suka. Akhirnya, laki-laki berambut hitam itu memilih untuk pergi dari dojang. Tingkat emosi Ayah kini, tentu tidak bisa ia hadapi. Namun, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau esok ia akan kembali lagi.
Absen dulu ya, di bab ini.
Ara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro