11. Misterious Admirer.
Setelah dua hari Alexis, Mommy, Daddy, bahkan sampai kak Keira dan kak Kenneth memaksaku beristirahat dirumah, aku kembali masuk ke kantor dengan keadaan lebih baik.
Lebih baik, bukan berarti hariku juga ikutan membaik.
Setumpuk pekerjaan sudah menungguku di meja kerja, dan setelah 2 hari aku berteman dengan bubur juga obat-obatan, hari ini aku kembali ke teman lamaku, Kopi.
"Sepertinya menghadiri pameran bukan hal yang cocok untukmu." Komentar Louisa begitu ia duduk di kursinya. "Kau selalu bermasalah setelah menghadiri acara itu."
"Aku tidak bisa mengatur kapan aku harus jatuh sakit, kan?" Tanyaku retorik.
Louisa terkekeh dan mengangguk, "omong-omong, ada laki-laki yang mencarimu kemarin disini." Ujarnya sambil membersihkan kertas-kertas berserakan di atas meja kerjanya. "Katanya dia temanmu dan dia khawatir karena kau tiba-tiba menghilang saat acara di Las Vegas kemarin."
Jantungku tiba-tiba berdebar dengan ritme lebih cepat. Mungkinkah?
Apa mungkin Sean ke kantor? Bukan hal sulit bagi Sean untuk tahu kantorku. Ia pasti tahu dimana butik bibi Rere yang merupakan ibu kak Alle berada.
"He's cute by the way." Komentar Louisa.
"Ya, he's cute." Aku mengangguk setuju. Sean memang manis, kan? Aku tidak mau munafik. Tapi sayangnya, kemanisan laki-laki itu dikotori oleh ambisi tersembunyinya dalam mendekatiku.
"Dia terlihat khawatir saat mendengar kau sakit." Sambung Louisa. Aku mendengus. "Aku serius. Wajahnya jadi semakin menggemaskan ditambah kacamata yang membingkai mata bulatnya."
Aku tersedak ludahku sendiri. "Kacamata?!" Ulangku.
Louisa mengernyit aneh menatapku, "ya." Ia mengangguk. Menyadari perubahan ekspresiku, mata Louisa membulat dan bertanya dengan nada penuh kehati-hatian. "Kita sedang membicarakan orang yang sama, kan?"
"Tergantung." Gumamku. "Siapa yang sedang kau bicarakan?" Aku menanti. Dalam hati aku mengutuk diriku yang bisa-bisanya kembali menyebut laki-laki yang membuatku sakit dua harian dengan sebutan manis lagi. Juga, bisa-bisanya aku langsung memikirkan laki-laki itu! Menyebalkan!
"Joshua Colton. Fotografer majalah People. Kau tidak pernah cerita kalau kau memiliki kenalan seorang fotografer majalah terkenal itu."
Aku kembali meringis mendengar nama itu. Louisa mendengarnya dan kembali berkata, "kita tidak membicarakan orang yang sama, kan? Siapa laki-laki itu? Laki-laki yang kau puji barusan. Kau tidak pernah memuji laki-laki manapun selain Alexis selama ini."
"Knock it off, Lou." Umpatku.
"Ah! Pasti Sean! Benar, kan?!" Tebaknya seakan bisa membaca keraguanku. "Kau sedang memikirkan Sean? Oh my God, Kelly! Like Finally kau memikirkan laki-laki lain selain Alexis."
"Geez Lou!" Aku menatap ke sekitar, hampir seluruh mata tengah menatap kearah kami, terutama diriku. "Apa aku perlu memberikanmu pengeras suara untuk mempermalukanku?" Desisku.
Louisa sadar dan langsung membungkam bibirnya. "Maaf. Tapi aku benar, kan? Kau memikirkan Sean? Jadi ada apa? Apa sakitnya kau dua hari ini ada kaitannya denagn Sean?" Desaknya tidak mau membiarkanku bernafas sedikit lebih lama.
"Tidak ada!" Elakku. Aku tidak mungkin mau mengaku satu hal itu atau aku harus bersiap di tertawakan Louisa seharian ini.
Louisa menatapku, memicingkan kedua matanya seakan mencari kebohongan dari mataku, ia lalu menghela nafas dan memilih mengalah sementara. "Baiklah. Kau menang."
Aku baru saja akan menghela nafas lega ketika mesin interkomku berbunyi dan suara Daniella terdengar dari seberang sana. "Kelly, ada kiriman untukmu. Kau mau kebawah, atau aku akan meminta kurir untuk mengantarnya keatas?"
Kiriman? Tidak biasanya. "Aku akan kebawah, Thanks, Dan." Aku menarik nafas sebelum berdiri meninggalkan kubikelku.
Aku bisa melihat pandangan tanya dari Louisa, tapi aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan louisa sekarang. Jadi aku memilih mengabaikannya dan terus berjalan menuju ke lantai bawah.
Begitu sampai di lantai bawah, aku mendapati kurir yang sedang duduk sambil mendekap buket bunga besar yang sama seperti yang ada di kamarku.
"Ms.McKenzie?" Ucap kurir itu begitu melihat kedatanganku. Aku mengangguk. Ia berdiri sambil menyerahkan buket bunga kepadaku. "Maaf, tapi tolong tanda tangan disini."
Dengan sangat kesusahan akibat buket bunga yang kelewat besar ini, aku menandatangani kertas yang disodorkan oleh kurir itu.
"Maaf, tapi dari siapa bunga ini?" Tanyaku berusa mengintip dari celah buket bunga.
"Maaf, Miss. Saya tidak tahu. Saya hanya ditugaskan untuk mengantar saja. Mungkin kartu ucapan di sana bisa menjawab pertanyaan anda. Saya permisi, Terima kasih." Pamitnya meninggalkanku dengan tanda tanya besar.
"Woah... what a huge bouquet." Suara bibi Rere terdengar meski sosoknya belum bisa terlihat olehku akibat tertutup oleh buket bunga raksasa ini. "Siapa yang mengirimkannya?"
Aku menggidikkan bahu karena aku memang tidak tahu. Dengan bantuan bibi Rere, aku kembali ke kubikel ku diikuti tatapan penuh tanya dari seluruh pegawai termasuk Louisa.
Setelah menaruh bunga yang memenuhi 99% ruang kerjaku, aku yang sudah di kerubuni seperti bangkai yang di kerubuni oleh lalat. Tidak ketinggalan bibi Rere dan Louisa yang sudah berdiri di sebelahku, menunggu keteranganku akan darimana datangnya buket bunga ini.
Sesuai petunjuk kurir tadi, aku mengambil kartu ucapan yang menempel di salah satu tangkai bunga, lalu wajahku memerah setelah membacanya.
Louisa mengambil alih kartu tersebut, seakan memenuhi rasa penasaran orang-orang akan isi kartu ucapan tersebut, dengan lantang Louisa membacakannya dan kembali membuat wajahku memanas.
"Roses are red, Skies are blue.
I know what love is, Because of YOU.
Have a nice day, Pretty.
From... your... Admirer..."
Seluruh mata kini tertuju padaku dan sontak semua orang bersorak. Tidak terkecuali bibi Rere.
"Awwww my God! How sweet is he?!"
"Admirer? Siapa? Astaga puisi itu bukan untukku, tetapi kenapa aku yang panas dingin karenanya?!" Seru Louisa heboh.
"Apa kau tahu siapa yang mengirim ini?" Tanya bibi Rere, tidak ikut terjebak dalam euforia Louisa.
Aku menggeleng, tapi kemudian mengangguk. "Sepertinya..." gumamku. Tanpa menghiraukan yang lainnya lagi, aku meriah ponselku dan segera menelepon seseorang yang kucurigai berada di balik topeng penggemar ini.
Aku sudah berada di luar butik sambil menunggu panggilanku dijawab, dan begitu dijawab, aku langsung mencecar laki-laki itu dengan tuduhan-tuduhanku. "Kau benar-benar membuatku semakin khawatir, Lex. Jangan karena kau menuliskan kata penggemar lantas aku tidak tahu kalau kau yang mengirimnya."
Hening. Aku mengira panggilan terputus, tetapi kemudian suara Alexis terdengar lagi. "Apa kau salah menelepon orang?" Tanyanya.
"Tidak. Aku memang mau meneleponmu, Alexis." Jawabku datar. "Kita memang sering bercanda mengenai topik ini, Lex. Tetapi ini semakin membuatku khawatir. Berhenti mengirimiku bunga, dan Move on, Lex. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri karena kita tidak bisa bersama. Perasaan kita mungkin berbalas, tetapi kau ingat kesepakatan kita untuk menghormati pernikahan-"
"Woaaaah tunggu dulu! Apa yang sedang kau bicarakan? Bunga? Kapan aku pernah mengirimimu bunga?" Tanyanya menyela ucapanku.
"Lucu sekali, Lex." Ujarku sarkastik.
"Tidak, aku serius. Aku tidak pernah mengirimimu bunga, Kelly. Kau mengenalku."
Aku menggigit bibir dalamku. Apa Alexis sedang berkata jujur? Atau itu hanya caranya menutupi kebohongan? Tapi memang benar, mengirim bunga seperti ini, sangat bukan Alexis.
"Lagi pula, kalau memang aku mau, aku sudah akan melakukannya sejak dulu, bukan sekarang." Tambahnya membuatku semakin ragu akan asumsiku kalau Alexis berada di balik ini semua.
"Lalu... siapa?" Gumamku lebih kepada diriku sendiri.
Kembali hening di seberang sana, sepuluh detik kemudian aku baru bisa mendengar suara Alexis. "Siapapun itu, kau akan memberitahuku nanti, kan?"
Aku berdecak. "Apa aku akan tahu? Dia hanya mengatakan penggemarku. Tidak ada petunjuk lain." Geramku menahan kesal. Aku menghela nafas lelah dan memutuskan untuk menyudahi acara tuduh menuduhku dengan Alexis. Bagaimanapun, aku akan kesulitan mencari siapa penggemar misterius itu kalau minim petunjuk seperti ini. "Sudahlah, lupakan. Mungkin hanya kerjaan orang iseng. Maaf sudah mengganggumu bekerja."
"Ku maafkan karena sudah menuduhku. Tapi aku senang, karena itu artinya secara tidak langsung, artinya kau memikirkanku." Dia terkekeh tapi tidak denganku yang sudah kembali merona. "Sudahlah, kau kembali bekerja. Selamat bekerja, Kelly."
"Hm... kau juga."
Bip
Panggilan kami berakhir tanpa aku mendapatkan jawaban apapun atas rasa penasaranku. Sebenarnya ada, tetapi jawaban itu semakin membuatku penasaran sekarang.
Kalau bukan Alexis, lalu siapa?
***
Tbc
Cieee siapaa yang baper kayak Kelly? 😋😋😋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro