36. Disappointment...
"Korea Selatan?"
Aku tersentak dan spontan menutup laptopku lalu berbalik saat mendengar suara nyaring di belakangku.
"Lou! Kau mengejutkanku!!" Desisku sambil menoleh kanan kiri dimana sekarang rekan kerjaku lainnya yang memang masih lengkap -karena ini belum jam makan siang- sedang menatap kearah kami.
"Untuk apa kau mencari tiket ke Korea Selatan? Kau mau liburan kesana?" Louisa tidak menggubris desisanku dan kembali menanyaiku dengan mode penyelidiknya.
"Tidak. Aku hanya... hanya iseng." Jawabku tergagap.
Kedua alis Louisa mengkerut, menatapku dengan penuh kecurigaan. Aku tahu ia tidak percaya karena sejauh apapun aku kehabisan ide atau bosan, mencari tiket tidak pernah menjadi jalan keluarku memecah kebosanan itu sendiri.
Tapi diluar bayanganku yang mengira Louisa akan kembali mendesakku, Louisa hanya menghela nafas dan mengangguk. "Kau terlihat cukup aneh belakangan ini semenjak bertemu dengan Wanita Asia itu, Kelly. Kurasa liburan juga hal yang kau butuhkan mengingat seberapa banyak pekerjaanmu selama dua bulan belakanga ini." Ia berjalan meninggalkanku menuju ke Pantry.
Aku menggigit bibir bawahku, kemudian bangkit dan mengikuti Louisa.
"Lou, ehm... aku hanya ingin iseng bertanya karena penasaran." Ujarku saat aku dan Louisa sudah berdua di dalam Pantry. Louisa tidak terlihat terkejut mendengar suaraku.
"Tanya apa?" Sahut Louisa tanpa berbalik. Tangannya masih sibuk membuat kopi.
"Ehm... kalau misalkan Adrian dulu dijodohkan dengan perempuan lain, apa yang akan kau lakukan?" Tanyaku ragu. Tidak mengerti bagaimana menggambarkan keadaanku saat ini dengan mengumpamakan orang lain.
Tangan Louisa berhenti bergerak sebentar sebelum ia kembali membuat Kopinya tanpa berbalik. "Maksudmu?"
Oh ayolah! Aku rasa itu sudah perumpamaan termudah untuk di mengerti. Aku mengeluh namun tidak terang-terangan. Aku menarik nafas, mencoba mencari kata yang lebih tepat untuk ku tanyakan.
Louisa kemudian berbalik dengan kopi yang masih mengepulkan uap panas dari gelas gabus di tangannya. "Aku akan membiarkannya. Karena kau tahu, aku dan Adrian tidak seperti pasangan romantis lainnya yang selalu bertingkah lovey dovey dimanapun dan memamerkan kemesraan kami. Bisa dibilang aku menerima Adrian menikah juga karena umurku sudah cukup, dan aku memang harus membangun sebuah keluarga." Jawab Louisa.
Aku terdiam mencerna ucapan Louisa barusan.
"Tapi berbeda denganmu, Kelly. Sudah kubilang jangan samakan Adrian dengan Sean. Mereka dua spesies laki-laki yang berbeda dan begitu juga dengan kita. Perasaan kita berdua pada pasangan kita juga berbeda." Sambungnya.
Aku terkejut dan mengerjap berkali-kali. "Aku tidak bilang kalau aku sedang membicarakan Sean! Dan aku juga bukan 'pasangan' seperti yang kau pikirkan!" Ucapku sambil mengutip kata pasangan dengan kedua tangaku.
Louisa terkekeh melihatku. "Kelly, aku tidak suka mengatakan ini, tapi aku lebih tua darimu, dan aku lebih berpengalaman. Kau tidak bisa membohongiku seperti apa yang sedang kau lakukan pada dirimu sendiri." Ucapnya santai. Ia menggidikkan bahu seakan tahu kalau tebakannya benar. Dan sialnya, tebakannya memang sepertinya benar.
"Benar, kan? Apa pertanyaanmu ini ada hubungannya dengan wanita Asia yang bernama Alana Kim itu? Dia Istri Sean yang kau maksud dulu?" Tanya Louisa kembali ke mode penyelidikan dan keponya.
"Dia adiknya." Jawabku pelan. Mendengar Louisa menyebut Alana istri Sean membuatku mengingat kesalah pahaman juga kebodohanku dulu.
"Oh? Lalu...?" Desak Louisa.
"Kelly, kau di panggil bibimu di atas." Suara seorang perempuan memotong pembicaraan kami. Aku berbalik dan melihat rekan kerjaku yang bernama Stacy sudah berlalu sebelum aku mengucapkan kata terima kasih.
Aku kembali menoleh kearah Louisa, menimang apa aku perlu menjawab pertanyaan Louisa atau tidak, dan aku memilih untuk mengabaikannya. "Aku pergi dulu." Pamitku lalu berbalik untuk menuju ke lantai atas, tempat dimana ruang kerja bibi Rere berada.
Sesampainya di depan pintu kerja bibi Rere, aku mengetuknya pelan lalu membukanya kecil, mengintip dari celah yang hanya muat dimasuki kepalaku.
"Bibi mencariku?" Tanyaku memastikan.
Bibi Rere mengangguk dan tersenyum lebar melihat kehadiranku. "Duduk, Sayang."
Aku menutup pintu di belakangku dan berjalan menuju ke mejanya kemudian duduk di hadapannya.
"Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat pucat. Apa kau masih sakit?" Raut wajah bibi Rere berubah khawatir melihatku.
"Tidak, Bi. Tidak perlu khawatir. Ada apa bibi memanggilku?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Bibi Rere terdiam sebentar, seperti menimbang sesuatu kemudian ia menghela nafasnya sambil membuka laci kerjanya.
"Tadinya Bibi ingin memintamu menggantikanku di acara fashion show Paris tiga hari lagi karena bibi harus menemani Alleira yang baru melahirkan." Ujarnya sambil menyerahkan secarik amplop bertemakan emas kearahku. "Kalau kau merasa tidak sehat, bibi akan meminta sekretaris bibi untuk menggantikan-"
"Aku akan pergi!" Sahutku cepat. Terlalu cepat bahkan kepalaku belum sempat mencernanya.
Kalau Fashion show ini seperti show sebelumnya, berarti Sean kemungkinan memiliki undangan yang sama, kan? Jadi aku bisa bertemu dengannya tanpa harus pergi ke Korea lagi, kan?
"Kau benar-benar bisa pergi? Bibi akan coba bicara dengan Pamanmu untuk mengijinkan Alexis mengambil cuti untuk menemanimu nanti." Tawar bibi Rere masih terdengar khawatir.
"Kurasa tidak perlu, bibi." Kalau Alexis ikut, aku pasti tidak akan bisa bicara dengan Sean nantinya. Sambungku dalam hati.
Tapi apa yang mau kubicarakan dengan Sean? Atau tepatnya... dari mana? Dan bagaimana?
"Tidak, Kelly. Bibi bertanggung jawab atas keselamatanmu disana." Tolak bibi Rere dengan gelengan tegas.
"Bibi tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja." Ujarku. Aku berdiri dan meraih amplop di meja bibi Rere sebelum bibi Rere menariknya lagi, lalu memamerkan senyumku lebar-lebar. "Terima kasih kesempatannya, Bi. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini." Aku berlari menuju ke pintu ruangan bibi Rere, menyudahi pembicaraan kami lebih cepat.
"Kelly, tunggu!!!" Suara teriakan bibi Rere terdengar sebelum aku menutup pintu.
Aku kembali melongokan kepalaku dan memberinya senyuman termanis selama murung seminggu ini. "Apa aku sudah bilang kalau Bibi seperti malaikat? I love you, Bi!"
Bibi Rere yang membuatku bertemu lagi dengan Sean, dan kali ini, disaat aku mengalami kegundahan akan perasaanku dan laki-laki itu, Bibi Rere kembali memberikan kesempatan lainnya.
Aku tidak tahu apa yang akan ku lakukan atau katakan padanya kalau bertemu lagi nanti. Yang pasti, aku hanya ingin memastikan satu hal.
Perasaan yang kemarin kurasakan saat Joshua memelukku, juga saat mendengar ucapan Alana adalah salah.
***
3 hari kemudian.
Paris, Prancis.
12.00pm
Udara hangat menyambutku begitu aku keluar dari bandara menunggu jemputanku.
Setelah 11 jam perjalanan melelahkan dan membosankan juga menegangkan karena aku tidak sabar mendatangi acara malam nanti dan bertemu dengan Sean, aku akhirnya bisa merentangkan tubuhku yang sekaku papan setelah duduk berjam-jam dengan posisi yang sama.
"Mademoiselle." Aku menoleh mendapati pria tua tersenyum kearahku sambil membawa papan nama bertuliskan namaku. "Apa anda bernama Kelly Agnesia McKenzie?" Tanyanya berbahasa inggis.
"Oui." Jawabku dengan bahasa Prancis yang sedikit ku kuasai berkat pelajaran Fashion yang ku tekuni.
Laki-laki tua itu cukup terkejut mendengarku membalasnya dengan bahasa Prancis. Ia melanjutkan ucapannya dengan bahasa Prancis kemudian. "Nama saya Fredrick. Mari, saya akan membawa anda ke hotel untuk beristirahat."
Perlu waktu cukup lama untukku mengerti apa yang ia ucapkan karena ia bicara terlalu cepat. Tapi akhirnya aku mengerti. "Merci, Fredrick." Sepertinya aku harus menyudahi drama bahasa Prancisku sebelum Fredrick bicara lebih banyak dan aku berujung tidak mengerti.
Untuk itu, aku mengeluarkan ponsel juga headsetku agar terlihat sibuk sehingga Fredrick tidak akan mengajakku bicara lagi di mobil nanti.
Sesampainya di Hotel, aku langsung menuju ke resepsionis untuk melakukan check in. Seharusnya prosesnya seperti biasa, tapi aku merasa kali ini lebih lama.
Aku mengernyit melihat wanita muda di depanku sibuk berbisik sesuatu dengan managernya. Apa ada masalah?
Aku melihat managernya merangsek kesamping Wanita muda itu dan kini berdiri menatap layar komputer yang berada di meja depanku.
Aku tidak mengerti apa yang mereka sibuk bisikkan, namun saat aku ingin bertanya apa ada yang salah, Manager yang tadi sibuk mengecek layar sudah tersenyum kepadaku sementara wanita muda tadi sudah sibuk pergi ke balik pintu yang terletak di sudut meja front desk.
"Maaf atas ketidak nyamanannya Ms.McKenzie." ucap Manager ber-name tag Derrick dengan bahasa Inggris yang bercampur aksen Prancis.
"Apa ada masalah?" Tanyaku.
"Tidak, Miss. Anda tidak perlu khawatir." Ucapnya lagi ramah. Wanita muda yang tadi sempat menghilang, kini kembali ke tempatnya dengan membawa sebuah kotak bersamanya. "Ini kunci kamar anda, bell boy kami akan mengantarkan anda ke kamar. Dan juga ini..." Derrick meraih kotak yang ada di tangan Wanita muda itu kemudian meletakkannya di depanku. "Ada titipan untuk anda, Miss. Maaf atas keteledoran staff kami. Mereka tidak sempat menanyakan nama pengirimnya karena ia langsung pergi begitu menitipkan ini mengatas namakan anda."
Aku mengernyit. Siapa yang menitipkan barang untukku? Aku memang ada kenalan di Prancis, tapi kepergianku kesini tidak pernah ku beritahu siapapun selain keluargaku.
Tiba-tiba jantungku berdebar. Mungkinkah...? Tidak ada yang mustahil kalau pengirimnya adalah Sean. Laki-laki itu penuh dengan kejutan. Ia juga pernah melakukan hal yang sama dulu, kan?
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku membuka ikat pita pada kotak tersebut di atas meja resepsionis, kemudian senyumku tertarik di kedua sisi.
Sebuah gaun malam hitam terlipat cantik di dalam kotak itu.
Hope i get it right.
Be ready at 7, I'll pick you up this time.
Lagi-lagi, seperti bunga terakhir yang kuterima, surat yang terlampir di kotak ini juga tanpa nama.
Tapi entah kenapa aku yakin kalau pengirimnya adalah orang yang sama.
Memikirkannya saja sudah membuat jantungku berdebar cepat.
Apa ini artinya dugaanku mengenai perasaanku tidak salah?
Debaran ini, rasa sakit itu, rasa rindu itu, rasa hangat yang hilang itu... Karena hatiku sudah jatuh lebih dalam pada Sean tanpa aku mempedulikan kalau aku hanya menjadi batu loncatannya? Karena aku jatuh cinta -sangat jatuh cinta pada Sean yang telah mempermainkanku?
***
Aku mengenakan Gaun malam yang sudah Sean persiapkan untukku. Tidak bisa ku pungkiri, aku sangat tidak sabar menunggu jam 7 tiba. Namun saat jarum jam menunjukan 10 menit sebelum jam 7, aku jadi gugup.
Bagaimana aku harus menyapa Sean nanti? Apa aku harus bersiap biasa setelah menolaknya kemarin? Apa aku akan terlihat munafik kalau menyapanya dengan tersenyum juga kelegaan setelah memintanya pergi?
Oh aku tidak memiliki waktu untuk itu. Sean akan menjemputku sebentar lagi dan aku tidak mau membuatnya menunggu lama.
Aku memutuskan untuk bersikap biasa saja begitu melihatnya nanti.
Aku meraih clutch ku dan turun 5 menit sebelum jam 7. Aku tidak mau membiarkan Sean menunggu lama selain karena aku tidak sabar bertemu dengan Sean dan memuaskan rasa rinduku ini.
Terusan berbelahan dada rendah ini membuatku menjadi pusat perhatian orang-orang yang kulewati. Harus kuakui pilihan gaun Sean kali ini terlampau tidak biasanya kalau dibanding gaun terakhir yang ia berikan padaku dulu saat aku mengira aku akan diculik oleh supir kirimannya dulu.
Aku terkekeh kecil mengingat kebodohanku. Kali ini, Sean yang akan menjemputku, kan? Itulah yang dikatakannya di kertas tadi. Dan itu juga kalau benar Sean yang mengirimiku kotak itu. Kurasa tidak banyak orang bernama Kelly, apalagi memiliki nama McKenzie di belakangnya.
Aku keluar dari hotel dan menunggu. Jantungku berdebar cepat setiap detik jam bergerak.
Ku tolehkan wajahku ke kanan dan kiri, menunggu datangnya Sean yang entah dari arah mana.
Namun tiba-tiba satu suara tersengat di belakangku memanggilkan namaku. "Kelly."
Tubuhku menegang. Aku dengan cepat berbalik dan terdiam. Tidak mungkin...
"Maaf membuatmu menunggu. Apa kau sudah siap?" Tanyanya dengan senyum lebar.
"Kau... kau yang mengirim paket itu?" Tanyaku. Aku tidak bisa menyembunyikan nada kecewa dari ucapanku.
Laki-laki itu menoleh ke kanan kiri seakan mencari sesuatu lalu kembali menatapku, "kalau kau sedang berbicara denganku, iya. Aku yang mengirim paket itu. Kau cocok memakai gaun itu." Pujinya yang sama sekali tidak membuat kupu-kupu di perutku berterbangan.
"Ayo, acaranya akan segera mulai." Tangannya dengan cepat terulur menarik tanganku menuju ke mobil sedan putih yang berhenti di depan tempat aku menunggu tadi.
Otakku berputar, pusing rasanya saat harapan dan kenyataanku tidak bertemu.
Kecewa. Itu hal yang sangat kurasakan sekarang. Bahkan mataku terasa panas dan bisa kurasakan genangan air mata yang sudah mengantri di pelupuk mataku saat ini saat Joshua menarikku ke mobilnya.
Ya, bukan Sean yang menjemputku, melainkan Joshua.
Joshua Colton.
Aku bahkan tidak tahu apa Sean akan hadir atau tidak. Pengharapanku terlalu tinggi.
Apa yang kuharapkan saat aku sudah menolak Sean dan mengusirnya?
Aku bodoh. Yang membuatku kecewa bukanlah Sean, melainkan diriku sendiri.
***
Tbc
TJIE BAPER...
TJIE KESEL SAMA KELLY...
TJIE IKUT-IKUTAN NGAREPIN SEAN
😂😂😂😂
*author Tsades*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro