7. Another Invitation. (1)
Sudah dua minggu berlalu semenjak kepulanganku dari Seoul dan thanks to Bibi Rere yang memberikanku setumpuk pekerjaan begitu aku kembali, aku tidak memiliki waktu memikirkan segala keanehan Sean.
Bicara tentang Sean, aku cukup bersyukur karena nampaknya kami memang tidak memiliki rencana bertemu lagi -atau lebih tepatnya, Sean tidak berencana mengorek apapun mengenai kak Alleira lagi dariku- karena laki-laki itu tidak pernah sekalipun menanyakan nomor ponselku atau bahkan mencoba menghubungiku 2 minggu ini.
Bukan berarti aku mengharapkannya! Aku terlalu sibuk bekerja, ingat?
Aku menggeram dan membanting pensilku keatas meja. Membuat Louisa menoleh dari kubikel sebelahku dengan tatapan ingin tahu.
"Kerah bagian kiri lebih besar dari kerah bagian kanan?" Tanyanya sambil melirik kearah mejaku dimana ada selembar kertas putih bersih dan beberapa gumpal kertas yang membentuk bola berserakan. "Oke, aku tidak mau membahas ini, tetapi... what happen in Seoul?"
"Apa?" Tanyaku pura-pura tidak mengerti. Aku meriah lagi pensil di mejaku sambil menggunakan ujungnya untuk menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Kau tahu apa yang ku maksud. Kau terlihat out of focus semenjak kembali dari sana." Ujar Louisa kali ini benar-benar memutar kursinya kearahku. "Apa karya designer itu membebanimu? Apa sebagus itu?" Tanyanya melebarkan mata takjub sendiri dengan kesimpulan asalnya.
"Shut up, Lou." Omelku tanpa menoleh kearahnya. Aku kembali menggoreskan pensil di atas kertas itu, menggeram lagi, dan meremukan kertas itu lalu membantingnya ke atas meja. Aku menggeram kesal sambil menangkup wajahku.
"Oke, serius. Kau butuh istirahat." Ujar Louisa menarikku menjauh dari meja kerjaku, menarikku ke pantri dan membuatkanku kopi hitam kesuakaanku dikala stress dikejar Deadline.
Tapi sialnya, kopi ini malah mengingatkanku pada Sean dan ucapannya mengenai kafein.
"Apa yang terjadi? Kemana Kelly yang bisa menyelesaikan 3 sketsa dalam sehari itu?" Desak Louisa menatapku penuh selidik.
"I'm fine, Lou-"
"Like hell i'll believe!" Umpat Louisa. "Katakan atau aku akan bertanya pada Alexis."
Aku berdecak mendengar ancamannya. Louisa memang selalu menjadi teman berbagi ceritaku semenjak aku magang. Bisa dikatakan dia satu-satunya yang kupercaya disini. Itupun karena Louisa yang selalu memaksaku untuk bercerita agar lebih lega.
Katanya, kita tidak akan bisa bekerja kalau terlalu banyak pikiran, dan aku bisa membuang pikiran juga kegelisahan itu kepadanya. Meski harus kuakui kalau apa yang dia katakan, ada benarnya. Tapi aku ragu menceritakan mengenai Sean pada Louisa.
"Baiklah, aku akan bertanya pada Alexis nanti." Putusnya hendak meninggalkanku di pantry.
"Eh eh... wait!!!" Dengan cepat aku berdiri di depannya, menghalangi langkahnya untuk pergi. Aku berdecak saat melihat Lousia menyunggingkan senyum kemenangannya. Ia sengaja memaksaku bicara dengan cara kacangan ini lagi! "Baiklah, aku bercerita!"
Akhirnya akupun menceritakan mengenai pertemuanku dengan Sean, dimana aku juga jadi harus menjelaskan siapa dan bagaimana aku mengenal Sean sebelum ini. Aku menceritakan bagaimana ia bersikap manis padaku, menemani seluruh hariku di Seoul, mengantarku pulang ke hotel lalu muncul lagi keesokan paginya, kata-katanya yang membuatku menganga.
"Well, isn't it obvious? He loves you." Sahut Louisa ketika aku selesai bercerita.
Aku menghela nafas lelah dan memutar bola mataku, "no, Lou. Kau tidak mengerti. Dia hanya-"
"Listen, kid. Kau sedang bicara dengan wanita yang sudah menikah disini. Bagian mananya yang aku tidak mengerti? Dia meluangkan seluruh waktunya untukmu, dia bahkan memesan minuman lain yang rendah kafein demi menjaga tubuhmu yang harus kuakui memang mencera terlalu banyak kafein, dia memikirkan hal-hal yang kau sukai, bahkan dia memilih perhiasan untukmu, bukan Alleira. Apa lagi kalau bukan karena dia tertarik padamu?" Tanya Louisa seraya menunjukan 4 buah jarinya saat mendikte asumsinya tadi.
"Itu hanya caranya untuk mendapat kepercayaanku agar dia bisa leluasa mengorek informasi tentang kak Alle." Aku menyuarakan pemikiranku yang sialnya tidak terdengar meyakinkan.
Louisa menatapku malas, lalu ia menghela nafas panjang seakan sudah malas berargumen denganku. "Aku bingung kenapa Alexis maupun Laki-laki bernama Sean itu bisa tertarik padamu." Ia berjalan melewatiku kembali ke kubikelnya.
"Sean tidak-
"Ya, dia tidak tertarik padamu." Koreksi Louisa cepat tanpa menoleh kepadaku lagi.
Kali ini aku mencibirkan bibirku sambil menyesap kopi hitamku lalu kembali menggerutu karena lagi-lagi kata-kata Sean mengenai tidak baiknya kafein terhadap tubuhku terngiang.
"Menyebalkan!" Omelku sambil membanting gelas kertas itu beserta isinya kedalam washtafel.
*
Bagi semua karyawan, dipanggil oleh atasan bukanlah hal baik terlebih kalau performa kerja kami sedang dalam kategori kurang baik belakangan ini.
Tidak terkecuali untukku.
Meski atasanku practically adalah bibiku, tetap saja itu tidak bisa membuatku menahan diri menggigit jari saat menghadapnya di ruangan Chief Director yang sepertinya akan selalu menjadi mimpi buruk untuk pegawai sepertiku yang sedang kurang maksimal bekerja.
Aku mengetuk pintu dihadapanku sebanyak tiga kali sebelum suara lembut bibi Rere mempersilahkan aku untuk masuk kedalam.
"Anda memanggil saya, Mam?" Tanyaku seformal mungkin.
"Masuk, Kel. Duduk dulu, Bibi bicara dengan pamanmu dulu sebentar. Yes, Honey...?" Bibi Rere kemudian beralih berbicara dengan -sangat aku yakini- paman Alvero dari ponselnya.
Sementara aku duduk di sofa yang terletak di tengah ruangan sambil memperhatikan sekeliling ruangan yang rata-rata dikelilingi jendela ini dengan tatapan menerawang.
Diumurku yang baru 23 tahun ini, aku baru akan meniti karir menjadi designer. Sedangkan yang kudengar dari Mommy juga Daddyku, Bibi Rere sudah membuka butik ini sejak berusia 22 tahun.
Apa aku yang terlalu bodoh? Atau bibi Rere yang terlalu pintar?
Memulai sebuah Brand hingga seterkenal ini tentu tidak mudah. Aku tahu bagaimana ketatnya bibi Rere menyeleksi semua design untuk koleksi juga untuk pameran setiap musim setiap bulannya. Dan kami yang mendesign tentu ikutan ketiban beban berat itu setiap bibi Rere tidak puas.
Lamunanku terpaksa berhenti ketika bibi Rere menghempaskan bokongnya di hadapanku. Wanita yang hampir berkepala 5 itu masih terlihat cantik dan anggun. Ia bahkan tidak terlihat seperti wanita yang sudah memiliki cucu. Aku jamin kalau aku bibi Rere masuk ke klub malam tanpa pendampingan paman Alvero, banyak mata yang akan menatap lapar bibi Rere tanpa tahu kalau yang sedang ditatapinya adalah wanita beranak-cucu.
Aku terkekeh sendiri memikirkannya dan aku terpaksa berhenti saat menyadari bibi Rere menatapku dengan tatapan aneh.
"Kau kenapa, Kelly?" Tanyanya.
Aku berdeham dan menggeleng, "no, Mam. Maaf." Elakku.
Bibi Rere berdecak. Ia tidak terlalu suka aku bersikap seformal itu, tapi demi alasan profesional, aku tetap berlaku formal. Sebagian besar alasan adalah karena aku senang menjahili bibi Rere.
"Bagaimana pengalamanmu di Seoul kemarin? Menyenangkan? Bermanfaat?" Tanya bibi Rere. Aku tahu bibi Rere sedang mencoba untuk tidak menyentil keningku yang memasang sikap formal di hadapannya.
"Sangat bermanfaat, Mam. Terima kasih sudah memberiku kesempatan itu." Jawabku dengan tubuh tegap.
"Kelly, stop it!" Gerutunya tidak tahan lagi. "Baguslah kalau itu bermanfaat. Kelak kau harus mewakiliku menghadiri acara seperti itu lagi."
Aku yang baru saja terkekeh, merasa terhibur dengan kerisihan bibi Rere, seketika terbelalak. "Apa? Bibi bercanda??"
"Untuk apa bibi bercanda?" Tanyanya. Sorot matanya memancarkan kebingungan yang kentara. "Kelak kau yang akan ku warisi butik ini, Kelly. Jadi bibi ingin kau-"
"Woooo woah... tunggu bi!" Sela ku cepat. Dengan jari telunjukku, aku mengorek telingaku kanan dan kiri, mengerjap dan melanjutkan ucapanku, "sepertinya telingaku sedikit tersumbat tadi. Apa yang bibi katakan?"
Bibi Rere terkekeh melihatku dan menggeleng, "kau yang akan meneruskan butik ini, Kelly."
"Apa?!" Pekikku. Aku ternyata tidak salah dengar. "T-tapi kenapa aku? Kenapa bukan kak Alle atau-"
"Alexis? Alexis sudah memiliki tanggung jawabnya untuk melanjutkan perusahaan Daddynya sendiri, kalau kau lupa. Sedangkan Alleira, anak itu bahkan tidak tahu bedanya satin dan sutra." Bibi Rere terkekeh sambil menggeleng. "Lagipula, Kenneth cukup kaya untuk menghidupi Alleira."
Mau tidak mau aku meringis dan membenarkan pernyataan bibi Rere dalam hati. Meski anak kandung bibi Rere, kak Alle sama sekali tidak menuruni bakat ibunya. Kalau ibunya bisa dikatakan dewi dalam bidang Designer, kak Alle ibaratkan iblis penghancur karya designer.
Lamunanku kembali buyar ketika bibi Alle meletakkan sebuah amplop krem di atas meja, lalu mendorongnya kearahku.
Aku menatap benda itu dengan tatapan bertanya, dan bibi Rere dengan senang hati menjawab kebingunganku.
"Sabtu ini di Las Vegas. Akan ada pagelaran busana dari brand Burberry yang baru membuka cabang barunya disana. Kebetulan hari itu bibi sudah janji menemani pamanmu untuk menghadiri acara kantornya, jadi bibi tidak bisa hadir. Kau bersedia datang dan menggantikan bibi? Bibi akan meminta Alexis menemanimu kesana."
"Las Vegas, bi?" Ulangku tidak percaya.
Bibi Rere mengangguk tanpa mengalihkan tatapan penuh harapnya dariku. "Kau bisa, kan? Kau dan Alexis bisa menginap disana. Bibi akan menyiapkan hotel terbaik agar kau dan Alexis tidak perlu berkendara terlalu malam untuk kembali ke LA." Bujuk bibi Rere.
Aku menatapnya ragu sesaat, "Kalau itu acara kantor... bukannya Alexis juga bagian dari kantor paman Alvero, Bi?"
Bibi Rere menepuk keningnya seakan baru melupakan kenyataan itu. "Ah iya. Bibi lupa... ah tidak apa, Bibi bisa meminta Paman untuk-"
Aku menggeleng, menghentikan bibi Rere untuk berbicara. "Tidak apa. Alexis juga perlu melebarkan koneksinya di acara kantor itu, Bi. Dia yang akan memimpin perusahaan paman nantinya, jadi kurasa Alexis tetap harus menghadiri acara itu, kan?" Tanyaku yang dijawab anggukan pelan bibi Rere. "Aku bisa kesana sendiri, Bi. Tidak perlu khawatir."
"Tapi-"
"Bahkan aku ke Seoul sendirian, dan pulang dengan selamat kan?" Tanyaku sambil terkekeh. "Tidak apa-apa, Bi." Ujarku menenangkan.
Bibi Rere menatapku dengan matanya yang penuh kelembutan. "Baiklah, bibi akan mengatur penginapanmu disana dan juga tiket pesawatmu- tidak ada bantahan atau bibi akan meminta Alexis mengantarmu!"
Aku baru membuka mulutku, tapi bibi Rere sudah lebih dulu memperingatiku, atau lebih tepatnya mengancamku.
Aku baru akan mengatakan kalau bibi Rere tidak perlu membelikanku tiket pesawat karena aku bisa menyetir sendiri kesana meski harus menempuh 4 jam perjalanan, tapi sudah diancam. Ya sudah, kalau sudah begini aku tidak bisa melakukan apapun selain menerima, kan?
"Baiklah, Mam." Ujarku sambil memamerkan senyum terlebarku dan disambung oleh kekehan bibi Rere.
***
Tbc
#TeamSean
#TeamAlexis
#TeamJoshua
#TeamBaper 😂😂😂
Oke, pertanyaan yang kemarin. Seperti yang udh aku bilang, story ini adalah KELLY'S POV.
Aku mau membawa kalian merasakan rasanya menjadi Kelly yang dikelilingi 3 cogan yang membawa sensasi berbeda di hidupnya. Satu adalah cinta masa lalunya, satu mungkin cinta masa depannya, dan satunya lagi mungkin akan segera Kelly cium dengan sendalnya.
This is the first story yang aku pakai pandangan dari tokoh utama. Jadi kalau ketiga cowok itu jatuhnya misterius, because that's what kelly feels like about them.
Mungkin aku akan buat Pov mereka dalam special part. sekali lagi MUNGKIN ya guys ^^
Terima kasih utk vote dan comment kalian.
Yuk share cerita ini ke temen" kamu! 😚😚😚
Semoga menghibur.
Oh, me personally.... #TeamSean!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro