25. Uninvited Guest!
Aku mengabaikan lemparan benda-benda plastik yang terarah padaku.
Aku hanya menatap kosong ke taman hijau dan bersandar di pojokan bungalow, menikmati angin sore yang menyejukkan hati juga pikiranku setelah bertemu dengan dua orang menyebalkan.
"Marvel, Stop melempari bibi Kelly dengan mobilmu."
Aku menoleh, melihat bocah berumur 9 tahun yang baru saja mengomeli adiknya yang masih berumur 4 tahun.
Aku kembali menoleh kearah dua bocah kembar yang ternyata dari tadi melempariku dengan mobil mainan mereka di sisi lain.
"Marvel nakal!" Tambah gadis muda yang berdiri di sebelah Mike. Bibirnya mengerucut lucu membuatku tak kuasa untuk tidak mencubit pipinya.
"Austin did it." Sanggah bocah yang bernama asli Alceo Marvello Tyler itu sambil menunjuk kembarannya, Austin Marvello Tyler tanpa rasa bersalah.
"Aku tidak!" Merasa tidak terima, Austin mengelak, tetapi matanya sudah berair menahan tangis. Aku jamin sebentar lagi salah satu di antara mereka pasti akan menangis, dan aku memastikan yang akan menangis adalah Austin.
"Sudah, jangan bertengkar!" Aku menengahi. Cukup aku pusing dengan masalahku. Aku tidak mau mendapat masalah tambahan dengan orangtua keempat bocah ini.
"Marvel yang memulai." Tunjuk Austin.
"Kau!" Sanggah Alceo.
Aku menghela nafas dan menggeleng. Sepertinya pilihanku menenangkan diri di Mansion salah satu kakakku adalah pilihan terburuk yang pernah ku ambil. Aku mengira hanya Mansion kak Kenneth yang tidak memberiku ketenangan, ternyata disini juga.
Sepertinya aku harus memikirkan rencana membeli Mansion sendiri untuk menyendiri.
"Bibi sakit?" Tanya gadis kecil yang juga kembaran dengan kedua pengacau itu, namun memiliki sifat jauh lebih baik dari mereka, Auryn Marvella Tyler. Mata hijaunya yang bening menatapku dengan binarnya sendiri.
"Jangan ganggu bibi Kelly, Auryn." Satu-satunya bocah yang sudah lebih besar itu menarik lengan Auryn agar sedikit menjauh dariku. Michael Varenino Darwin, Anak angkat kak Keira. "Omong-omong, bi, ponselmu dari tadi berbunyi. Paman Alexis meneleponmu."
Jelas sekali terasa... rasa kecewa itu. Apa sebenarnya aku berharap kalau Sean yang meneleponku?
Mimpiku terlalu tinggi.
"Bibi ini." Mike yang tidak tahu kapan perginya, kini sudah kembali dengan ponselku yang masih berdering nyaring. "Se...Sean. kali ini Sean menelepon."
Aku terbelalak dan langsung menyambar ponsel itu. Benar saja nama Sean tertera disana.
Jantungku mendadak berdebar lagi dengan tempo cepat.
Namun ketika aku ingin menjawabnya, panggilan tersebut sudah terputus.
"Wajah bibi merah." Aku menoleh kearah Alceo yang baru saja melontarkan komentar itu.
"Tidak!" Elakku. Jelas-jelas aku merasakan panas menjalar hingga ke ubun-ubunku.
"Merah! Benarkan, Austin?" Yang ditanya hanya mengangguk, dan saat aku menoleh kearah Mike juga Auryn, mereka ikut mengangguk seakan serempak memojokkanku.
Bibirku terbuka dan kembali menutup.
Sudah seperti ini, kau masih menyangkal kalau kau tidak jatuh cinta pada laki-laki itu? Tidak bisa di percaya.
Kata-kata Alexis kembali mengusikku. Wajahku terasa sangat panas sekarang. Lebih panas dari air mendidih.
"Aku tidak sedang jatuh cinta!!!" Erangku saat kata-kata mengejek Alexis terus mendengung di kepalaku.
"Apa itu cinta, Mike?" Suara bening Auryn membuatku tersadar kalau aku baru saja mengerang di depan orang yang salah. Bocah 4 tahun membicarakan cinta? Ini namanya aku siap di kuliti kak Keira kalau sampai hal ini terdengar ke ibu mereka.
Aku berdecak dan langsung berdiri dari tempatku. "Mike, jaga adik-adikmu sampai Ibu atau ayah kalian kembali. Bibi ada urusan lain." Melarikan diri lebih baik dari pada menyerahkan diri saat ini. Aku tidak perlu masalah tambahan.
Ini semua karena ucapan bodoh Alexis. Juga karena Sean.
Ya, ini semua karena Sean.
Tanpa menghiraukan panggilan Mike, Auryn, Alceo, maupun Austin, aku berjalan masuk ke dalam mansion mewah mereka dan meraih tasku kemudian pergi dari kediaman kakakku.
*
Aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke Apartemen keluargaku dan mengunci diriku di kamar. Entah kenapa aku merasakan rasa ini lebih buruk dari patah hatiku dulu.
Hal baiknya, aku masih memiliki rasa tanggung jawab untuk menjalankan kewajibanku bekerja. Meski 89% aku tidak bisa memfokuskan diriku kesana, tetapi aku masih mau mengusahakan agar pekerjaanku bisa selesai.
Aku baru selesai berendam dan merebahkan diriku di atas kasur nyamanku ketika pintu kamarku di ketuk dari luar, dan Mommy membuka sedikit pintu kamark seperti sedang mengecek sesuatu.
"Ah, dia disini, Re." Ujar Mommy sambil berbicara di telepon lalu menghampiriku dengan tatapan tajam. Aku tidak jadi merebahkan diri dan merasa was-was dengan kehadiran Mommy. "Sepertinya dia lupa. Kau tenang saja, aku akan memastikan Kelly kesana dalam satu jam kedepan. Bye, Re."
Aku mengernyit saat Mommy menatapku dengan mata tajamnya. "Kenapa kau masih disini? Kau lupa kalau kau ada undangan hari ini menggantikan bibi Rere?" Tanyanya menuduhku.
"Undangan? Undangan apa?" Tanyaku bingung.
"Undangan pesta pernikahan salah satu rekan bisnis Butik bibimu. Bibimu mengatakan kalau dia sudah menitipkan undangannya minggu lalu pada teman kerjamu. Siapa namanya? Lou... lau... Laura?" Mommy mencoba mengingatnya, tetapi aku cukup tahu siapa yang sedang Mommy coba ingat.
"Louisa? Kapan Bibi memberikan undangannya? Louisa tidak pernah..."
Tiba-tiba aku teringat saat seminggu yang lalu Louisa menghampiriku saat aku dan Sean bertemu di parkiran. Saat itu Louisa seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
Apa dia ingin mengatakan ini? Ah... kalau memang iya, aku akan menyidang Louisa besok karena dia tidak memberitahuku seminggu belakangan ini.
"Aku akan bersiap sekarang." Aku menghela nafas pasrah dan terpaksa menyingkirkan keinginan menyendiri di kamar hari ini. Mungkin besok.
"Mom akan meminta Alexis untuk menemanimu."
Aku melotot saat baru menyibak selimut tebalku dan dengan cepat menoleh kearah Mommy dengan tatapan Horror. "Tidak perlu!" Tolakku cepat.
"Kenapa? Biasa kalian sering pergi bersama, kan?"
Setelah apa yang tadi siang terjadi? Tidak! Aku belum sanggup menatap mata Alexis. Aku menatap Mommy, berusaha bersikap biasa lalu berdeham, "Aku bisa sendiri. Aku yakin Alexis masih memiliki banyak pekerjaan."
Ting tong
Bel apartemen kami berbunyi menyelamatkanku dari ocehan Mommy. Aku dan juga Mommy menoleh kearah pintu secara bersamaan.
"Kau cepat bersiap-siap. Biar Mommy yang buka pintu." Perintah Mommy sambil berbalik pergi.
"Aye-aye Captain." Sahutku lalu memaksa tubuhku untuk bangkit. Sebelum ke kamar mandi, aku menyempatkan diriku untuk mengomeli Louisa juga meminta wanita itu mengirimkan alamat acaranya.
Aku mandi secepat kilat juga mendandani diriku dengan Make up setipis mungkin. Aku sedang tidak berniat menggunakan riasan mengundang perhatian karena aku sudah cukup mendapat perhatian gila-gilaan dari dua laki-laki menyebalkan hari ini.
Aku mengenakan terusan simple berwarna putih dengan rambut tergerai. Tidak ada waktu untuk menata rambutku lagi.
Setelah mendapat pesan balasan dari Louisa dan menghitung jarak yang perlu ia tempuh dari sini kesana, aku meraih clutchku, lalu keluar dari kamarku.
"Mom aku pergi dul- What the F*ck!" Seruku spontan berbalik hendak kembali masuk ke kamarku saat melihat sosok orang yang tidak seharusnya berada di ruang tamuku.
"Kelly McKenzie! Kemana sopan santunmu?!" Omel Mommy yang baru keluar dari dapur membawa senampan camilan.
Langkahku terhenti dan aku mengumpat sebisaku. Menarik nafas dalam sebelum berbalik dan memberikan senyuman terbaik yang bisa ku berikan dalam suasana hatiku yang buruk ini untuk menyapa tamu tak di undang itu.
"Good Evening, Ms.McKenzie." sapanya.
Aku menggemelatukkan gigiku, memamerkan senyumku yang sangat terpaksa dan membalas sapaannya, "Good Evening, Mr.Kim."
***
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro