32. She's Not?
Tanganku menyentuh dada telanjangnya, seharusnya aku bisa dengan mudah mendorongnya. Tetapi tidak ku lakukan. Jantungku berdebar tak beraturan, begitu juga jantung yang sedang berada di balik telapak tanganku ini. Jantung Sean juga berdebar tak beraturan cepatnya.
Ciuman lembut Sean, seharusnya adalah hal yang salah mengingat masalah yang sedang aku dan Sean alami saat ini. Tapi entah kenapa aku merasakan kenyamanan dan adiksi akan bibir lembut Sean. Seperti ada rasa berbeda saat bibir lembut itu mengecup lembut bibirku.
Seperti.... rasanya hal itu tepat untuk dilakukan.
Aku bahkan berani bersumpah kalau aku merasa kehilangan saat Sean melepaskan kecupannya di bibirku meski tatapan matanya masih Intens menatapku.
Kalau ini mimpi, maka aku tidak mau bangun lagi.
Jemari Sean mengusap pipiku dengan lembut. Sentuhan jarinya seakan menggambarkan ketakutannya untuk menyakitiku.
Ia menarik sudut bibirnya, menatapku dengan mata hitamnya, menenggelamkanku di kegelapan matanya sebelum berbicara dengan suara dalamnya.
"I love you, Kelly."
***
Jantungku seakan dihantam palu godam saat mendengar kalimat itu. Akal sehatku berteriak, dan aku mendorong dada Sean menjauh sebelum Sean sempat menciumku lagi.
Sean menatapku dengan kening berkerut. Ada kesedihan dan terluka dari matanya saat melihatku menolaknya barusan.
"We can't do this, Sean. This isn't Right." Ucapku seraya berbalik. Tapi dua detik selanjutnya, dada telanjang Sean kembali berada di hadapanku karena Sean dengan cepat menghalangi langkahku.
"Why? What doesn't right? Me? You?" Tanya Sean menatapku menuntut jawaban.
"This... isn't right. Everything!" Ucapku menekankan keadaan kami.
"What? Aku? Kau? Ciuman kita?" Tanyanya. Aku mendelik tajam. Bagaimana ia bisa bicara seenteng itu mengenai ciuman kami barusan? "Kau tidak bisa berbohong. Aku merasakannya. Kau juga menginginkan ciuman tadi, kan?"
"Ya, karena aku bodoh, Sean! Dan apa yang salah, kau tanya? Dirimu, Sean. Dirimu yang salah. Kau sudah memiliki Istri, Brengsek!" Pekikku seraya mendorong dada Sean menjauh.
Kedua tangan Sean menahan tanganku, matanya menyala menatapku, "Istri?" Ulangnya bingung.
"Ya, Alana. Dia istrimu, kan? Kau tidak perlu sibuk membohongiku lagi, karena aku tidak percaya. Sekarang, kalau kau sudah cukup sehat, kau bisa pulang. Bajumu ada di jemuran balko-"
Aku tidak selesai berbicara karena Sean menarikku ke sofa setelah mematikan bubur yang sudah kembali gosong itu. Untuk pertama kalinya Sean memaksakan kehendaknya padaku seperti ini.
Ia mendudukkanku di sofa, ia ikut duduk di sebelahku, menatapku lurus.
"Siapa yang mengatakan itu padamu?"
"Sudahlah, jujur saja. Kau tidak bisa-"
"Siapa, Kelly?" Tanyanya tegas memotong ucapanku.
Aku tidak memiliki pilihan lain selain menjawab pertanyaannya. "Alana sendiri yang memberitahuku. Sekarang kau puas?" Tanyaku ketus. Aku menggigit bibir bawahku, menahan geraman yang akan keluar melihat wajah bodoh tidak bersalahnya di depanku saat ini.
"Anak itu benar-benar..." gumamnya kecil. Dengan cepat ia mengambil ponsel dari saku celananya, menekan layarnya lalu nada sambung terdengar dari speaker ponselnya. Aku baru akan membuka mulut, tapi Sean memintaku diam dengan gerak tangannya. Lalu panggilan itu dijawab.
"Oppa!!!" Suara diseberang sana terdengar riang. "Ada apa menelepon? Sudah merindukanku?" Tanyanya penuh dengan nada menggoda.
Aku mendelik tajam kearah Sean, sedangkan Sean hanya menggaruk tengkuknya yang aku jamin sedang tidak gatal.
"Alana, apa yang kau katakan pada Kelly?" Tanya Sean langsung. Suaranya menuntut.
"Kelly? Aku tidak mengatakan apapun. Kalau kau takut aku mencacinya karena telah membuatmu menunggu sampai sakit kemarin, kau terlalu cepat. Aku bahkan belum bertemu dengan Kelly." Jawaban Alana terdengar aneh, tapi secara bersamaan juga seperti menyimpan anak panah tak terlihat ketika ia menekankan sebuah fakta kalau aku penyebab Sean jatuh sakit.
"Kenapa kau mengaku sebagai Istriku? Sejak kapan kita menikah? Eomma akan sakit jantung kalau kau menikah denganku, kau tahu?" Tuding Sean. Ia terlihat serius sementara aku menatapnya terkejut.
Jadi... Alana bukan Istrinya? She's not?!
"Istri?" Ulang Alana. Hening sejenak sebelum Alana berseru, "Ahhhh.... hari dimana kau ke Seoul itu? Heol! Jangan katakan Kelly percaya dengan ucapanku?"
Sean tidak menjawab, melainkan menatapku sambil tersenyum kecil. Seakan ia juga ingin tahu jawaban dari pertanyaan Alana barusan.
Namun sepertinya keheningan kami di artikan sebagai jawaban oleh Alana karena detik selanjutnya, Alana kembali berpekik, "Heol! Daebak! Gadis itu benar-benar bodoh rupanya."
Aku mempelototi ponsel Sean. Sean juga melakukan hal yang sama dan berdecak, "Anyway, Terima kasih sudah membuat segalanya berantakan karena kejahilanmu, Alana Kim. Aku akan memberikan ganjaran yang tepat untukmu di rumah nanti."
Tanpa mendengar pembelaan Alana lagi, Sean menutup panggilan tersebut, meletakkan ponselnya di meja, lalu menatapku. "Pertanyaanmu sudah terjawab? Apa namaku sudah bersih sekarang?" Tanya Sean memastikan.
"J-jadi Alana..."
Tangan Sean meraih tanganku dan meletakkannya di pangkuannya. "Alana Kim, dia adikku. Adik kandungku. Umurnya memang sudah 24 tahun, 2 tahun di atasmu. Tetapi sikap ke kanak-kanakkannya sanggup menyaingi anak balita. Dan yang bisa ku pastikan, sampai kapanpun Alana tidak akan pernah menjadi Istriku, atau aku akan dibunuh oleh Eomma."
"Eomma?" Ulangku.
"Ibuku. Eomma adalah cara kami memanggil ibu dalam bahasa Korea."
Aku meringis dan mengalihkan kepalaku ke arah lain. Rasanya aku tidak sanggup menatap mata Sean lagi setelah kesalahpahaman ini.
This negativity Kills me.
"Kelly." Panggilnya. Aku tidak mau menatapnya. Rasa bersalah itu masih menggerogotiku karena sudah memikirkan yang tidak-tidak mengenai Sean.
Tapi satu hal yang masih abu-abu. Untuk apa Sean menemui kak Alle diam-diam?
Apa etis untuk menanyakan hal itu sekarang?
"Kelly, tatap mataku." Pintanya sambil menggoyang tanganku di genggamannya.
"Tidak bisa." Tolakku.
"Kau masih tidak mempercayaiku?" Tanyanya terdengar putus asa.
Aku menggeleng, gelengan yang sepertinya memiliki arti ambigu. Sean menghela nafas lelah dan aku bisa melihat dengan ekor mataku saat laki-laki itu menundukkan kepalanya pasrah.
"Aku tidak mau melihatmu kalau kau tidak memakai baju." Ucapku akhirnya. Kepala Sean terangkat cepat saat aku meliriknya. "Aku... aku tidak bisa berpikir jernih kalau kau bertelanjang dada begitu." Gumamku pelan. Kemudian aku menyesal sudah bicara hal semurahan itu.
Apa yang akan Sean pikirkan mengenaiku selanjutnya? Gadis ber-otak mesum?
"Tunggu sebentar." Sean berdiri dari duduknya lalu berjalan meninggalkanku. Aku menarik nafas sebanyak-banyaknya dan menghela nafas lega.
Anyway, apa aku harus bertanya mengenai kak Alle? Kalau tadi ia bisa menelepon Alana, apa sekarang ia bisa menelepon kak Alle?
"Jadi, apa aku sudah bisa mendapat jawabanmu sekarang? Kau sudah tidak mencurigaiku, kan?" Sean kembali dengan kemejanya yang sudah kering, namun bisa kulihat kalau ia terburu-buru memakainya. Kancingnya tidak pada lubang yang seharusnya.
Aku terkekeh kecil menyadari ketidak sempurnaan itu. Sean yang biasanya selalu tampil Rapi dan berwibawa, kini malah terlihat berantakan dengan kemeja seperti itu hanya demi jawabanku.
Kalau... kalau Sean memang untukku, apa semua akan menjadi sedikit lebih mudah? Apa Sean akan berkata jujur kalau aku bertanya mengenai kak Alle padanya?
Ditengah lamunanku, kecupan Sean di bibirku menyadarkanku dari lamunan.
"Maaf, aku hanya mengikuti kata hatiku." Gumamnya tepat di depan wajahku. Sapuan nafasnya membuatku menahan nafas secara spontan.
Ia sedekat ini mampu menguarkan pesona mematikannya padaku. Kalau aku mau semua berjalan dengan benar, maka aku harus sadar dan memastikan satu hal.
"Boleh aku bertanya?"
"Kalau aku menjawab pertanyaanmu, apa kau akan menjawab pertanyaanku?" Tanya Sean.
Wajah kami hanya berjarak 3 senti meter. Hembusan nafasnya membuatku menahan nafas kembali.
"Mengenai kecurigaanku?"
Sean menggeleng, "mengenai perasaanmu padaku." Ujarnya. Sepertinya pertanyaan itu berbeda sekali dengan yang ku dengar tadi. "Apa aku memiliki kesempatan untuk mendampingimu?"
Jantungku berdebar sangat cepat kali ini. Selain Alexis, baru sekali ini lagi aku mendengar pernyataan cinta dari laki-laki.
"Bagaimana?" Tanya Sean menunggu jawabanku.
Aku terdiam sesaat, kemudian mengangguk. "Tapi kau harus menjawab pertanyaanku dulu." Pintaku.
"Baiklah." Ia menjauhkan tubuhnya, memberiku peluang untuk mengambil nafas sebanyak-banyaknya, lalu ia duduk di sampingku. "Tanyakan."
Oke, dari mana aku harus memulainya?
"Hm?" Ia bergumam kecil, menatapku dengan sebelah alis yang terangkat. Kebiasaannya itu tidak bisa membuatku bernafas normal.
"Kak Alle..." aku melihat perubahan kecil di raut wajahnya. Kernyitan halus di keningnya mengilang, dan tubuhnya bergerak sedikit menjauh. Tubuhnya tegap sekarang.
Apa aku yakin mau mendengar jawabannya? Tanyaku membatin.
"Kau baik-baik saja?" Tanyaku memastikan.
"Y-yaa... ada apa dengan kak Alle?" Tanyanya kembali menyunggingkan senyum dan berusaha terlihat biasa. Padahal aku tahu, ia gusar sekarang dari kerutan di keningnya.
"Apa... hubunganmu dengan kak Alle?" Tanyaku. Aku melihat tubuhnya yang tadi menegang, kini terlihat lebih santai.
Ia tersenyum dan menopang kepalanya dengan tangan di sisi sofa. "Sepertinya kau lupa, tapi aku hadir di pernikahan Alleira, dan kalau aku tidak merestui pernikahan mereka, aku pasti akan mengacaukannya, bukan berada disini bersamamu." Ujarnya, "itu yang kau pikirkan, kan? Aku mendekatimu karena Alleira?" Tanyanya. Tepat sasaran.
Aku menggigit bibir dalamku, tidak mampu mengelak atau menghindar.
"Lalu, kapan terakhir kali kau bertemu dengan kak Alle?" Tubuh Sean yang semua santai, kembali menegang. Bahkan tubuhnya lebih tegang dari saat aku menyebut nama kak Alle. Aku mengernyit melihat perubahan gelagatnya dan aku tidak mampu menghalau pikiran negatif menyelinap di kepalaku.
Hening cukup lama, dan kami hanya bertatapan. Aku tidak tahu jawaban apa yang kuharapkan kali ini.
Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan kalau Sean berkata jujur mengenai malam itu. Senang? Cemburu? Atau bersyukur karena ia sudah jujur? Tapi apa aku bisa mempercayainya?
Sean berdeham, meraih tanganku dan mengusapnya pelan. Ia menunduk sebentar sebelum kembali menatapku dan menjawab pertanyaanku.
"Aku tidak pernah bertemu dengan Alleira lagi semenjak pernikahannya."
Dan sialnya, aku tidak menyiapkan kemungkinan kalau Sean akan berbohong.
***
Tbc
Oke, aku cm mau Vote buat pertimbanganku aja....
SIAPA YANG BUTUH POV SEAN?
Atau
KEEP HIM MISTERIUS SAMPAI AKHIR?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro