Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. So called, Our First Kiss ?

Aku membuka pintu apartemenku dengan susah payah. Aku mengamini keputusanku membawa Sean pulang bersamaku karena pada kenyataannya, keputusanku adalah keputusan paling tepat.

Demam Sean semakin meninggi dan Sean seperti kehilangan kesadarannya. Kalau tadi aku bisa memapahnya dengan mudah, maka kali ini aku mengalami kesusahan karena tenaga di kakinya tidak lagi bisa menahan berat tubuhnya.

Aku terpaksa meminta sekuriti untuk membantuku memapah Sean kalau aku tidak ingin meninggalkan Sean di parkiran mobil, atau menggelindingkannya di lantai hingga ke lantai atas.

"Letakkan di sini." Ujarku memberi instruksi untuk meletakkan Sean di atas kasur tidurku. "Perlahan. There... there... there you go." Aku menepuk pelan dada Sean yang sepertinya mengalami kegusaran dalam alam bawah sadarnya akibat demam yang cukup tinggi.

Aku beralih menatap sekuriti yang tadi membantuku. "Terima kasih telah membantuku." Aku mengeluarkan sedikit uang sebagai tip kepada sekuriti itu. Awalnya ia menolak, tapi setelah ku paksa, akhirnya ia mau menerimanya.

Lalu sekuriti itu berlalu, meninggalkan aku berdua dengan Sean yang tak sadarkan diri juga gelisah dalam tidurnya.

Bajunya basah oleh keringat yang terus keluar dari pori-pori tubuhnya.

Ini bukan pertama kali aku mengurus laki-laki yang demam. Aku pernah mengurus Alexis yang demam waktu retreat sekolah kami dulu. Jadi aku kurang lebih mengerti apa yang harus ku lakukan sekarang.

Tapi masalahnya aku ragu. Karena laki-laki di hadapanku ini bukan Alexis.

Sean mengerang kecil, membuatku tersadar dan menghela nafas kecil. "Ini bukan saatnya memikirkan perasaanku juga kesalahan Sean. I can either kill him or Heal him." Ucapku meyakinkan diriku untuk ke kamar mandi dan menampung air hangat di baskom, juga meraih handuk kecil untuk membasuh tubuh Sean.

Aku meletakkan baskom berisi air hangat itu di atas nakas, lalu aku duduk di sisi tubuh Sean. Perlahan aku memperhatikan wajah laki-laki itu, mengamatinya dan melakukan perang terakhir dengan hatiku untuk melakukan ini.

Begitu memastikan kemenangan hati nuraniku untuk merawat Sean, aku bergerak untuk melepas sepatu juga kaus kaki Sean, lalu kembali berjalan ke arahnya dan menyentuh kancing teratas kemeja Sean.

Aku meneguk ludahku sendiri dan dengan perlahan, aku membuka kancing itu satu persatu. Hingga seluruh kancingnya terbuka dan roti sobek yang selama ini di sembunyikan Sean dibalik kemejanya terlihat nyata di depanku.

Kali ini aku ikut-ikutan berkeringat, tetapi bedanya keringatku adalah keringat dingin.

Tanganku perlahan menyentuh kulit telanjang Sean, mengagumi bidangnya dada yang pernah membuatku nyaman berada dalam pelukannya.

Kekaguman itu tidak berlangsung lama karena aku kembali tersadar akan tujuanku menelanjangi Sean.

Aku melepaskan kemeja Sean dan melemparnya ke keranjang cucian lalu meraih handuk basah untuk membasuh tubuhnya dengan tangan gemetar juga jantung berdebar.

Oh berdosa lah kau, Kelly. Dosa yang indah. Pikiranku mengutuk selama aku membasuh tubuhnya.

Karena aku tidak memiliki baju ganti untuk dipakai Sean, maka aku membiarkan dadanya telanjang tanpa sehelai benangpun. Kemudian aku beralih ke bagian bawah tubuhnya dan kembali meneguk ludahku dengan lebih berat.

Not that one. Pikirku dengan pasti. Alhasil aku hanya melonggarkan ikat pinggangnya dan menutup seluruh tubuh Sean dengan selimut tebal milikku sebelum aku gelap mata dan menyerang Sean dalam tidurnya.

Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Tapi serigala mana yang akan bisa berpikiran waras kalau dihadapkan pada daging segar?

Tidak juga serigala betina sepertiku!

Aku mengganti air di baskom tadi dengan yang baru, juga handuk baru untuk mengompres Sean.

Setelahnya aku beralih ke keranjang cucianku. Aku harus mencuci baju Sean agar nanti ia bisa memakainya lagi. Aku tidak akan kuat kalau Sean berkeliaran dengan dada telanjang di Apartemenku.

***

Malam sudah menjelang, dan aku juga sudah mengganti kompres di kepala Sean beberapa kali.

Untungnya demam laki-laki itu sudah turun meski belum seluruhnya.

Dan sekarang aku sedang memasak bubur untuk dirinya. Satu-satunya yang bisa kumasak tanpa menghancurkan dapur atau menggosongkannya. Untuk satu ini, aku benar-benar menyalahkan Mommy karena menurunkan bakatnya yang tidak berbakat di bidang dapur padaku.

"Ehem..."

Suara dehaman di belakangku membuatku tekejut dan nyaris saja menunpahkan botol lada kedalam bubur mendidih di depanku.

"Ya Tuhan!" Aku berdecak dan berbalik lalu memejamkan mataku, "Ya Tuhan!" Decakku lagi spontan.

Sean berdiri santai di dekat meja makanku dengan dada telanjang roti sobeknya.

Aroma maskulin tiba-tiba tercium di dekatku. Aku tahu Sean berada somewhere near me now, tapi ketika tangan Sean menyentuh tanganku, aku tetap tidak bisa mengontrol keterkejutanku.

Aku tersentak ke belakang, namun tangan Sean melingkar cepat di pinggangku. Sentuhannya kembali membuatku membuka mata dan bertatapan langsung dengan wajah tampan juga tubuh roti sobek yang belum masuk Oven ini.

"Be careful." Ucapnya lumayan telat. Kalau saja dia tidak menangkapku, mungkin panci Bubur di belakangku akan segera mencium lantai.

Panci bubur... OH ASTAGA! Aku mendorong sedikit tubuh Sean agar aku bisa berbalik dan menatap nanar bubur di panciku yang mulai menguarkan aroma gosong tidak sedap.

Aku salah menyimpulkan kalau Bubur satu-satunya makanan aman yang ku kuasai.

Tangan Sean sigap mematikan kompor dan berdiri di sisiku sambil ikut melihat ke arah bubur yang beraroma gosong, juga berkerak hitam di bagian bawahnya.

"Maaf, aku mengacaukannya, ya?" Tanya Sean. Aku meliriknya dengan tatapan 'apa-kau-masih-perlu-bertanya'ku lalu menghela nafas.

"Kau kembali lah lagi ke kamar. Aku akan membuatkan yang baru." Perintahku. Mata nakalku sesekali mencuri kesempatan untuk melirik kearah roti sobek segar di sampingku sambil berharap air liurku tidak akan tumpah.

Keberuntunganku mungkin berlum habis sampai sana, karena lirikanku kini berganti menjadi tatapan leluasa saat Sean memutar tubuhku kearahnya. "Biar aku yang membuatnya. Kau duduk dan istirahat saja. Ingat, setelah ini kita masih harus berbicara." Ia tersenyum dan mengacak rambutku lembut.

"Tapi yang sakit kan bukan aku?" Bisikku memprotes.

"Aku sudah jauh lebih baik. Berkatmu yang merawatku, aku jadi bisa sembuh lebih cepat." Balasnya dengan senyum cerah yang harus kuakui, aku merindukan senyum itu. Sangat.

Sean membimbingku untuk duduk di meja makan sementara dirinya kembali ke dapur.

Dari tempatku, aku bisa melihat punggung bidang berotot milik Sean yang seperti memiliki magnet untuk menarikku mendekat lalu bersandar disana.

Punggung itu begitu menggoda untuk ku sandari.

Mimpi apa aku semalam bisa mendapatkan pemandangan seindah ini? Apa akhirnya keberuntunganku berbuah banyak hari ini hingga aku bisa seberuntung ini?

Serius! Laki-laki dan dapur biasanya adalah sebuah malapetaka, tapi Sean bertelanjang dada di dapur, itu seperti Anugerah untukku.

Aku tidak menyadari kakiku melangkah turun dari kursiku, berjalan mendekati punggung Sean seakan tertarik seperti magnet. Aku baru menyadari saat kulit tanganku menyentuh punggung bidangnya dan sengatan kecil saat kukit kami bergesekan membuatku kembali ke alam nyata.

Tubuh Sean menegang sedikit saat aku menyentuh punggungnya. Dengan gerakan pelan, ia berbalik menghadapku.

Aku mendongak, menatap mata hitamnya yang sejak kapan ku rindukan? Semua rasa itu seakan berlomba untuk keluar sekarang saat aku memiliki kesempatan.

Tidak ada dari kami yang berbicara. Kami saling mengunci tatapan kami satu sama lain untuk waktu yang cukup lama hingga aku bisa merasakan bibir Sean mengecup bibirku.

Tanganku menyentuh dada telanjangnya, seharusnya aku bisa dengan mudah mendorongnya. Tetapi tidak ku lakukan. Jantungku berdebar tak beraturan, begitu juga jantung yang sedang berada di balik telapak tanganku ini. Jantung Sean juga berdebar tak beraturan cepatnya.

Ciuman lembut Sean, seharusnya adalah hal yang salah mengingat masalah yang sedang aku dan Sean alami saat ini. Tapi entah kenapa aku merasakan kenyamanan dan adiksi akan bibir lembut Sean. Seperti ada rasa berbeda saat bibir lembut itu mengecup lembut bibirku.

Seperti.... rasanya hal itu tepat untuk dilakukan.

Aku bahkan berani bersumpah kalau aku merasa kehilangan saat Sean melepaskan kecupannya di bibirku meski tatapan matanya masih Intens menatapku.

Kalau ini mimpi, maka aku tidak mau bangun lagi.

Jemari Sean mengusap pipiku dengan lembut. Sentuhan jarinya seakan menggambarkan ketakutannya untuk menyakitiku.

Ia menarik sudut bibirnya, menatapku dengan mata hitamnya, menenggelamkanku di kegelapan matanya sebelum berbicara dengan suara dalamnya.

"I love you, Kelly."

***

Tbc

ILER DI LAP PLEASE!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro