33. Bad Liar!
Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan kalau Sean berkata jujur mengenai malam itu. Senang? Cemburu? Atau bersyukur karena ia sudah jujur? Tapi apa aku bisa mempercayainya?
Sean berdeham, meraih tanganku dan mengusapnya pelan. Ia menunduk sebentar sebelum kembali menatapku dan menjawab pertanyaanku.
"Aku tidak pernah bertemu dengan Alleira lagi semenjak pernikahannya."
Dan sialnya, aku tidak menyiapkan kemungkinan kalau Sean akan berbohong.
***
Aku menahan isakku juga sakit hati yang menusuk. Perlahan aku menarik tanganku dari genggamannya. Mataku terasa panas, aku berharap mataku tidak akan berkhianat dengan mengeluarkan cairan bening sialan itu di depan Sean. Dia tidak pantas untuk ditangisi sama. Sama sekali tidak.
"Baiklah, sekarang giliranku untuk menjawab, kan?" Tanyaku. Wajah Sean masih terlihat bingung selepas aku menarik tanganku tadi, tapi saat mendengar suaraku, aku bisa melihat Sean berusaha untuk tidak terusik dengan penolakanku barusan.
Sean mengangguk pelan, "Ya, kau boleh menjawabnya sekarang." Ujar Sean terdengar sedikit tertahan.
Jantungku berdebar dengan denyut menyakitkan. Aku tidak tahu apa memang ini yang mau ku lakukan atau tidak. Tapi kenyataan kalau Sean sudah berbohong, tidak bisa ku tolerir.
Aku berdeham, lalu sedikit memundurkan tubuhku darinya, memberikan jarak aman yang sebenarnya tidak perlu.
"Kau... Partner kerja sama yang menyenangkan... juga Sangat membantu." Suaraku bergetar. Jelas sekali aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri saat ini. "Kau juga... teman bicara yang... baik."
"Kau tahu bukan itu maksud pertanyaanku, Kan?" Sela Sean memajukan duduknya.
Aku spontan menjulurkan tanganku, merentangkan jarak sembari bergerak mundur hingga kusadari kalau aku sudah berada si ujung Sofa saat pinggulku tertahan lengan sofa. Tidak ada lagi tempat untuk berlari kalau Sean mendekat.
Sama seperti hatiku.
Tidak ada cara menyelamatkannya lagi kalau Sean kembali menguarkan pesonanya dan membohongiku lagi dengan rayuannya.
Sean terkejut melihatku bergerak mundur menjauhinya. Aku bisa melihat usahanya untuk terlihat biasa sambil memanggilku. "Kelly? Kau tidak sedang menghindariku, kan?"
Aku menggeleng dan tersenyum. "Bagaimana aku bisa menghindarimu?" Kalau aku saja masih memiliki pekerjaan denganmu. Sambungku dalam hati.
"Lalu...?" Tanyanya ragu.
"Mengenai pertanyaanmu yang terakhir. Apa kau memiliki kesempatan untuk mendampingiku..." ulangku. Jantungku kembali berdebar saat mengulang pertanyaan itu, tapi bedanya debaran kali ini terasa sangat menyakitkan. Amat sangat menyakitkan kalau boleh kutambahkan. Aku mencoba tersenyum dan menatap Sean. Hingga detik ini air mataku masih belum berniat mengkhianatiku meski mataku sudah terasa panas. "Kurasa keinginanmu terlalu sulit untuk ku kabulkan."
Bahu Sean merosot, matanya menatapku. Rasanya sakit melihat sorot matanya sekarang. Wajahnya mengisyaratkan seperti aku baru saja mengambil seluruh nafasnya dan memberitahu dirinya kalau dia akan mati dalam beberapa detik kedepan.
"Benarkah? Terlalu sulit?" Gumamnya lirih. "Bahkan mencoba untuk mewujudkannya sedikit saja, apa sesulit itu?" Tanyanya.
Jujur saja, pertanyaannya sangat membuat hatiku pilu. Apa aku mulai mencintai Sean sekarang? Apa aku memiliki keinginan yang sama dengan Sean? Apa aku akan menutup mataku akan kesalahan juga Kebohongan Sean dan mewujudkan keinginannya? Keinginan kami untuk mencoba bersama?
Aku tidak sanggup memecahkan hatiku menjadi kepingan lebih kecil lagi. Tidak lagi setelah benda itu sudah pecah berkali-kali.
"Maafkan aku." Jawabku akhirnya.
Sean menghela nafasnya, matanya terpejam beberapa detik, lalu kembali terbuka. Sorot matanya menunjukan seberapa besar rasa terluka dirinya saat ini. Dan detik itu juga aku merasa menyesal telah menjawab sesuatu yang tentunya berlainan dengan hatiku.
"Baiklah, aku mengerti." Lirihnya kemudian bangkit dari tempatnya sambil meraih ponselnya di meja. Ia menatapku dan memaksakan senyumnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu. Maaf merepotkanmu hari ini. Dan maaf... kalau aku membuat segalanya menjadi canggung." Ucapnya kemudian berbalik dengan langkah tak setegap biasanya.
Apa aku yang telah membuat tubuh tegap itu kehilangan tenaganya?
Bunyi Debam pintu terdengar dan air mataku memutuskan untuk menunjukan wujudnya.
***
"Kau berjanji akan mengabariku kalau ada apa-apa, kan?" Nada khawatir bisa kudengar dari ujung panggilan ini. "Ini yang ku tidak setujui saat kau mengatakan ingin tinggal terpisah, Kelly!"
Aku mendesah lalu tersenyum maklum meski aku tahu senyumku tidak bisa dilihat olehnya. "Astaga, Lexy. Aku hanya flu. Aku bukan akan mati."
"Aku sedang tidak ingin bercanda, Kelly!" Alexis berdecak kemudian menggerutu sendiri. "Berjanjilah kau akan memeriksakan dirimu ke dokter kalau sampai besok sakitmu masih belum sembuh."
"Baiklah, Grandpa." Candaku lalu aku terbatuk saat ingin tertawa.
"Serius, Kelly! Ck! Tidak bisa, aku ke Apartemenmu sekar-"
"Jangan berlebihan! Kurasa kau saja baru masuk ke mobilmu setelah meninggalkan apartemenku 5 menit yang lalu, Lexy." Ujarku kemudian terkekeh.
Alexis memang baru saja dari Apartemenku setelah mengantarkan bubur juga obat untukku. Kekhawatiran laki-laki itu sungguh tidak bisa dipercaya.
"Aku akan menyeretmu pulang!" Tegasnya setengah mengancam.
"Aku tidak akan membuka pintu untukmu. Aku sudah nyaman di kasurku sekarang." Bohongku. Padahal aku masih duduk manis menatap televisi yang tidak menyala di ruang tamuku. "Sudahlah, Lexy. Hati-hati dijalan. Aku sudahi dulu panggilanmu, aku mau istirahat."
Aku mendengar Alexis berdecak di seberang sana juga suara pintu tertutup yang kuduga adalah suara pintu mobilnya. Lalu suara Alexis terdengar lagi, "baiklah, kau istirahat, cepat sembuh, dan jangan lupa-"
"Aku akan memanggilmu kalau ada apa-apa, Grandpa. Bye dan hati-hati menyetirnya." Selaku cepat.
"Baiklah, aku tutup dulu teleponnya."
Aku menarik senyumku. Aku tahu pasti Alexis masih tidak akan mematikan sambungan telepon ini sebelum berhasil membujukku pulang bersamanya. Maka aku mengajukan pilihan lain untuknya, "tidak. Aku saya yang matikan. Bye, Lexy!"
Alexis terkekeh, "You got me." Ujarnya sebelum panggilan ku putus.
Aku meletakkan ponsel di sebelahku dan mengadahkan kepalaku bersandar di sofa lalu memejamkan mataku lelah.
Sudah dua hari semenjak perbincanganku dengan Sean, dan sudah dua hari juga aku flu.
Apa mungkin ini ada hubungannya dengan ciumanku dan Sean hari itu?
Perlahan aku membuka mata dan menatap langit-langit apartemenku tanpa minat.
Sudah dua hari juga Sean tidak menghubungiku. Bahkan tadi pagi aku mendapatkan Email darinya hanya berupa evaluasi sketsaku yang masih perlu di revisi beberapa bagian tanpa basa-basi lainnya.
Aku mendengus, tentu saja! Apa yang kau harapkan setelah menolak laki-laki itu tanpa memberinya kesempatan? Kau sudah seperti memecahkan harga diri laki-laki itu hingga tak bersisa. Omel hatiku.
"Ah aku tidak peduli!" Seruku kemudian kembali terbatuk. Aku berdiri, meninggalkan ponselku di sofa dan berjalan kembali ke kamar.
Laptop di meja kerjaku yang berada di sudut ruangan mendapatkan perhatianku begitu aku masuk ke kamar. Ingin rasanya aku membuka benda itu dan membaca lagi email dari Sean. Siapa tahu saja tadi pagi aku salah baca? Atau ternyata di bawahnya masih ada pesan tambahan, kan?
Sean bahkam tidak bertanya dan tidak tahu kalau aku tidak ke butik karena sakit dua hari ini.
Lalu apakah laki-laki itu sudah sembuh dari demamnya?
Dan kenapa juga aku harus peduli dan penasaran sebanyak itu?!
Sepertinya flu ini membuat otakku lupa kalau akulah yang membuat Sean berubah menjadi orang asing yang hanya sekedar rekan kerjaku. Bukan lagi Sean Kim yang manis seperti dulu.
Aku membanting diriku ke kasur dan berteriak sambil membungkam wajahku dengan bantal agar teriakanku terendam.
Apa yang harus kulakukan pada pembohong seperti dirinya?
***
Tbc
Besok, kuusahain update ya. Aku lg mw balik Indo dan Next chapter masih draft kosong 😂😂😂😂
Mengenai POV Sean, kalau aku ulas sebagai extra part aja gapapa ya? Biar kalian gak judge kelly kalau denger baca pandang Sean, atau sebaliknya.
I promise to give my best to this story.
Peace out! ✌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro