23. The Jerk. (1)
Sebelum membaca. Aku mau mengucapkan Minal Aidzin Walfaidzin mohon maaf lahir dan batin kalau aku ada salah dan menyinggung. Selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan. 🙏🙏
*On Media
- Chloe Moretz as Kelly Agnesia McKenzie.
-Dennis Oh as Sean Kim.
-Tiffany Hwang as Alana Kim.
Selamat membaca!
***
Lima hari aku harus menelan rasa penasaranku.
Pertanyaan itu sudah menunggu untuk di lontarkan dari ujung lidahku, tetapi setelah siang itu, Sean tidak lagi terlihat.
Laki-laki itu pasti sedang bersenang-senang di Korea.
Bayangan Sean bersenang-senang dengan wanita kemarin itu, membuat pertanyaan lain kembali terpikirkan olehku. Apa Sean benar-benar sudah menikah?
Rasanya aku ingin bertanya pada kak Kenneth atau kak Alle. Salah satu dari mereka pasti tahu, mengingat Sean adalah partner kerja sama perusahaan kakakku.
Tapi tentu saja aku masih cukup waras untuk tidak bertanya. Entah ejekan apa yang akan kak Kenneth berikan, atau ocehan apa yang akan kak Kenneth layangkan.
Cukup Nicholas yang menjadi contoh seberapa keras kak Kenneth menolak laki-laki yang pernah memiliki rasa pada kak Alle menjadi bagian dari keluarga McKenzie. Sean tidak perlu menjadi bukti lainnya.
Sial! Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu?!
Aku membanting punggungku ke kursi lalu menatap langit-langit dan ruangan sekitarku.
5 hari bekerja di ruangan ini, aku memang mendapatkan banyak ide, tetapi rasanya ada yang kurang. Setiap aku merasa ada yang kurang, aku secara refleks langsung menatap kearah meja kerja yang sudah 5 hari kosong itu.
Tidak ada tatapan yang membuat jantungku berolahraga dari sana. Aku membatin.
Apa memang sebaiknya aku kembali ke butik saja sampai Sean kembali? Tapi memangnya kenapa? Kenapa aku jadi bergantung pada Sean begini?! Ini menyebalkan.
Aku menatap ponselku dengan tatapan kosong.
Aku bahkan tidak memiliki nomor ponselnya. Hubungan kerja sama seperti apa yang sedang aku jalani? Rutukku.
Aku terlonjak ketika pintu ruangan Sean terbuka tiba-tiba disaat aku sedang bersantai melepas kepenatanku.
Aku lebih terkejut lagi saat melihat wanita cantik bertubuh semampai di ambang pintu itu. Sedang memperhatikan sekitar, lalu tatapannya menuju ke arahku. Ia tersenyum miring sebelum menghampiri ruanganku dan mengetuk pintu kacaku, lalu mengkodeku untuk keluar dengan gerakan jarinya yang sangat offensive kalau menurutku.
Aku mengernyit. Merasa terhina karena dia memintaku keluar dengan gerak jari seperti itu, tetapi berkat rasa penasaranku, aku dengan bodoh menurutinya untuk keluar.
Aku berdiri di hadapannya yang sedang memperhatikanku dari atas hingga kebawah. Menilaiku dengan tatapan yang menyebalkan, dan mengelilingiku seakan menilai bagian depanku saja belum cukup.
Dari jarak seperti ini tanpa perlu ditatapi, aku sudah merasa terintimidasi.
Apa yang wanita ini lakukan disini?
Aku kembali terkejut saat jemari lentiknya menyentuh kedua pipiku, memiringkannya ke kanan dan kekiri disaat matanya menelitiku dengan seksama seperti spesies langka yang sedang di pelajari susunan tubuhnya.
"Kau yang bernama Kelly?" Tanyanya terdengar angkuh. Wajah Asianya sekilas terlihat seperti wajah kak Alle. Mungkin karena rambut cokelat bergelombangnya yang panjang, juga hidung dan bibir kecil yang dimilikinya. Tipikal orang Asia.
"Apa yang dilihat Oppa dari dirimu?" Suara bisikan Wanita itu bisa terdengar olehku. Aku jadi merasa terhina.
Aku mungkin memang tidak secantik dan setinggi dirinya, tetapi aku tidak perlu dirinya untuk mempertegas ketimpangan itu.
"Perkenalkan, aku Alana." Ujarnya sambil melepaskan jemarinya dari pipiku. "Kau harus ingat baik-baik namaku, karena kita pasti akan bertemu lagi." Ujarnya membuatku mengernyit tidak paham.
"Boleh kutanya kau siapa?" Tanyaku memberanikan diri. Tidak perlu bersopan santun, toh wanita itu juga tidak menjaga sopan santunnya terhadapku.
"Aku?" Alana membeo sambil menunjuk dirinya. "Oppa tidak menceritakanku padamu?"
"Oppa?" Kali ini aku yang membeo.
"Sean. Maksudku Sean-Oppa. Aish... Oppa benar-benar kelewatan."
Aku menggeleng bermaksud menjawab pertanyaannya tadi. Alana kembali berdecak. Lalu tidak lama ia kembali tersenyum angkuh dan mengangkat dagunya yang sudah tinggi semakin tinggi.
Aku merasa ingin menempelkan dagunya di langit-langit agar dia puas.
"Perkenalkan lagi, Alana Kim." Ujarnya sombong. Tangannya terulur kearahku sambil dia melanjutkan ucapannya, "Istri Sean Oppa."
Aku melongo.
***
Pernah merasakan seakan seluruh oksigen di sekitarmu terkuras habis sehingga kau merasakan sesak dan kesulitan bernafas?
Aku merasakannya sekarang.
Aku menghela nafas dengan keras dan membalik wajahku yang bertumpu di meja kerja kearah sebaliknya, lalu menghela nafas lagi.
Louisa ikut menumpukan wajahnya di mejaku dan menatapku, "kau kenapa?"
"Aku tidak tahu." Jawabku kembali menghela nafas. "Rasanya aku tidak bersemangat sekali."
"Tidak masuk hampir seminggu, lalu kembali dengan tidak bersemangat?" Tanya Louisa masih mencoba mengorek ceritaku. "Apa karena penggemarmu tidak mengirimi bunga lagi?"
Aku mendengus dan mengangkat wajahku. "Aku tidak peduli yang itu."
"Kau jelas-jelas peduli. Kenapa? Kau bertengkar dengan penggemarmu itu? Atau penggemarmu sudah kembali ke kewarasannya?" Tanya Louisa memepetiku.
Aku mendelik tajam kearah Louisa. Apa orang yang menggemariku dikiranya gila?
"Jadi kenapa?" Tanyanya tanpa peduli pada tatapanku yang sudah siap mengulitinya.
Merasa tidak ada gunanya menghindari Louisa, akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan mengenai tawaran kerja sama Joshua, malam pagelaran busana NK Jewelry, juga kemana seminggu ini aku menghilang, kiriman bunga permintaan maaf itu, dan pertemuanku dengan Alana Kim.
"That Jerk..." Desis Louisa begitu ceritaku berakhir.
"Ya, such a Jerk." Komentarku mengamini.
"Brilliant Hot Jerk." Sambung Louisa, aku menoleh menatapnya dengan tatapan seakan Louisa baru mengatakan kalau satu jam lagi akan Kiamat. "Kau tidak berpikir begitu? Hei, Sean itu muda, tampan, dan kaya. Wajar kalau satu wanita tidak akan cukup menghangatkan ranjangnya, meski itu adalah hal terbrengsek yang kubenci. Tetapi melihat wajah Sean, aku rasa aku sanggup memaafkannya."
Aku melotot dan menjentikkan jariku di depan wajah Louisa. "Lou, Wake up! Kau bilang ini hal wajar? Lou! Bagaimana kalau Adrian yang seperti itu?!" Tanyaku mencoba mengembalikan Louisa ke pijakan bumi.
"Oh, kalau Adrian, aku tentu tidak akan memakluminya. Kau tidak adil membandingkan Adrian dengan Sean. Jelas-jelas perbedaan mereka sangat mencolok. Adrian berwajah di bawah pas-pasan dan juga tidak kaya. Kalau dibandingkan dengan Sean, aku rasa Sean jauh lebih muda dari Adrian. Berapa umur Sean?" Tanyanya membuatku curiga kalau dia sedang mengorek informasi untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu." Jawabku jujur.
Louisa kali ini melotot kearahku, "kau tidak tahu berapa umur Sean? Selama ini apa saja yang kau bicarakan dengannya?!" Tanya Louisa tidak percaya. "Nomor telepon? Jangan bilang kau juga tidak punya? Kau bekerja sama dengan perusahaannya, kan?!"
Aku meremas jemariku di pangkuan, menggigit bibir dalamku, lalu memutar bola mataku ke segala arah, yang penting aku terhindar dari keharusan menjawab pertanyaan Louisa.
"Ya Tuhan. Apa yang selama ini kalian bicarakan?! Bahkan yang paling basic saja kau tidak tahu. Bagaimana kalau ternyata Sean laki-laki berumur 60 tahun dengan wajah awet muda?" Dimulai, drama Louisa sudah resmi dimulai. Aku mendesah.
"Jangan berlebihan, Lou." Desisku. "Aku tidak merasa perlu mengetahui berapa umurnya karena itu tidak ada hubungan dengan pekerjaan kami, dan aku juga tidak perlu tahu nomor teleponnya, karena... karena..."
"Karena?" Desak Louisa.
Kalau bukan karena ruangan ini sedang kosong akibat jam istirahat, aku mungkin akan membungkam mulut Louisa karena mendesakku terang-terangan seperti ini.
"Karena pekerjaanku bisa ku selesaikan sendiri tanpa perlu menghubunginya!" Ujarku beralasan.
Ponsel di mejaku bergetar kemudian. Sederet nomor tidak ku kenal terlihat di layarnya. Aku dan Louisa mengernyit dan saling berpandangan sejenak sebelum aku memutuskan untuk meraihnya dan mengangkatnya.
Untuk sebuah alasan yang tidak ku ketahui, jantungku berdebar cepat sekarang ini.
"H-halo?" Sapaku terbata.
"28."
Aku tercekat dan berdiri tiba-tiba dengan gelisah. Melihat kearah Louisa yang menatapku dengan tatapan bertanya lalu bergumam tanpa suara sambil menunjuk ponselku, "that Jerk?"
Aku mengangguk membenarkan.
"Umurku 28 tahun, Kelly. Maaf aku kira kau sudah tahu. Dan kau benar, pekerjaan kita memang tidak membutuhkan komunikasi via telepon, tapi tidak ada salahnya menyimpan nomorku, kan? Mungkin akan ada hal urgent yang membuatmu harus menghubungiku atau sebaliknya. Seperti sekarang."
Aku menelan ludahku, keringat dingin mulai mengucur keluar dari pori-poriku. Sejauh mana Sean mendengar percakapanku?
"Maaf aku tidak bermaksud menguping. Aku hanya tidak sengaja mendengar saat ingin menjemputmu. Kau bisa turun sekarang? This Jerk wants to go for a lunch with you. Do you mind?"
Aku berani bertaruh kalau wajahku pasti sudah menyaingi kepiting rebus sekarang. Sebenarnya sejauh mana Sean mendengarkan pembicaraan kami?
"Oh dan katakan terima kasih kepada rekan kerjamu karena sudah mengatakan aku tampan. Tapi percayalah, aku tidak setampan itu."
Sudah cukup. Aku langsung mematikan panggilan telepon itu dengan cepat sebelum Sean kembali mempermalukanku.
That Jerk!!! Geramku menatap ponsel tajam seakan aku sedang mempelototi Sean. Apa Sean mendengar semua perbincanganku?! Lalu kalau iya dan Sean benar sudah menikah, apa-apaan dia mengajakku makan siang bersama?!
"The Jerk just sign a Death Wish." Gumamku sambil meraih cardigan dan juga tasku untuk menghampiri Sean dibawah.
***
Tbc
Just for info, aku bisa slow update dalam 2 minggu ini. Kayaknya otak aku juga ikut ngajuin cuti selama liburan 😂😂 masak aku cm bs nulis 1 chapter dalam 3 hari ini?
Aku msh ada 3 chapter standby utk Kelly. Kalau mau aku double update, aku takutnya ga bs update setiap hari kalau chapter simpenan aku abis dan aku blom nulis cerita baru. Hahahaha tapi kalian pilih deh:
-double update, tapi gak bisa setiap hari.
-setiap hari update, tapi gak double.
Ciaooo!
Sekali lagi mohon maaf lahir dan batin ya 🙏🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro