12. Terhantam Kenyataan
Hari ini adalah hari menyebalkan lain yang harus Juna lewati tanpa kehadiran Ayah. Juna sudah terbangun di pagi buta. Jelas ia sudah bangun jauh sebelum matahari terbit. Laki-laki yang mengenakan kaus tanpa lengan itu bangun dengan muka kusut, rambut berantakan dan bonus cekungan gelap di bawah mata. Cekungan gelap di bawah mata yang biasa disebut dengan mata panda itu berasal dari kegiatan Juna yang memaksa diri untuk belajar meski ia tidak yakin bisa berkonsentrasi.
Seandainya Juna bisa belajar dengan penuh konsentrasi tanpa memikirkan hal lain, mungkin ia bisa tidur dengan cepat, tetapi karena semua pertanyaan yang ada di kepalanya membuatnya hampir tidak bisa tidur semalaman. Namun, seolah memiliki alarm sendiri di tubuhnya, ia tetap terbangun sebelum matahari terbit.
Kebiasaan yang sudah ia lakukan sejak kecil itu tidak pernah hilang. Kepala Juna sudah mencoba untuk membiasakan diri, tetapi tubuhnya tetap bekerja sesuai dengan kebiasaannya. Laki-laki berambut lurus itu segera beranjak dari kasur dan membasuh wajahnya, kemudian ia mengambil jaket yang menggantung di belakang pintu kamarnya. Juna menyempatkan diri untuk meregangkan tubuhnya sambil berjalan menuju rak sepatu yang ada di dekat pintu samping.
"Bun, sepatu Ayah mana?" Juna bertanya dengan suara serak.
"Ayah udah lari duluan, ya?" Kini suara Juna semakin pelan. Tubuhnya bekerja lebih dulu dibanding otaknya. Kini ia sadar kalau pertanyaannya serupa dengan hal konyol yang tidak perlu ditanya. Namun, rasanya tetap mengejutkan.
Juna menatap rak sepatu yang terbuat dari kayu itu lebih lama dari yang seharusnya. Tatapannya kosong, matanya berubah jadi lebih sayu. Seketika ia dihantam oleh kenyataan. Separuh dari isi rak tersebut sudah lenyap seolah dihisap waktu. Tubuh Juna membeku sesaat. Ia sampai harus menghela napas panjang sebelum tangannya bergerak untuk meraih sepatu olahraga yang ada di arak bagian bawah.
"Apa yang lo harapin, Juna? Semua sudah berakhir." Juna berbicara pada dirinya sendiri sambil mengikat sepatu.
Juna berlari mengitari lapangan komplek rumahnya seorang diri. Sudah hampir satu bulan ia melakukan kegiatan ini sendirian. Entah mengapa, hari ini ia berlari lebih banyak dari biasanya. Juna berlari hingga ia nyaris kehabisan napas. Laki-laki berjaket parasut itu berhenti dan membuka resleting jaketnya. Kemudian, ia berjalan pelan sambil berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah.
Setelah berhenti berlari, Juna duduk di kursi yang ada di bawah pohon rindang. Langit mulai terang. Perlahan sinar matahari terlihat jelas. Laki-laki bermata cokelat itu bisa melihat kalau semakin banyak orang yang berlari di lapangan itu. Beberapa pedagang juga sudah memarkirkan gerobaknya. Mata Juna bisa menangkap momen yang hampir setiap hari ia lihat. Sepasang lansia yang selalu berjalan pagi, beberapa anak muda, dan keluarga kecil yang membawa anak-anaknya.
Juna bukan tipe orang yang suka mengamati orang asing, tetapi hari itu semua terasa lebih menarik dari biasanya. Juna melihat sebuah keluarga kecil dengan satu anak yang berolahraga bersama. Interaksi ayah dan anak yang berjalan beriringan, membuat Juna mengingat kebersamaannya dengan Ayah.
"Juna punya cita-cita?" Ayah berjalan sambil terus memperhatikan langkah anaknya.
"Mau kayak Ayah." Juna berusaha berjalan lebih cepat dari Ayah.
Juna tidak ingat jelas berapa usianya saat itu. Mungkin lima atau enam tahun. Kata Bunda, Juna memang sedikit terlambat berjalan. Ia baru bisa berjalan dengan benar ketika berusia tiga tahun. Hal ini juga yang membuat keluarga mereka punya kebiasaan berjalan ke lapangan setiap hari. Namun, Bunda berhenti ke lapangan ketika Juna lebih memilih berlari bersama Ayah dibanding berjalan santai dengan Bunda.
"Memangnya Ayah kayak apa?" Senyuman dengan lesung pipi yang selalu Juna kagumi itu terlihat.
"Kayak super hero. Ayah punya banyak banget piala sama medali. Juna juga mau kayak gitu."
Ayah tertawa. "Kalau Juna mau punya banyak piala sama medali, Juna nggak boleh nangis kalau kalah."
Juna cemberut. Ia berhenti melangkah. "Ayah!"
"Juna mau janji sama Ayah?" Ayah mengulurkan jari kelingking setelah berjongkok di depan putra semata wayangnya.
Anak laki-laki dengan mata sipit itu tidak langsung mengulurkan tangan. Ia malah melipat tangan di dada. "Kalau disuruh janji nggak nangis lagi, aku nggak bisa, Yah."
Ayah tertawa. "Janji sama Ayah, kalau kamu pasti lebih hebat dari Ayah."
Juna mengerutkan dahi, ketika melihat tatapan tulus Ayah, ia langsung menyambut dengan jari kelingking mungil miliknya. "Janji."
"Itu termasuk nggak cengeng, lho."
"Ayah!"
Tanpa sadar, Juna tersenyum. Pasangan ayah dan anak itu lewat begitu saja di depannya dengan senyum di wajah keduanya. Rasanya aneh. Ia merindukan seseorang yang bisa ia lihat hampir setiap hari.
Juna masuk ke rumah melalui pintu samping. Mau tidak mau, ia harus melewati meja makan. Sejak ia menyatakan tidak ingin bicara dengan Bunda, wanita itu selalu menyiapkan sarapan tanpa bertemu dengan anak tunggalnya. Namun, sarapan yang tersaji kali ini terlihat sedikit berbeda karena ada dua buah Sticky Note yang menempel di samping piring Juna. Keduanya berisi tulisan yang hampir sama panjangnya. Laki-laki jangkung yang sudah tidak mengenakan jaket itu melangkah mendekat untuk melihat huruf yang berjajar di atas Sticky Note.
Ayah sama Bunda udah mutusin untuk pisah. Bunda harap kamu mengerti alasannya.
Kemarin Ayah kamu sudah angkut semua barang-barangnya, makanya kamu nggak bisa lihat sepatu Ayah di rak.
Juna mencabut kedua Sticky Note itu dengan kasar, kemudian ia meremasnya hingga menjadi gumpalan tak berbentuk. Juna melangkah ke kamarnya dengan kaki dihentakkan.
Juna sengaja melewatkan sarapannya. Ia sudah terlalu kesal karena membaca dua Sticky Note yang membawa pesan tidak menyenangkan. Laki-laki yang sudah mengenakan seragam sekolah itu keluar dari kamar dengan terburu-buru. Ia membanting pintu ketika menutup pintu kamarnya. Langkahnya masih dihentak kuat. Suara yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan langkah kaki pasukan pengibar bendera.
Ketika Juna keluar dari kamar, ia bisa melihat Bunda tengah sibuk dengan mesin jahitnya. Juna sempat berhenti dan menatap punggung Bunda. Sejak kecil, ia memang sudah biasa melihat Bunda duduk di belakang mesin jahit, tetapi ia baru sadar kalau enam bulan terakhir Bunda jadi lebih sering berada di balik mesin itu. Seketika sebuah kesimpulan muncul di kepala Juna. Mungkin Bunda sudah mempersiapkan kondisi ini sejak jauh-jauh hari.
Tanpa melihat, sebenarnya Juna sudah sering mendengar suara mesin jahit. Mesin itu berbunyi lebih sering ketika Ayah dan Bunda mulai bertengkar. Dulu, Juna kira kegiatan itu adalah healing bagi Bunda, tetapi kini ia sadar kalau kegiatan itu adalah mata pencaharian bagi Bunda.
“Juna.” Suara dari luar membuat Juna kembali melanjutkan langkahnya.
***
Juna disambut oleh senyuman sahabatnya. Ara melambai sambil melangkah dengan riang. Langkah gadis berambut panjang itu sudah mirip kangguru. Biasanya Juna akan tersenyum ketika melihat kelakuan absurd sahabatnya, tetapi kini suasana hatinya sedang tidak mendukung untuk tersenyum.
"Aduh, muka lo kaku banget kayak kanebo kering." Ara meledek Juna yang hanya menatapnya malas. "Eit, nggak boleh protes. Soalnya gue belom nemu istilah yang lebih keren dari kanebo kering buat gambarin muka lo yang kaku gitu."
Juna tidak menjawab. Ia sibuk mengeluarkan motornya dari garasi.
"Tombol on-nya mana, nih? Lo beneran kayak nggak punya semangat. Senyumnya mana?" Ara mengitari tubuh Juna yang tengah memanaskan motor matiknya.
"Lo bisa diem, nggak?" Juna berseru galak.
"Idih, sensi amat. Lagi dapet, Pak?" Ara menepuk punggung Juna.
Bukannya mendelik seperti biasa, Juna malah menghela napas panjang.
"Udah ngerjain PR Pak Sopar? Liat dong." Ara merengek sambil mencoba membuka ransel yang tersampir di bahu Juna.
Juna diam.
Tangan Ara bergerak dengan leluasa. Begitu mendapatkan buku yang dimaksud, gadis itu langsung berpindah ke depan Juna. "Tumben lo nggak kesel? Biasanya langsung ngamuk kalau gue buka tas tanpa izin."
Juna masih diam.
Bisa dibilang, fase marah tertinggi dari seorang Arjuna Putra Hanggasa adalah diam. Ara jadi serba salah. Ia menatap mata Juna dan menantikan senyuman jail dari laki-laki itu, tetapi tatapan dingin itu tidak berubah meski Ara sudah menghitung dalam hati sampai angka dua puluh.
"Juna, lo marah beneran, ya? Maafin." Ara segera mengembalikan buku Juna ke tasnya.
Laki-laki berseragam SMA itu menarik tali tasnya dan segera menaiki motor. Ara bingung harus berbuat apa karena Juna kelihatan marah betulan. Ia hanya berdiri di samping Juna sambil menatap sepatunya sendiri.
"Lo mau nebeng, apa nggak?" Juna berkata jutek.
Ara segera mengambil kesempatan itu dan duduk di belakang Juna. Sepanjang sejarah pertemanannya, baru kali ini Juna tidak menanggapi candaan Ara dengan wajah seperti itu. Laki-laki itu seolah tidak hidup. Semangat di matanya seolah padam. Seluruh warnanya seolah sudah disedot habis dari tubuhnya. Ara jadi penasaran, apa yang terjadi pada Juna?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro