Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Invitation.

Alarm di nakasku berbunyi nyaring hingga membuatku mau tidak mau, suka tidak suka, rela tidak rela, untuk membuka mata demi mematikan alarm itu.

Seharusnya kemarin aku mengatur alarmku sebelum jatuh tertidur dua jam sebelum alarm ini berbunyi. Aku masih membutuhkan tidur nyenyakku untuk bekerja dan tidak berbuat kekacauan lagi.

Namun tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. Aku masih harus tetap bangun, tidak peduli baru berapa jam aku memejamkan mataku ini.

"Berikan aku lima menit." Ucapku serak sambil menyetel ulang alarmku dan kuletakkan kembali, kali ini di bawah bantal.

Baru saja aku kembali memejamkan mataku yang seakan langsung membuatku masuk kedalam alam mimpi yang sempat terpotong tadi, ponselku bergetar mengusik ketenangan tidurku.

Itu bukan alarmku, lantaran Alarmku berbunyi nyaring, bukan hanya seketar getaran.

Dengan masih tertutup, aku meraih ponselku di bawah bantal dan menjawab panggilan telepon itu.

"Ha-lo?"

Hening, tidak ada jawaban dari seberang sana selama beberapa detik membuatku nyaris larut lagi ke alam mimpi sebelum suara berat dari seberang panggilan ini terdengar dan membuatku terkejut. "Seriously, Kel? Kau masih tidur? Aku tidak memiliki waktu selamanya untuk menunggumu. Aku masih ada rapat direksi pagi ini."

Aku membuka mataku dan mengerjap, membiasakan cahaya yang masuk kedalam kamarku sambil menguap. "Ini masih pagi, Lex. Beri aku waktu lima menit lagi untuk-"

"Kau mengigau! Ini sudah hampir pukul 8 dan aku hampir telat menghadiri rapat bulananku."

Aku terbelalak dan langsung bangkit dari posisiku. "Kau bohong! Alarmku saja belum berbunyi lagi!"

Alexis berdecak, "kecuali kalau kau lupa mengaktifkannya."

Aku menepuk keningku sambil meringis.

"Kelly dan kecerobohannya. Sudah biasa. Cepatlah! Aku tunggu di bawah. Kuberi waktu 10 menit untuk bersiap-siap atau kau terpaksa naik Taxi atau metro."

Aku bahkan belum sempat memprotes ketika Alexis sudah mematikan panggilan. Layar ponsel yang tadinya berwarna hijau, kini berubah menjadi angka-angka jam. Dan saat aku menyadari kalau aku tidak mengaktifkan Alarmku lagi saat aku menambah lima menit, aku kembalu merutuk.

Lima menitku berakhir dengan dua jam.

Tanpa membuang banyak waktu lagi, aku mengambil kertas-kertas yang berserakan di atas meja dan memasukkannya ke tas yang berisi file yang sama, kemudian melesat secepay kilat sebelum taring Alexis keluar.

Alexis Theodore Bramantyo, adalah teman masa kecil juga tetanggaku. Kami sudah dekat sejak dulu bukan hanya karena Penthouse kami hanya berseberangan, tapi juga keluarga kami bersahabat, bahkan kini berkeluarga setelah kakak kami menikah. Kami juga berbagi tanggal ulang tahun yang sama.

Meskipun seumuran, tapi Alexis terlihat lebih dewasa daripadaku. Diumur kami yang sama-sama menginjak 22 tahun, Alexis sudah berhasil menyambar gelar Master dan menduduki kursi General Manager. Sedangkan aku, aku baru saja lulus dari Gelar Fashion Designer dan sekarang sedang sibuk-sibuknya bekerja di butik Ibunya Alexis.

Kami memang dekat, dan kadang kedekatan ini sedikit menyiksa. Disaat semua orang iri melihat kedekatan kami, tapi aku malah iri dan ingin menjadi mereka. Setidaknya mereka bebas untuk jatuh cinta pada Alexis. Tidak sepertiku.

Kadang aku suka berpikir, kalau saja aku dan Alexis lahir terlebih dahulu sebelum kakak-kakak kami, mungkin jalan cerita hidup kami tidak akan seperti ini.

Tapi meski begitu, aku cukup bersyukur karena aku maupun Alexis masih bisa dekat meski kadang terasa canggung kalau suasana mendadak sepi.

Jangan salah, Alexis juga pernah mengatakan kalau ia tertarik padaku. Jadi cintaku tidak bertepuk sebelah tangan, hanya saja waktu dan situasi kami yang tidak tepat.

Sekali lagi aku hanya bisa berandai.

*

Aku berjalan loyo kedalam butik yang sudah tiga bulan ini menjadi tempat kerjaku. Menjadi designer tidak pernah ada perjanjian tertulis kalau hidup mereka akan senang, bergelimang harta hanya dengan goresan pensil, dan keluar negeri untuk memamerkan hasil, atau menghadiri pameran peragaan busana hanya dari sebuah goresan pensil.

Ada alasannya kenapa poin-poin krusial itu tidak di cantumkan saat ingin mendaftar jurusan. Karena percayalah, akan banyak orang yang menuntut perjanjian itu begitu lulus karena Fashion Design tidak semudah itu.

Tidak tahu berapa jam waktu tidur yang di korbankan untuk mendapatkan satu sketsa yang pada akhirnya harus kembali di revisi karena ada kesalahan, atau berapa gelas kopi sehari yang di konsumsi agar tetap terjaga pada siang hari untuk melanjutkan pekerjaan atau menjahit bahan untuk merealisasikan sketsa. Atau juga, berapa banyak waktu yang terbuang untuk berkeliling, mencari inspirasi untuk tema-tema tertentu seperti musim panas, dingin, semi, gugur, sakura, hujan, banjir, dan sebagainya. Setiap hari kami harus muncul dengan inovasi baru dan hal itu sangat berlainan dengan bayanganku saat mendaftar menjadi designer dulu.

Untung saja tidak pernah ada yang menjanjikan kalau pekerjaan ini akan menyenangkan, kalau tidak, aku yakin aku sudah berada di Line pertama untuk menuntut orang itu.

"Kau terlihat kacau."

Aku baru saja meletakkan tas fileku dimeja saat Louisa, rekan kerjaku menyapa.

"Aku harus menyelesaikan rancangan gaun pengantin musim gugur ini secepatnya. Dan aku baru mendapatkan tidurku jam 4 tadi." Jawabku, lalu berlalu ke Pantry yang terletak tidak jauh dari mejaku untuk menyeduh kopi. "Aku mau memejamkan mataku 5 menit, tapi ternyata alarmku tidak ku aktifkan."

"Biar kutebak, Alexis meneleponmu hingga kau tidak sempat mandi dan mengumpulkan nyawamu?" Louisa sudah berdiri di belakangku sambil bersandar.

Aku menoleh menatapnya sambil mengaduk gelas kopiku dan tersenyum miring. "Dia ada rapat bulanan pagi ini. Dan aku hampir membuatnya terlambat."

Aku berjalan melalui Louisa dan kembali ke mejaku. Louisa setia mengekoriku hingga kembali ke meja dan duduk berhadapan denganku. Ia tersenyum dengan cengiran lebarnya yang menurutku bertujuan untuk mengejekku.

"Maaf kau harus bekerja dua kali lebih keras. Dan terima kasih."

Aku menghela nafas dan tersenyum kecil. Memangnya aku harus bagaimana lagi? Marah? Pekerjaan tidak akan selesai dengan aku mengoceh panjang lebar. "Lupakan. Aku juga tidak bisa mengatur kapan kau harus melahirkan dan cuti, bukan?" Kalau segalanya bisa di atur, tentu akan lebih mudah. "Bagaimana dengan Edgar? Sehat?"

Mata Louisa melembut begitu aku menanyakan putra pertamanya itu. "Sangat sehat! Ah berbicara tentang dia, aku jadi merindukan pangeran kecil itu." Gumamnya sambil menopang dagu. "Anyway, terima kasih sudah mengambil alih pekerjaanku. Aku pasti akan menraktirmu makan siang sebulan penuh."

Senyum mulai terbit di bibirku. Aku mengangguk menyetujui, "tapi berhubung aku masih memiliki banyak pekerjaan, jadi begitu selesai, kau boleh menraktirku. Kebetulan aku ingin makan shabu-shabu yang baru buka di Scott Avenue." Aku menyeringai begitu Louisa mendelik tajam.

Louisa kemudian menepuk tangannya seakan baru teringat sesuatu. Ia berjalan kearah mejanya lalu kembali dan menyerahkan sebuah amplop kepadaku.

Aku baru saja membuka file berisi kertas sketsaku, namun tidak jadi karena aku menerima sodoran amplop itu kebingungan. Terakhir aku menerima amplop seperti ini adalah saat temanku menikah. Dan Louisa yang sudah menikah menyerahkan undangan ini kepadaku? Wanita ini tidak bermaksud menikah lagi, kan?

Louisa menyentil keningku seakan bisa membaca hal aneh yang sedang berlalu lalang di kepalaku. "Jangan asal berpikir. Undangan itu bukan dariku, tapi titipan dari Mrs.Bramantyo."

"Bibi Rere?" Ulangku. Kartu itu sudah berada di hadapanku dan aku semakin mengernyit dibuatnya saat melihat salah satu brand pakaian ternama tertera di sana.

Louisa hanya menjawab pertanyaanku dengan satu anggukan singkat.

Demi rasa penasaranku, aku pun membuka amplop itu. Louisa juga turut mengintip isinya yang langsung membuatku tercengang, namun tidak dengan Louisa yang sepertinya sudah tahu isi dari surat undangan ini.

"Ku kira Mrs.Bramantyo hanya bercanda kalau aku harus menghandle pekerjaanmu seminggu kedepan karena kau harus ke Korea. Ternyata benar." Gumamnya semakin membuatku terkejut.

"Undangan ini untukku?" Tanyaku tidak percaya.

Gelengan Louisa membuatku semakin bingung, namun Louisa menjawabnya kemudian. "Kau tahu kan, biasanya Mrs.Bramantyo atau sekretarisnya yang akan menghadiri acara seperti ini? Kurasa Mrs.Bramantyo bermaksud memberimu kesempatan itu sekarang."

Aku mengerjap tidak mengerti. "T-tapi kenapa aku?"

"Itu juga pertanyaanku." Louisa terkekeh sambil kembali ke posisinya. "Mungkin beliau mau memberikanmu kesempatan untuk mengenal dunia Fashion lebih luas lagi?"

Penjelasan Louisa terdengar masuk akal, namun tidak bisa ku mengerti.

Kalau dibanding Louisa dan pekerja lainnya, aku tergolong pendatang baru yang tidak berpengalaman meskipun aku pernah melakukan magang di sini selama 6 bulan. Tapi kalau Bibi Rere sampai menyerahkan kepercayaan untuk mewakili butik di ajang bergengsi seperti ini, aku tidak yakin kalau aku adalah orang yang tepat.

"Well, selamat datang di dunia Fashion, Kelly. Aku iri padamu." Ujar Louisa menggodaku.

Aku kembali meneliti undangan pagelaran busana yang akan berlangsung di Seoul, Korea Selatan 3 hari lagi yang berarti aku harus berangkat kesana dalam 2 atau 3 hari dari sekarang.

Mataku melebar saat menyadari satu hal. "Astaga!!! Itu artinya aku harus menyelesaikan 5 sketsa dalam 2 hari kedepan?!"

***

Tbc

Btw, setelah aku pikir-pikir, Kelly ga jadi aku jadiin gadis bermata hijau. (Langka boook nyari castnya 😂😂)

Slow Up ya gaes! Dan aku mw curhat dikit nih...

Aku kan udah tulis ini story smp chapter 5 ya, trus lag :') trus CHAPTER KE 2 AKU KEHAPUS dan aku syedih jadi harus nulis lagi dari awal karena blom aku back-up *never learn from mistakes* #mybad

Semoga kalian suka story ini ya...

Semoga menghibur 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro