6. Moonstone
Aku mengikuti punggung Sean yang sudah terlebih dahulu berjalan mendahuluiku semenjak mobil yang ia kendarai untuk membawa kami ke Hongdae tiba.
Hongdae tampak hampir sama dengan jalanan Myeongdong, hanya saja disini lebih menjajakan pakaian dari brand-brand lokal. Sedangkan Myeongdong penuh dengan merek internasional.
Sean berbalik kearahku masih dengan senyumannya. Jujur saja, aku mulai merasa tidak nyaman dengan senyuman Sean yang menimbulkan geratan aneh di sekujur tubuhku.
Kalau dibandingkan Joshua, Sean lebih sulit untuk di singkirkan.
"Kalau kau ingin melihat fashion asli korea, maka disinilah tempatnya." Ujar Sean. Ia berhenti melangkah di depanku hingga membuatku yang masih melangkah menjadi sejajar dengannya yang kemudian melanjutkan langkah di sampingku. "Sebenarnya ada lagi, tapi aku merekomendasikan tempat ini untuk sumber inspirasimu."
Aku menoleh menatapnya. Ia tersenyum dan seakan bisa membaca pikiranku, ia sudah lebih dulu bergumam, "itu yang mau kau cari, kan? Inspirasi fashion untuk buku sketsamu itu?" Ia menunjuk tas folder yang berada di pelukanku dengan tatapannya.
"Ya, kupikir aku akan duduk di kafe yang memiliki pemandangan jalananan kota Seoul tadi sambil menatap lalu lalang orang yang lewat." Ujarku mengalihkam tatapan darinya. Berpura-pura tertarik menatap orang-orang yang lewat.
"Disini juga ada. Aku bisa menemanimu, lalu aku bisa mengajakmu makan siang atau makan malam dan mengantarmu pulang ke hotelmu."
Aku terbelalak menatap Sean dengan tatapan tidak percaya. Tanpa menghiraukan ajakan Sean, aku bertanya padanya pertanyaan yang sedari tadi ingin kutanyakan, "Kau tidak bekerja?"
Aku menyilangkan jemariku, berharap ia baru teringat memiliki pekerjaan penting sehingga ia 'terpaksa' harus meninggalkanku.
Namun sial, sepertinya aku harus lebih sering bersedekah lagi kalau mau doaku dikabulkan.
Sean menggeleng dengan cengirannya sambil berkata, "Aku tidak ada pekerjaan penting beberapa hari ini. Jadi aku bisa menemanimu keliling Seoul selama kau disini. Kapan kau kembali ke LA?"
Double shit!
Maksud hati ingin mengusir, tapi kenapa aku malah mendapati kenyataan tidak menyenangkan ini?
Lagipula, sejak kapan aku memintanya menemaniku?
Ah... jangan-jangan ini caranya mendekatiku untuk mengorek tentang kak Alle. Sekarang aku mengerti.
Aku sepertinya sibuk berpikir karena tidak menyadari kalau ada gerobak dagangan yang hendak lewat dengan seorang pria tua yang menariknya kepayahan. Aku bisa saja ditabrak olehnya kalau Sean tidak menarikku hingga aku secara tidak langsung berada di pelukannya.
Sean berucap dengan bahasa yang tidak ku menegerti sambil membungkuk sedikit kepada penarik gerobak tadi. Aku berasumsi kalau ia sedang mewakiliku untuk meminta maaf. Ia lalu beralih kepadaku, "kau tidak apa-apa?" Tanyanya.
Aku menggeleng, antara mengerti apa yang sedang terjadi, atau tidak. Lalu aku menatap dada Sean yang berada begitu dekat di hadapanku. Jantungku seperti melakukan akrobatik di dalam. Bahkan ketika Sean melepaskan rangkulannya padaku, dan menciptakan jarak sambil bergumam kata maaf, jantungku masih berdebar cepat.
Kenapa aku dan Sean harus selalu berdekatan seperti tadi? Protes hatiku.
"Maaf, aku tidak melihat kau akan menyingkir jadi aku terpaksa menarikmu mendekat." Ucapnya tersenyum kikuk. "Kau tidak apa-apa? Ku lihat kau sepertinya melamun? Apa... aku membuatmu tidak nyaman?"
Pertanyaan itu, seharusnya ku jawab dengan kata 'Ya' yang lantang, tapi kepalaku malah menggeleng dan bibirku berkata sebaliknya, "Tidak. Tidak sama sekali."
Bibir Sean menyunggingkan senyum lebarnya yanh mampu membuatku berdebar lagi seperti saat di dalam pelukannya tadi.
"Maaf kalau aku terkesan terlalu memaksamu." Ia bergumam kecil masih sambil tersenyum. "Aku hanya tidak tahu kenapa aku bisa seperti ini."
Aku menghela nafas tidak ketara, baiklah, karena dia bisa bertingkah manis, untuk hari ini aku akan mengenyampingkan pemikiran kalau dia melakukan ini demi informasi kak Alle.
Aku berjalan terlebih dahulu meninggalkan Sean, tapi setelah Sean tidak kunjung menghampiriku, aku berbalik dan mendapati Sean masih berdiri di posisinya semula. "Ayo, katamu disini ada kafe seperti yang kuinginkan?"
Sean terkekeh dan berlari dengan tiga langkah besarnya kemudian berjalan sejajar denganku. "Ayo, disebelah sana." Ujarnya menunjuk kedepan.
*
Seperti yang sudah Sean katakan kalau ia akan menemaniku berkeliling kota Seoul beberapa hari ini, ia juga mengantarku ke Bandara di hari kepulanganku.
Aku padahal sudah memantapkan hatiku untuk menerima pertanyaan seputar kak Alle yang terlontar dari mulutnya saat di bandara tadi, tapi ternyata Sean sama sekali tidak bertanya. Bahkan selama 1 minggu ia menemaniku, tidak sekalipun ia bertanya mengenai kak Alleira.
Bukan hanya sekali atau dua kali aku memancingnya, tapi tidak ada satupun pancinganku yang di makannya. Seperti saat kami pergi mengelilingi Namsan Tower dan aku mengatakan kalau kak Alleira sangat ingin kemari, tapi kak Kenneth tidak memiliki waktu untuk membawanya, Sean hanya terdiam lalu mengalihkan pertanyaanku dengan Pertanyaannya yang membuatku bungkam.
"Lalu, dimana di dunia ini yang ingin kau kunjungi?"
Aku tidak menjawab pertanyaan itu karena aku memang tidak mempersiapkan diri untuk mendengar pertanyaan semacam itu terlontar dari mulut Sean.
Alhasil aku terngaga hingga suara tawa Sean menyadarkanku.
Pernah juga Sean memperlakukanku dengan cukup... manis. Saat ia dengan menemaniku menatap jalanan kota Seoul di dalam sebuah Kafe, Sean sama sekali tidak mengeluh. Aku bahkan berani menjamin Alexis akan meninggalkan kursinya dalam hitungan 5 menit karena kebosanan, tapi tidak dengan Sean.
Saat aku memesan minum, aku kembali membawa topik kak Alle ke permukaan. Aku mengatakan kalau aku dan kak Alle adalah penggemar kopi hitam akibat tuntutan pekerjaan yang mengharuskan kami begadang. Tapi itu tentu sebelum kak Alle menikah dulu dan masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai sekretaris kakakku.
Sean menunjukan reaksi yang cukup berbeda dengan mendelik kearahku dan mengangguk kemudian. Disaat aku memesan Black Coffee, Sean hanya memesan teh Oolong. Awalnya aku sedikit bingung karena laki-laki se...laki Sean memilih minuman segemulai teh Oolong. Tapi ketika pesanan kami datang dan pelayan malah meletakkan Black Coffee di hadapan Sean. Saat aku ingin menukarnya, Sean melarang dengan kalimatnya yang membuatku kembali menganga.
"Too much cafein not good for your body. Aku sengaja memesan teh itu untukmu. Tenang saja, teh Oolong juga memiliki kafein meski tidak setinggi Black Coffee. Selain itu, teh Oolong juga memiliki manfaat baik lainnya, terutama untuk meningkatkan fokusmu."
Apa aku sudah gila? Tapi aku sudah membiarkan Sean mengaturku dengan menukar minumanku dan berapa kadar kafein yang boleh masuk ketubuhku. Yang lebih gilanya lagi, aku menurut!
Berbeda dengan itu, aku juga pernah memancingnya saat membeli oleh-oleh untuk keluargaku di daerah Myeongdong.
Apa yang Sean lakukan dan katakan saat itu benar-benar membuatku tercengang.
"Menurutmu, mana yang lebih bagus sebagai oleh-oleh? Makanan, atau... barang? Ah sepertinya kak Alle lebih cocok memakai perhiasan mengingat kak Alle tidak suka mengemil." Aku berjalan memasuki salah satu toko perhiasan di Myeongdong.
Kalau dugaanku benar, Sean pasti akan memilihkan perhiasan yang cocok untuk kak Alle nanti, dan dia pasti akan mati-matian mempertahankan argumennya demi membelikan hadiah untuk kak Alle mengatasnamakan oleh-olehku.
Aku terlalu sibuk memperhatikan deretan berlian di hadapanku hingga aku tidak memperhatikan pramuniaga yang mendadak tegang di hadapanku lalu menyapaku dengan senyumnya yang kelewat lebar.
"Aku mau melihat gelang yang ini..." ucapku dengan bahasa Inggris seraya menunjuk salah satu gelang di etalase, "lalu kalung yang ini." Sambungku lagi.
Aku menoleh kebelakang, mengkode Sean untuk mendekat, tapi kemudian kusesali karena aroma parfumnya mendadak membuat jantungku kembali berdebar hebat.
Untung saja pramuniaga di hadapanku segera menengahi sebelum aku pingsan akibat menahan nafas terlalu lama.
"Mana yang cocok untuk Alleira menurutmu?" Tanyaku sambil memperhatikan kedua benda ditanganku.
Tidak ada jawaban. Aku menoleh, dan jantungku kembali beratraksi saat mendapati Sean menatapku lekat dari posisinya.
"S-sean?" Cicitku. Aku segera membuang wajahku saat kurasa panas mulai menjalari seluruh wajahku.
"Manapun cocok, kurasa. Tapi..."
Aku tidak tahu apa yang Sean lakukan setelah menggantungkan kalimatnya, namun satu kotak perhiasan berisikan kalung yang indah.
"Tapi aku yakin kau akan cocok mengenakan kalung ini." Sambungnya. Seketika aku mendongak melihat senyumannya.
Kenapa...? Aku membatin tidak mengerti. Sean seharusnya membantuku memilih untuk kak Alle, bukan diriku.
"Ini Moonstone. Orang-orang percaya kalau memberikan kalung ini saat bulan purnama, maka pasangan itu akan selalu memiliki ketertarikan satu sama lain. Ada yang bilang, batu ini juga membawa keberuntungan." Pramuniaga itu menjelaskan dengan bahasa Inggris yang lancar tanpa kuminta.
Apa katanya tadi? Pasangan itu akan selalu memiliki ketertarikan satu sama lain? Aku? Aku dan Sean? Pasangan? Bercanda!
Tanpa mengucapkan terima kasih atau membeli satupun perhiasan itu, aku berbalik dan meninggalkan Sean disana.
Terlalu lama berada dibawah tatapan intens Sean bisa membuatku pingsan.
*
Lagi-lagi kejadian memalukan itu teringat olehku. Hingga sekarang aku tidak mengerti kenapa Sean seperti itu.
Kalau itu hanya salah satu caranya untuk mendapatkan kepercayaanku, maka harus ku akui kalau Sean nyaris berhasil. Aku nyaris mempercayai Sean tidak memiliki niatan untuk mengorek informasi mengenai kak Alleira dariku.
Untung saja aku harus segera pulang ke LA dan aku dengan sangat beruntung bisa terbebas dari Sean yang mungkin bisa menghancurkan pertahananku untuk tidak mempercayai kalau ia tidak memiliki niatan busuk dibelakangnya.
Aku kembali bisa bernafas meski aku merasakan satu perasaan kosong semenjak menginjakkan kaki di dalam pesawat. Atau lebih tepatnya, ketika aku memasuki imigrasi dimana akhirnya aku berpisah dengan Sean yang sudah meluangkan waktu untuk mengantarku.
Ohh! Berhenti berpikir yang tidak-tidak! Sean memang bukan Joshua, tapi mereka pernah memiliki obsesi yang sama terhadap dua kakak ku.
Aku tidak boleh lengah dengan melibatkan hatiku! Tidak boleh!
"Auhhh..." aku meringis saat menabrak dada bidang yang mendadak muncul di hadapanku. Aku tidak sadar kalau aku sudah melamun sejak tadi. Aku bahkan tidak menyadari kapan pesawatku lepas landas juga mendarat. Ini benar-benar parah! Aku mendongak untuk melihat dada siapa yang ku tabrak tadi, dan kembali meringis, "Ini caramu menyambutku? Dengan mematahkan hidungku?" Gerutuku.
"Aku sudah memanggilmu dari tadi, tapi kau tidak mendengar. Melirikku pun tidak. Apa yang kau lamunkan? Atau... siapa yang kau lamunkan?" Alexis tidak tersenyum sama sekali. Wajahnya datar sedatar hidupnya. Kalimatnya memiliki penekanan di beberapa titik.
Alexis memang sudah tahu mengenai aku yang bertemu dengan Sean di Korea, juga Sean yang menemani hariku selama disana, meski aku harus mengingatkannya lagi kalau Sean adalah laki-laki yang pernah mencintai kakaknya dulu.
Seperti Joshua, Alexis juga antipati terhadap kemunculan Sean. Dan keabsenan pikiranku barusan, pastilah membuat Alexis berpikir macam-macam.
"Aku tidak melamunkan Sean." Sanggahku.
"Oh? Aku tidak menyebutkan namanya. Aku malah mengira kau sedang terlalu merindukanku hingga melamun." Sindirnya telak. Ia lalu memicingkan matanya menatapku lekat, "Jadi kau benar-benar melamunkan Sean?"
Mulutku terbuka dan tertutup tanpa bisa bersuara untuk mengajukan pembelaan diri, pada akhirnya aku mendengus dan mendorong dada Alexis menjauh lalu berjalan melewatinya sambil menarik koperku. "Jangan mengada-ada." Aku tidak melamunkan Sean! Aku hanya mengingat ulang keanehan laki-laki itu! Sambung batinku.
Aku merasakan koperku ditarik dan saat aku menoleh, Alexis sudah merangkulkan lengannya di bahuku sambil sebelah tangannya menarik koperku yang ia ambil paksa tadi. "Meski bukan denganku, aku berharap laki-laki penggantiku tidak akan menyakitimu. Jadi aku hanya mau memastikan penggantiku adalah pria yang baik." Ucapnya setengah berbisik. Aku menatap kearahnya yang masih menatap lurus kedepan. "-pria yang mencintaimu sebesarku, pria yang akan membahagiakanmu, dan kau juga mencintainya."
Pembicaraan ini lagi. Aku menarik sedikit senyumku dan menghela nafas. Baru setelah hatiku sedikit lebih tenang, aku menarik lebih lebar senyumku dan menyikut perut Alexis.
"Laki-laki melankolis. Apa aku benar-benar pernah jatuh cinta pada laki-laki semelankolis dirimu?" Aku tertawa, menyamarkan rasa canggung diantara kami dengan canda. "Kalau kuberitahu aku tidak membelikanmu oleh-oleh, apa kau akan menangis?" Tanyaku lalu tergelak dan lari saat Alexis melotot kearahku.
Tepat 5 langkah di depan Alexis, aku mendengar Alexis berteriak untuk memintaku berhenti berlari dan menantikan pembalasannya kalau aku benar-benar tidak membelikannya oleh-oleh.
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro