Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

49. What Happen to Me?

Sebulan berlalu dengan sangat cepat bagiku yang diburui oleh deadline pekerjaan. 80% waktuku habis di kantor Sean untuk mengejar batas waktu yang aku tentukan sendiri karena masih akan ada banyak revisi meskipun gaun-gaun itu selesai di kerjakan.

Mengepas ukuran dengan tubuh model. Merapikan jahitan yang tidak sempurna. Dan juga aku membuat beberapa gaun cadangan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.

Sedangkan 20%nya lagi, waktuku habis bersama Sean di Mansionnya.

Ya, aku -atau lebih tepatnya Sean, memintaku tinggal bersamanya di Mansion agar ia bisa mengecek keadaanku setiap saat dan memastikan kebutuhan gizi juga istirahatku terpenuhi dengan baik.

Menurutku itu akal-akalannya saja, karena memastikan itupun bisa dilakukan di Apartemenku.

Yang jelas, aku merasa seperti benar-benar menikah dengan Sean saat ini, dan kami tinggal bersama di Mansionnya.

Mommy dan Daddy akan membunuhku kalau sampai mereka tahu perbuatanku ini. Aku jadi membandingkan diriku dengan kak Keira dulu.

Apa aku melakukan hal yang sedikit baik dibandingkan kak Keira? Atau malah sama? Entah lah.

***

Minggu depan adalah hari dimana acara tahunan bergengsi itu akan dimulai.

Aku mulai merasa panik karena gaun yang seharusnya dikenakan oleh model-model Majalah People, belum juga rampung seutuhnya.

Masih ada beberapa revisi ukuran juga model gaun yang kurang cocok dengan pribadi si Model.

Akibatnya, aku jadi mudah marah meski terhadap hal kecil yang sebenarnya tidak perlu di permasalahkan.

Dan di sinilah aku, di ruang kerja kacaku, mengamati manekin yang mengenakan gaun yang harus ku revisi, menggigit jarum dan mengalungi meteran baju sambil tanganku memainkan kain bahan untuk menemukan 'lokasi' yang pas di gaun tersebut.

"Istirahat sebentar, Love. Temani aku makan siang." Aku terkejut ketika lengan Sean melingkar di pinggangku. Lidahku nyaris saja tertusuk jarum akibat aksi tiba-tiba Sean barusan.

Aku mengambil jarum dari gigitanku dan menatap Sean tajam, siap memakinya. "Barusan itu bahaya, Sean! Aku bisa saja menelan jarum ini karena kau mengejutkanku!"

Seperti biasanya, Sean tersenyum menanggapi kemarahanku. Ia seakan tahu kalau kemanisannya itu ampuh untuk meluluhkan hatiku selama ini. "Temani aku..." pintanya sambil menyentuh kedua pipiku.

Aku menghela nafas dan memilih untuk mengontrol emosiku yang tiba-tiba naik itu. Aku kira berhadapan dengan Sean adalah sebuah pengecualian, tapi nyatanya tidak.

Kadar kemanisan yang Sean miliki hanya berlaku kalau aku sedang tidak dalam kondisi stress.

"Kau pergi saja sendiri. Aku masih banyak pekerjaan." Ucapku sedikit menyesal. "Maaf."

"Tapi kau juga harus makan, Kelly." Sean menatapku lurus. Ibu jarinya mengusap pipiku, mengirimkan gelenyar hangat dan semangat ke diriku.

"Aku akan makan nanti. Aku hanya mau menyelesaikan ini sebentar lagi." Sanggahku.

"Kalau begitu, aku akan menunggumu. Baru setelah itu, kita makan bersama." Putusnya yang entah kenapa, aku tidak suka mendengarnya.

"Pergi saja, Sean. Aku bisa makan sendiri nanti." Aku menepis kedua tangannya dan kembali menatap patung manekin yang tadi ku abaikan.

"Aku belum lapar, aku masih bisa menung-"

"Pergi, Sean! Kau tidak perlu menungguku." Aku terkejut mendengar suaraku yang meninggi tanpa bisa ku kontrol.

Sean juga terkejut mendengar suaraku barusan. Hening sejenak sebelum ia tersenyum dan mengangguk kecil. "Aku akan membelikanmu makanan. Kalau kau lelah, kau istirahat saja dulu. Jangan memaksakan dirimu, love." Tangannya menggapai kepalaku dan membelainya lembut.

Tanganku masih tergantung di sisi Manekin ketika mendengar langkah kaki Sean menjauh dan aku baru berbalik saat mendengar suara pintu tertutup.

Seketika hatiku menjadi merasa bersalah. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku bisa tiba-tiba meninggikan suaraku. Tapi aku hanya tidak ingin Sean memaksaku, atau mungkin aku tidak ingin di ganggu.

Haaaah... apa yang terjadi padaku?

***

Perdebatan kami siang itu ternyata membuatku malu, dan enggan bertemu juga bertatap muka dengan Sean.

Mungkin siklus bulananku akan segera datang, maka aku menjadi sensitif belakangan ini. Atau mungkin karena beban pekerjaan, aku jadi mudah tersulut emosi.

Tapi aku juga bingung, kenapa aku hanya seperti itu terhadap Sean?

Saat ini saja, saat aku memutuskan untuk pulang ke Apartemen keluargaku dan menemui Alexis, aku malah menempel padanya seperti perangko.

Aku tidak memikirkan pekerjaan sama sekali dan meski Alexis membahas pekerjaan, emosiku juga tidak tersulut.

Barulah aku merasa kesal lagi saat Sean menelepon, menanyakan keberadaanku.

"Kau bertengkar dengan pacarmu?" Tanya Alexis begitu aku mematikan panggilan dari Sean setelah mengatakan aku mau istirahat di Apartemen keluargaku saja malam ini.

"Tidak." Jawabku. Jujur? Entahlah. Aku tidak merasa sedang bertengkar. Aku hanya sedang kenyang - atau bosan dengan perlakuan manisnya padaku.

Aku kembali duduk di sebelah Alexis dan merebahkan kepalaku di pangkuannya. "Aku mau tidur sebentar disini, kau tidak keberatan, kan?" Tanyaku sambil memejamkan mata. Itu hanya pertanyaan basa-basi karena aku tahu kalau Alexis tidak akan menolakku.

"Berat. Kepalamu yang penuh pikiran itu sangat berat, Kel- Auhhh!"

Aku mencubit pahanya dan kembali mengistirahatkan diriku.

Alexis berdecak, tapi kemudian tangannya membelai lembut rambutku.

"Grandpa." Panggilku tanpa membuka mata. "Aku suka kau membelai rambutku begitu. Teruskan sampai aku tidur, ya." Pintaku sambil terkekeh.

"Manja sekali." Sindirnya padaku. "Kalau kau mau manja, bermanja-manjalah dengan kekasihmu. Jangan sahabatmu. Kau tidak takut kekasihmu cemburu?" Ia terkekeh nyaring.

Mataku terbuka dan tubuhku langsung tegak duduk di sampingnya. Bibirku  mengerucut dengan pipi menggembung.

"Ada apa? Ada yang salah?" Tanyanya tidak mengerti.

"Aku hanya tidak mau membahas mengenainya. Entah kenapa, aku mual setiap kali membayangkan kemanisan Sean." Gerutuku sambil melipat kedua tanganku di depan dada. "Menurutmu, apa keputusanku sudah benar dengan menerima cinta Sean? Sepertinya aku mulai bosan sekarang." Tanyaku.

Alexis mengerjap berkali-kali menatapku. Aku juga mengerjap seakan ketularan dirinya. "Lupakan. Aku rasa hatiku tidak setuju aku mengatakan kalimat barusan. Sepertinya aku hanya sedang jenuh karena pekerjaan." Aku lebih dulu menyanggah sebelum Alexis menyanggahku.

Jelas-jelas hatiku masih berdebar memikirkan Sikap lembut Sean. Tapi reaksi tubuhku di luar biasanya. Emosiku akan tersulut naik, lambungku terasa terkocok-kocok hingga seperti sebotol kaleng soda yang terkocok dan siap meluapkan gasnya, dan -aku paling tidak suka kenyataan ini- pikiran terdahulu saat Sean membohongiku selalu mampir membuatku kesal untuk menatapnya.

Yang jelas, aku ingin sekali marah-marah setiap kali dihadapkan pada Sean belakangan ini. Sekali lagi, ini hanya berlaku pada Sean saja. Titik.

"Kau lelah, lebih baik istirahat saja dulu." Usul Alexis sambil berdiri dari tempat duduknya.

Aku mengangguk dan ikut berdiri. "Ide bagus. Aku pulang dulu, Grandpa. Terima kasih sudah mau menemaniku."

"Kembali ke Apartemenmu?" Tanya Alexis memastikan.

"Tidak. Aku tidur di Apartemen Mommy malam ini. Aku merindukan kasur kesayanganku juga telur gosong Mommy setiap pagi." Aku terkekeh saat mengatakannya. Alexis ikut terkekeh mendengarku dan mengacak rambutku tanpa perasaan.

"Aku akan mengantarmu kerja besok." Itu bukan penawaran, melainkan pernyataan. Jadi aku hanya mengangguk dan berjalan keluar menuju ke Penthouse Mommy yang berada di seberang Penthouse keluarga Alexis.

***

Wangi harum memasuki indra penciumanku pagi itu saat aku mulai terbangun dari tidurku.

Wangi harum yang seharusnya kusyukuri karena selama ini, tidak pernah ada wangi harum masakan yang menyeruak masuk ke dalam kamarku selain bau gosong yang Mommy hasilkan.

Tapi kenyataannya tidak. Wangi harum itu malah membuat perutku seperti terkocok-kocok lagi, dan kali ini aku berlari menuju ke kamar mandi untuk memuntahkan apapun yang sedang meronta ingin keluar dari perutku.

Kepalaku pusing dibuatnya sekarang.

Setelah memuntahkan angin dan cairan lendir, aku keluar menuju ke dapur sambil menutup hidungku untuk melihat apa yang sedang di hasilkan disana.

"Mom, apa yang sedang kau masak?" Tanyaku sambil menahan mual akibat wangi makanan yang sedang Mommy masak.

"Omelette. Ayo duduk. Kali ini Mommy tidak menggosongkannya karena Mommy menggunakan Timer." Daddy tersenyum sumringah duduk di meja makan sambil mengajakku bergabung.

Aku mendekat dan mencium Daddy kemudian menghampiri Mommy yang sedang menggoreng telur dengan warna cantik yang selama ini tidak pernah kulihat sebelumnya.

Tapi pemandangan telur dengan warna gold itu sama sekali tidak membangkitkan selera makanku.

"Kenapa kau menutup hidung? Hei! Ini adalah makanan terlezat yang pernah Mommy buat, kau tahu?!" Tanya Mommy merasa tersinggung.

"Maaf, Mom. Tapi... apa aku boleh meminta punyaku di gosongkan seperti biasanya? Aku rasa aku lebih ingin memakan telur gosongmu yang biasa ketimbang yang ini."

Mommy mematikan kompornya dan mengernyit, menatapku meneliti dari ujung kaki hingga kepala dan kembali ke mataku, tangan dan hidungku.

"Kau lebih menyukai telur gosong dari pada yang ini?" Tanyanya tidak percaya.

Aku sendiri juga tidak percaya. Karena sejujurnya, menyantap telur normal seperti ini setiap sarapan dirumah, sudah seperti impian setiap orang disini namun kami pasrah melihat kemampuan masak Mommy. Mungkin karena itu juga Daddy tersenyum sumringah tadi.

Tapi aku merasa telur gosong Mommy akan lebih mudah masuk ke mulutku kali ini.

"Mungkin karena aku sudah lama tidak pulang, aku jadi merindukan telur gosong Mommy." Aku nyengir masih menutup hidungku.

Alih-alih merasa tersindir, Mommy malah terkekeh dan mengangguk. "Ternyata ada juga yang bisa merindukan masakanku. Baiklah. Mommy akan membuatkan telur yang seperti biasa. Kau temani Daddymu saja dulu."

"I don't miss your burnt egg, honey. Make me a nice one. Don't burn my egg!" Teriak Daddy dari depan dan kami terbahak bersama.

"Mommy akan gosongkan punya Daddy juga. Jaga rahasia, ya." Mommy berkedip dan mengusirku kedepan.

Aku mengangguk dan menghampiri Daddy dengan langkah lebih santai kali ini.

Saat aku duduk di sebelah Daddy, Daddy mengernyit menatapku bingung. "No one like those burnt eggs, kelly. Kau gila sudah merindukan telur gosong itu." Daddy berdesis, mungkin takut terdengar Mommy.

Aku hanya terlekeh menanggapinya. Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku hingga aku lebih memilih telur beracun itu ketimbang telur yang seharusnya lezat tadi, namun terasa beracun untukku.

Ini aneh... benar-benar aneh.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro